Naila hanya ingin kuliah dan menggapai cita-cita sebagai jaksa.
Namun hidup menuntunnya ke rumah seorang duda beranak dua, Dokter Martin, yang dingin dan penuh luka. Di balik tembok rumah mewah itu, Naila bukan hanya harus merawat dua anak kecil yang kehilangan ibu, tapi juga melindungi dirinya dari pandangan sinis keluarga Martin, fitnah, dan masa lalu yang belum selesai.
Ketika cinta hadir diam-diam dan seorang anak memanggilnya “Mama,” Naila harus memilih: menyelamatkan beasiswanya, atau menyelamatkan keluarga kecil yang diam-diam sudah ia cintai.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Langkah yang Tak Bisa Kembali
Naila menatap layar ponselnya cukup lama. Tangannya tidak langsung bergerak untuk membalas. Ia hanya bisa menarik napas panjang, lalu tersenyum miris.
"Om Marvel dan gaya bercandanya itu…" gumamnya pelan, menggelengkan kepala seolah telah terbiasa dengan itu semua.
“Kenapa senyum-senyum sendiri, Nai?” tanya Azwa sambil memelototi layar ponsel Naila dengan wajah penasaran.
“Eh, enggak… hanya ada orang yang suka iseng,” jawab Naila buru-buru sambil mengunci layar.
Dalam benak Naila, kembali mengaum pada peringatan yang diberikan Marvel dulu tentang Martin.
"Apakah ini maksud ucapannya dulu?" Naila teringat kembali pada yang dikatakan Marvel dulu. Namun, sikap Martin benar-benar membuat ia tak bisa melihat hal yang harus dicurigai dari majikannya ini.
"Woi, kok malah bengong?" Azwa menepuk pundak Naila membuat lamunannya buyar begitu saja.
Lalu mereka melanjutkan kembali kegiatan melepas penat membeli makanan pada sebuah kafe di sana.
Langit senja mulai meredup, tapi semua gadis yang masih berseragam ospek, tertawa riang menikmati minuman yang mereka pesan. Berbeda dengan Naila yang suram membayangkan ini adalah yang pertama sekaligus untuk terakhir kalinya merasakan indahnya masa muda belia sebagai mahasiswa.
Ponselnya bergetar lagi. Sebuah pesan masuk dari Marvel.
[“Kenapa kamu nggak bilang apa-apa? Aku nggak ngerti, Nai… mengapa begitu mendadak? Apa karena ini, kamu tak membalas pesanku?”]
Naila menahan napas. Pesan itu singkat, tapi terasa menohok. Tangannya refleks mencengkeram ponsel lebih erat, mencoba menahan gejolak yang tiba-tiba menyerbu dadanya.
Ia membaca ulang kata-kata itu. Sekali. Dua kali. Tapi tetap saja… pikirannya terasa kosong.
Masuk lagi pesan yang sama dari Marvel
[Aku rasa, kamu memang sudah nyaman dengannya ]
Setelah sekian lama napasnya tertahan, perlahan ia menghembuskannya kembali. Ia mulai paham, ke mana arah ucapan Marvel. Lagi, ia hanya bisa mengunci layar ponsel tersebut.
Azwa menyadari bahwa teman barunya ini lebih banyak diam dibanding masa-masa ospek kemarin. "Kamu kenapa, Naila?"
Naila tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. "Aku hanya sedikit lelah," ucapnya asal.
"Ayo lah, masa muda ini mesti kita nikmati dulu. Harus semangat dong. Belum tentu nantinya kita bisa main-main lagi saat perkuliahan udah mulai," ucap Azwa yang dinilainya sebagai gadis ceria.
Naila kembali tersenyum dan mengangguk. Ponsel Naila bergetar, kali ini ada sebuah panggilan dari 'Pak Martin' dan ia segera beranjak dari teman-temannya.
“Halo, Pak?”
“Apa kegiatan di kampusmu sudah selesai?" tanyanya dengan nada terburu.
"Su-sudah, Pak," ucapnya gugup.
"Kalau begitu, sekarang juga kamu langsung ke klinik. Cepat.” Suara Martin terdengar begitu mendesak yang membuat dada Naila berdebar.
“Kenapa, Pak? Rindu, kenapa?!” tanyanya panik.
Namun telepon sudah diputus sebelum ia mendapat jawaban.
Jantung Naila berpacu cepat. Ia menoleh ke arah Azwa dan teman-temannya yang sedang bercanda sambil menikmati minuman.
“Wa, aku harus pergi sekarang. Maaf ya, aku nggak bisa bareng pulang,” ucapnya tergesa-gesa.
Azwa menatap heran. “Lho, kenapa? Minuman kamu kan belum habis?"
Tapi, Naila sudah jauh meninggalkan mereka dengan tergesa. Hal ini membuat teman-teman lainnya bertanya-tanya.
