NovelToon NovelToon
Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Terlarang / Keluarga / Romansa
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rindu Firdaus

Di sebuah pesta keluarga, Arga bertemu dengan Kalista, yang langsung mencuri perhatian dengan pesonanya. Tanpa ragu, mereka terjerat dalam hubungan terlarang yang menggoda, namun penuh bahaya.

Saat Arga menyadari bahwa Kalista adalah simpanan pamannya, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Arga harus memilih antara cinta yang terlarang atau melindungi nama baik keluarganya, sementara godaan terus membara.

Akankah Arga tetap memilih Kalista meski harus mengorbankan segala-galanya, atau akan ia melepaskannya demi menjaga kehormatan keluarga? Apakah ada cara untuk keluar dari cinta yang terlarang ini tanpa merusak segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindu Firdaus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Antara Kain Sutra dan Luka

Hening menyelimuti kamar kontrakan Kalista. Hanya suara kipas angin tua di sudut ruangan yang berputar pelan, berusaha mengusir panas malam. Arga duduk di tepi ranjang, menatap Kalista yang sedang berdiri di depan lemari kayu kecil. Gaun tidurnya yang tipis dan berwarna ungu muda tampak menggantung di tubuhnya seperti kabut malam nyaris tak menyembunyikan apa pun.

Dia tak bicara. Tak sejak mereka masuk ke kamar beberapa menit lalu. Tapi Arga bisa merasakan sesuatu dalam tatapannya, sebuah campuran lelah, rindu, dan luka yang belum sempat sembuh.

"Aku tadi ke rumah Paman Arman," ucap Arga akhirnya, pelan. "Tapi mobilnya nggak ada."

Kalista menoleh pelan. "Mungkin dia sedang di luar kota."

"Tapi kamu di sini."

Ia mengangguk. "Aku... bilang ke dia mau tinggal di tempat teman. Dia nggak curiga."

Arga berdiri, melangkah mendekat. Tangannya perlahan menyentuh pundak Kalista dari belakang, menyusuri kulit lembut itu dengan ujung jemarinya. “Kamu masih miliknya?” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Pertanyaan itu menggantung. Kalista tak langsung menjawab. Pandangannya menerawang, jauh ke sudut kamar, ke dinding yang mulai kusam, ke rak buku yang tak terurus.

"Aku nggak tahu, Ga," jawabnya akhirnya. "Aku juga bingung, apakah aku masih jadi miliknya... atau cuma sekadar boneka mainan yang dibiarkan begitu saja."

Arga menarik napas panjang. Tangannya turun, memeluk tubuh Kalista dari belakang, menempelkan wajahnya ke rambut perempuan itu yang wangi, hangat, dan familiar.

"Kita terlalu dalam, ya?" Arga berbisik.

Kalista mengangguk kecil. "Terlalu dalam... tapi juga terlalu sakit untuk mundur."

Mereka diam. Detik-detik terasa lambat. Hanya suara napas mereka yang terdengar, saling menghangatkan, saling menyimpan luka yang tak terucap.

Perlahan Kalista membalikkan tubuh. Wajahnya tepat di depan Arga. Mata mereka saling menatap, mengisyaratkan seribu rasa tanpa satu kata pun. Jemari Arga mengusap pipinya yang halus, menyentuh dagu, lalu turun ke leher yang bergetar pelan.

"Aku ingin melupakan semuanya malam ini," bisik Kalista. "Aku ingin hanya ada kamu... dan aku."

Arga mengangguk. "Aku juga."

Kalista menarik tangan Arga, membimbingnya menuju ranjang kecil yang berlapis sprei putih kusam. Di atasnya, kain sutra ungu yang tadi ia letakkan terlipat rapi. Ia mengambil kain itu, lalu membentangkannya perlahan di atas seprai, seolah sedang menyiapkan altar untuk pengakuan dosa.

"Kenapa pakai kain ini?" tanya Arga, lirih.

Kalista tersenyum tipis, getir. "Dulu... waktu pertama kali aku diserahkan ke pamanmu, aku pakai kain ini."

