NovelToon NovelToon
WIDARPA

WIDARPA

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Horror Thriller-Horror / Anak Yatim Piatu / Pengasuh
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Karangkuna

Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.

Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.

Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

WIDARPA 17

Kiwi berdiri di depan Renjana dengan tatapan penuh tanda tanya, seolah-olah ia tahu ada sesuatu yang sedang tidak beres. Renjana merasa seperti tertangkap basah, hatinya berdebar kencang, dan seketika tubuhnya terasa kaku. Dia baru saja disergap rasa takut yang sangat mendalam, namun begitu melihat wajah Kiwi, dia merasa sedikit lega, meskipun perasaan cemasnya masih belum hilang.

Dengan napas yang berat, Renjana menghembuskan napas keras-keras, merasa seolah bebannya sedikit terangkat.

Kiwi menatapnya dengan hati-hati, lalu bertanya dengan suara yang lembut namun penuh makna, "Ada hal lain yang kamu tahu di bawah sana?"

Renjana merasakan matanya mulai melirik pintu hitam itu lagi, masih merasa ada sesuatu yang aneh. Namun, dia menggelengkan kepala, berusaha tampak tenang meskipun sebenarnya hatinya masih penuh keraguan. "Tidak, tidak ada apa-apa. Pintu itu terkunci, dan aku tidak bisa mendengar apa-apa di dalam sana," jawabnya dengan suara sedikit tergetar, mencoba mengalihkan perhatian dari pintu yang membingungkannya.

Kiwi mengamati Renjana sejenak, tampaknya masih mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, akhirnya dia mengangguk, meskipun ekspresinya tetap penuh tanda tanya.

Kiwi memandang Renjana sejenak, lalu memberi isyarat dengan kepala untuk segera naik ke atas. "Ayo, kita harus pergi sebelum ada yang melihat," katanya, suaranya berbisik agar tidak terdengar terlalu jelas.

Renjana mengangguk, mengikuti langkah Kiwi yang cepat dan hati-hati. Namun, rasa penasaran yang menggantung di pikirannya membuatnya tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Kiwi, apa sebenarnya ruangan itu? Aku merasa ada sesuatu yang aneh tentang tempat itu."

Kiwi berhenti sejenak di depan kamar mereka, menatap Renjana dengan tatapan serius. "Kami di sini menyebutnya ruang isolasi," jawabnya pelan, seolah berat untuk mengucapkannya. "Dokter Gio pernah bercerita bahwa di sana mirip seperti ruang perawatan yang lebih lengkap daripada ruangannya, anak-anak yang sakit dan membutuhkan penanganan ekstra dipindahkan ke ruangan itu." Suaranya terdengar datar, tetapi ada ketegangan di balik kata-katanya.

Renjana merasa sedikit lega mendengar penjelasan itu, meskipun masih ada banyak pertanyaan di dalam dirinya. Namun, sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, Kiwi melanjutkan, "Tapi... ada yang aneh. Tidak ada yang benar-benar tahu pasti apa yang terjadi di sana. Tidak ada yang benar-benar pergi ke sana kecuali ketua, wakilnya dan dokter Gio. Dan... ada rumor dari beberapa staf lain."

Renjana menatap Kiwi, merasa jantungnya mulai berdetak lebih cepat. "Apa rumor itu?" tanyanya, suara sedikit bergetar.

Kiwi menelan saliva, tampaknya ragu untuk melanjutkan, namun akhirnya dia menghela napas dan berkata dengan suara lebih pelan, "Beberapa anak yang dibawa ke sana... tidak pernah kembali lagi. Mereka hilang, Renjana. Entah apa yang terjadi di dalam sana, tapi ada yang bilang mereka menghilang tanpa jejak. Seolah-olah mereka tidak pernah ada."

Renjana merasa tubuhnya kaku mendengar cerita itu. Ketakutan mulai merayap masuk ke dalam dirinya, mengingat betapa banyak hal yang masih belum diketahui, dan betapa banyaknya pertanyaan yang muncul tentang panti ini.

"Apakah... apakah itu benar?" Renjana bertanya, suaranya hampir berbisik.

Kiwi mengangkat bahu, wajahnya kini serius. "Aku tidak tahu pasti. Tapi rasanya selama aku bekerja di sini tidak ada hal buruk yang terjadi. Tapi ada baiknya kita berhati-hati."