Naila memesan ojek online dan tergesa-gesa menyusuri lorong klinik menuju ruang rawat Rindu.
"Bila terjadi apa-apa pada Rindu, berarti ini salahku. Maafkan aku, Rindu," rintihnya melangkah dengan cepat.
Saat membuka pintu tempat Rindu berada, tampak Rindu yang tenang dalam lelapnya. Setelah itu ia beralih pada sosok pria yang mengenakan baju koko bewarna putih, celana goyang bewarna hitam, mengenakan kopiah. Naila tak mengenalnya.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu datang juga, Naila," ucap Bu Juwita yang duduk di sofa yang ada di pojok ruangan. Ia tengah memegangi Reivan yang memanjat sandaran sofa tersebut.
Tak lama, dari ambang pintu yang terbuka muncul Martin. "Syukur lah, Naila. Kamu sudah datang." Tampak wajah Martin mengendur saat menyadari kehadirannya.
"Apa yang terjadi dengan Rindu?"
Martin menelengkan kepala dan keningnya mengerut. "Rindu?"
"Iya, Rindu. Rindu kenapa, Pak? Dia baik-baik aja kan?"
"Rindu baik-baik saja. Bahkan, keadaannya semakin membaik saat aku katakan bahwa Mama Nailanya benar-benar akan menjadi mama untuknya."
Tubuh Naila seketika layu mendengar penjelasan Martin. Rasa tegang akan ketakutan membuat detak jantungnya berdenyut dengan cepat. Ia tampak tersengal seakan baru saja berlari sepuluh keliling lapangan.
Ia baru menyadari di dalam ruangan itu sudah berada beberapa yang tak dikenal dan terfokus kembali pada pria yang menggunakan kopiah. "Lalu, apa yang terjadi di sini? Aku sampai berpikir yang tidak-tidak," ucapnya terasa lega.
"Apa kamu lupa, kamu sudah setuju bahwa kita akan melaksanakan pernikahan. Kebetulan penghulunya tidak bisa berlama-lama, makanya aku panggil kamu segera. Kita akan menikah saat ini juga," ucap Martin lagi dengan tenang.
Namun, berbeda dengan Naila. Ketegangan yang sempat mengendur, kini denyut jantungnya bagai dihujam palu yang teramat besar.
"Se-sekarang?" Suara Naila nyaris tak terdengar. Ia mundur setapak, pandangannya tak lepas dari Martin yang tetap tenang berdiri di sana.
Martin mengangguk pelan. "Iya. Sekarang."
Naila memutar tubuhnya perlahan, menatap sekeliling ruangan yang sudah diisi oleh penghulu, dua saksi, dan Bu Juwita yang sudah menenangkan Reivan di pelukannya. Semua terasa seperti mimpi. Tapi tidak ada satu pun yang membuatnya terbangun.
Sebelum sempat berkata lagi, suara langkah terburu-buru terdengar dari arah lorong. Seorang pria muncul di ambang pintu dengan napas terengah, mata mencari-cari.
"Naila!" serunya, dan suara itu membuat semua orang menoleh serempak.
"Om Marvel?"
Tubuhnya masih mengenakan jaket kulit, rambut sedikit acak karena helm full face yang baru saja dilepas di depan mereka. Tatapannya tajam tertuju pada Martin, lalu beralih ke Naila yang masih berdiri kaku seperti patung.
"Aku baru tahu dari pesan terakhirmu," ucap Marvel dengan suara berat. "Serius, Bro? Kamu benar-benar melakukan ini tanpa ngomong apa-apa ke aku?"
Martin menahan napas sejenak. "Ini bukan sesuatu yang perlu persetujuan darimu, Marvel."
Tanpa memedulikan Marvel, Martin menghubungi seseorang lewat ponselnya. Kemudian, diserahkan kepada Naila.
"Paling tidak, aku sudah berbicara kepada mereka. Awalnya memang cukup sulit, namun setelah aku mampu meyakinkan mereka, akhirnya mereka mau menerimaku," ucap Martin tanpa Naila pahami arah pembicaraan calon suaminya itu.
"Naila?" Dari dalam layar datar ponsel milik Martin, terdengar suara yang sangat dikenal oleh Naila.
Matanya seketika redup, tiba-tiba terasa berat, pelupuk mulai dibanjiri mendengar suara ibunya.
"Apa benar kamu Naila anak kami?" suara parau wanita yang melahirkannya membuat hati Naila semakin luruh.
"Katanya kau tak mau nikah? Sampai kau kabur dari rumah ini! Tapi nyatanya apa? Kau juga menikah di sana! Dengan pria beranak dua pula!" Suara lantang, garang, penuh amarah pun memecah haru biru antara ibu dan anak itu.