Arga terdiam. Tiba-tiba napasnya sesak. Di antara desakan hasrat dan gelombang emosi, luka yang selama ini coba ia sembunyikan mulai menganga.

"Kamu masih simpan?"

"Aku nggak bisa buang," jawab Kalista pelan. "Entah kenapa, aku selalu berharap satu hari nanti, seseorang bisa menghapus luka yang menempel di kain ini... dan menggantinya dengan cinta."

Arga mendekat. Ia menarik Kalista ke pelukannya. Bibir mereka bertemu dalam kecupan yang tak sekadar penuh gairah tapi juga pengampunan, dan harapan.

Saat tubuh mereka mulai menyatu, di atas kain sutra yang pernah menjadi saksi luka, malam pun menyelimuti mereka dalam balutan kehangatan dan kepedihan. Tak ada suara lain selain napas yang saling berkejaran, dan bisikan kecil di telinga Kalista yang tak lain adalah doa diam-diam Arga.

"Mulai malam ini, biar aku yang menyimpanmu, bukan dia."

Kain sutra itu bergeser perlahan saat tubuh Kalista melingkar di samping Arga. Napas mereka masih memburu, tapi bukan hanya karena gairah melainkan karena emosi yang memuncak, menyeret mereka dalam pusaran rasa yang tak bisa didefinisikan.

Kalista menyandarkan kepalanya di dada Arga, mendengarkan detak jantungnya yang masih tak beraturan.

“Dulu aku benci suara ini,” gumam Kalista.

Arga mengerutkan kening. “Suara apa?”

“Detak jantung... Pria yang tidur denganku selalu berdebar kencang, tapi bukan karena cinta. Hanya karena nafsu.” Ia terdiam sejenak, lalu menatap Arga. “Tapi kamu... jantungmu seperti sedang menangis.”

Arga memejamkan mata. Kata-kata Kalista menampar hatinya. Ia mengusap punggung perempuan itu dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa yang terlalu berat untuk diucapkan.

“Aku nggak mau kamu terus tinggal di tempat ini,” ucap Arga tiba-tiba. “Tempat ini... menyimpan terlalu banyak luka.”

Kalista tersenyum tipis. “Aku tahu. Tapi aku juga nggak tahu harus ke mana.”

“Ada aku.” Arga memutar tubuh Kalista, menatap matanya. “Pindah sama aku. Aku bisa cari tempat. Kita bisa mulai dari nol.”

Kalista menatap Arga lama. Ada keraguan di matanya, tapi juga harapan. “Kamu serius?”

“Serius. Aku pengen kamu bahagia. Tanpa harus sembunyi. Tanpa harus takut ketahuan. Aku bukan paman Arman, Kal. Aku nggak mau miliki kamu karena tekanan.”

Kalista menggigit bibir bawahnya. Matanya mulai basah.

“Aku takut, Ga... Takut kamu nyesel. Takut semua ini berakhir lebih menyakitkan.”

“Aku juga takut,” balas Arga jujur. “Tapi aku lebih takut kehilangan kamu.”

Suasana kamar menjadi sunyi kembali. Hanya detik jam yang berdetak lambat, seolah memberi waktu bagi keduanya untuk mencerna perasaan masing-masing.

Kalista perlahan bangkit, mengambil kemeja Arga dan memakainya. Ia duduk di tepi ranjang, membelakangi Arga.

“Kalau aku pergi dari sini, dari hidup Paman Arman...” katanya pelan. “Dia bisa hancurkan aku. Dia tahu semua tentang keluargaku. Dia punya foto, rekaman, bukti transaksi. Dia ancam aku kalau suatu hari aku berani ninggalin dia.”

Arga ikut bangkit. “Aku nggak peduli. Aku bakal lindungin kamu.”

“Kamu belum tahu siapa dia sebenarnya, Ga... Dia lebih dari sekadar pamanmu. Dia... punya dunia gelap yang nggak bisa disentuh hukum.”

Arga terdiam. Kepalanya menunduk. Ia tahu pamannya bukan pria baik, tapi kenyataan yang baru ia dengar dari mulut Kalista membuat perutnya mual.

“Tapi aku nggak mau terus hidup dalam bayangannya,” lanjut Kalista lirih. “Aku cuma pengen hidup sebagai perempuan biasa. Jadi kekasihmu. Jadi seseorang yang bisa kamu genggam tanpa takut.”

Arga berdiri dan memeluknya dari belakang. “Kalau kamu siap, kita pergi. Kita mulai dari awal. Jauh dari kota ini.”

Kalista mengangguk kecil, walau air matanya mulai menetes. “Aku cuma butuh waktu... satu-dua hari buat siapin semuanya.”

Arga mengecup pelipisnya. “Aku tunggu. Aku bakal selalu tunggu.”

Malam itu berlalu dengan banyak pelukan, sedikit kata, dan berjuta rasa. Mereka tak lagi menyentuh satu sama lain dengan gairah, melainkan dengan kelembutan yang menenangkan. Seperti dua jiwa yang baru saja saling menemukan rumah setelah sekian lama terdampar dalam luka.

Saat dini hari datang dan bulan mulai condong ke barat, Kalista membisikkan satu kalimat yang membuat Arga menggenggam tangannya lebih erat.

“Kalau suatu hari nanti aku hilang, carilah aku. Aku nggak akan pergi tanpa alasan.”

Arga memeluknya erat.

“Kamu nggak akan ke mana-mana tanpa aku.”

Keesokan harinya, udara pagi terasa berat. Arga memandang Kalista yang duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke luar jendela. Ia bisa merasakan betapa hati perempuan itu diliputi ketakutan dan keraguan. Ada banyak hal yang harus diputuskan, dan Kalista tahu keputusan itu tidak mudah.

“Kamu siap?” tanya Arga pelan, menyentuh pundaknya dengan lembut.

Kalista mengangguk pelan, namun bibirnya terasa kaku. “Aku siap, Ga. Tapi aku nggak bisa janji semuanya bakal mudah.”

“Tidak ada yang mudah, Kal. Tapi kalau kita hadapi bersama, kita bisa melalui semuanya.”

Arga duduk di sebelahnya, menatap Kalista dengan penuh perhatian. Meskipun ia ingin memberikan kenyamanan, ia juga tahu bahwa masa depan mereka tidak semudah itu. Paman Arman masih berada di luar sana, menunggu untuk menghancurkan apa pun yang ia anggap miliknya.

“Paman Arman... dia bukan orang yang mudah untuk dilawan. Kalau kita pergi, kita harus siap dengan segala konsekuensinya,” kata Kalista dengan suara yang semakin lirih.

Arga meremas tangannya. “Aku nggak peduli dengan konsekuensinya, Kal. Yang aku peduli cuma kamu. Kalau kamu benar-benar ingin keluar dari bayangannya, kita harus siap kehilangan semua yang ada di sini.”

Kalista menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku takut kehilangan apa yang telah aku bangun, Ga. Aku takut kalau aku pergi, aku akan kehilangan lebih dari sekadar dia. Aku akan kehilangan diriku sendiri.”

“Aku akan bantu kamu menemukan diri kamu lagi, Kal,” Arga meyakinkan. “Kamu nggak sendirian lagi. Aku di sini.”

Kalista menatapnya sejenak, lalu mengangguk, meski matanya berkaca-kaca. “Aku ingin percayakan itu padamu, Ga. Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana.”

Arga menggenggam kedua tangannya. “Kita mulai dari sekarang. Mulai dengan langkah kecil. Satu per satu. Nggak ada yang perlu kamu takuti. Aku di sini untuk kamu.”

Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam suasana yang penuh perasaan. Di luar, suara angin yang berdesir di sela-sela pepohonan di halaman rumah terasa seperti sebuah pertanda, seperti alam turut merasakan perasaan mereka yang begitu terbebani.

“Aku harus telepon dia,” Kalista berkata, memecah keheningan.

Arga menatapnya dengan cemas. “Kamu yakin?”

“Paman Arman... dia harus tahu bahwa aku akan pergi. Aku nggak bisa kabur begitu saja, Ga.”

Arga mengangguk, meski hatinya merasa berat. Ia tahu, pertemuan dengan Paman Arman takkan mudah. Namun ia juga tahu, ini adalah langkah yang harus diambil jika Kalista ingin bebas.

Kalista meraih ponselnya dan mulai menekan angka, tangannya sedikit gemetar. “Aku harus ngomong sama dia,” ujarnya, lebih pada diri sendiri. “Aku harus atur semuanya agar kita bisa pergi dengan aman.”

Arga duduk di sampingnya, menunggu dengan sabar. Suara deru napas Kalista yang terdengar sedikit terputus-putus menunjukkan betapa beratnya situasi ini bagi dirinya. Tak lama, Kalista mengangkat telepon dan menekan tombol panggil. Ia menunggu, suara dering yang mengalun di telinganya seakan menciptakan ketegangan yang semakin mengeras di dadanya.

“Arman?” Kalista memulai, suaranya serak. “Aku... aku harus bicara sama kamu. Aku nggak bisa terus begini.”

Mendengar nama itu disebut, Arga merasakan gelombang ketegangan yang semakin membesar. Hatinya berdebar, dan meskipun ia tak ikut dalam percakapan itu, ia tahu bahwa keputusan ini akan mengubah segalanya.

Kalista melanjutkan percakapannya dengan hati-hati, “Aku... aku nggak bisa terus jadi bagian dari permainan kamu. Aku harus pergi. Aku nggak mau hidup dalam bayang-bayangmu lagi. Aku nggak mau takut setiap hari.”

Sekali lagi, hening memenuhi ruangan. Hanya ada suara bisikan halus dari Kalista, yang berusaha menjaga ketenangannya meskipun hatinya terasa hancur. Ia tahu, keputusan ini bisa berakhir dengan kekacauan yang lebih besar.

“Kalista, jangan bodoh!” terdengar suara Arman yang memekakkan telinga dari ujung telepon. “Kamu nggak tahu apa yang kamu lakukan. Kamu akan menyesal.”

“Aku nggak akan menyesal, Arman. Aku nggak mau lagi jadi bagian dari dunia kotormu. Ini selesai.”

Ada hening panjang sebelum Kalista menutup teleponnya. Arga menatapnya dengan cemas, namun yang terlihat di wajah Kalista adalah kelegaan yang terpendam.

“Aku sudah bilang. Aku pergi,” ucap Kalista, suara lirih namun tegas.

Arga meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Kita akan baik-baik saja. Aku janji.”

Kalista hanya bisa mengangguk pelan. Rasanya seperti beban yang sudah bertahun-tahun menghimpit jiwanya akhirnya mulai terangkat. Namun ia tahu, perjalanan ini masih panjang. Di luar sana, ada banyak hal yang harus mereka hadapi bersama.

Di luar, mentari mulai terbit. Cahaya matahari pagi menyentuh permukaan kaca jendela, menciptakan kilauan lembut di dalam ruangan. Mereka berdua saling berpandangan, merasakan bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Namun juga, ini adalah perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian.

Kalista menatap Arga, matanya penuh dengan tekad. “Kita akan mulai hidup baru, Ga. Mungkin bukan yang sempurna, tapi ini yang kita pilih.”

Arga tersenyum dan mengangguk. “Ya, Kal. Ini yang kita pilih.”

1
Usmi Usmi
pusing baca nya SDH kabur tapi kumpul lg
Rindu Firdaus: Halo kak, makasih ya udah mampir dan baca karyaku /Smile/ oh iya kk nya pusing ya? sama kak aku juga pusing kenapa ya bisa kumpul lagi, biar ga pusing... yuk baca sampai habis /Chuckle/
total 1 replies
Usmi Usmi
seharusnya td Arga jujur aja
Usmi Usmi
kayak nya cinta jajaran genjang ya Thor 😂
Rindu Firdaus
Buat yang suka drama panas dan cinta terlarang, ini wajib dibaca. Ceritanya greget dari awal sampai akhir!
iza
Sudah nunggu dari kemarin-kemarin, ayo dong thor.
Kiritsugu Emiya
Habis baca cerita ini, aku merasa jadi karakter di dalamnya. Luar biasa, thor!
Dadi Bismarck
Jangan nggak baca, sayang banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!