Renjana terdiam, merasa cemas dan takut. Banyak hal yang terasa ganjil, dan kini cerita tentang ruang isolasi itu menambah daftar panjang misteri yang harus dia ungkapkan. Namun, untuk saat ini, dia hanya bisa mengangguk, berusaha menenangkan diri sambil memasuki kamar. Rasa penasaran dan ketakutan bercampur menjadi satu, dan dia tahu, sesuatu yang lebih besar sedang tersembunyi di balik semua ini.

Renjana semakin curiga dengan segala hal yang terjadi di sekitar ruang berpintu hitam itu. Perasaan tidak nyaman semakin mengganggu pikirannya, terlebih setelah mendengar cerita dari Kiwi tentang rumor yang beredar di panti ini. Semakin dia memikirkan ruang isolasi itu, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana? Dan mengapa tidak ada yang pernah kembali setelah dibawa ke sana?

Malam itu, salah satu anak asuhnya, Adi, tiba-tiba jatuh sakit. Demam tinggi, tubuhnya menggigil dan matanya tampak lelah. Renjana merasa cemas dan  mencoba untuk memberinya obat penurun panas dan memeriksa kondisinya. Meskipun demamnya cukup tinggi, Renjana merasa tidak perlu membawa Adi ke ruang isolasi. Ada sesuatu yang terasa salah dengan tempat itu, dan dia merasa bahwa Adi seharusnya dirawat di kamarnya saja.

Namun, ketika dia melaporkan kondisi Adi kepada pengasuh lain yang masih terjaga yaitu Kiwi, dia justru bersikeras untuk membawa Adi ke ruang isolasi.

“Renjana, kita tidak bisa mengambil risiko. Kamu tahu prosedurnya. Anak-anak yang terkena demam tinggi dan gejala seperti ini harus segera dibawa ke ruang isolasi,” kata Kiwi dengan nada yang tegas. "Ini untuk kepentingan bersama. Semua anak harus aman."

Renjana merasa tidak nyaman mendengar perintah itu. Ada sesuatu yang tidak sesuai dengan sikap Kiwi, dan firasatnya semakin kuat bahwa ada yang disembunyikan di balik ruang isolasi itu. “Tapi... kenapa harus ke sana? Bukankah kita bisa merawatnya di sini? Demamnya juga belum parah, hanya sedikit tinggi," Renjana mencoba membujuk dengan lembut, merasa bimbang.

Kiwi menatapnya dengan pandangan yang lebih tajam. "Renjana, ini bukan waktu untuk bertanya. Kamu tahu peraturan ini ada demi keselamatan semua orang. Jangan membuat hal ini lebih rumit. Segera bawa dia ke ruang isolasi."

Renjana berdiri di luar kamar Gajah, hatinya semakin tidak tenang dengan setiap detik yang berlalu, dia mencoba menenangkan dirinya atas saran Kiwi. Meskipun Kiwi bersikeras untuk membawa Adi ke ruang isolasi, Renjana merasa sangat tidak nyaman. Dia yakin ada yang tidak beres dengan tempat itu, dan dia tak ingin mengorbankan kesejahteraan anak-anak asuhnya tanpa alasan yang jelas.

Dengan tekad yang kuat, Renjana mencoba berusaha menghalangi rencana itu. "Aku benar-benar yakin kita bisa merawat Adi di sini. Dia hanya demam biasa, dan aku sudah memberinya obat. Tidak perlu membawa dia ke sana," Renjana berkata dengan nada yang lebih tegas, mencoba menunjukkan bahwa dia yakin dengan kemampuannya merawat Adi.

Kiwi menatapnya dengan tatapan yang tajam, namun akhirnya dia menghela napas panjang dan mengangguk. "Baiklah, kalau kamu yakin. Tapi, jika ada apa-apa, kamu harus segera memberitahuku, kita akan menemui dokter Gio bersama," katanya, akhirnya menyerah dengan kondisi tersebut.

Renjana merasa lega, meskipun keraguan masih menyelimuti pikirannya. Dia merawat Adi dengan hati-hati, memberikan obat penurun panas, dan memastikan anak itu cukup istirahat. Namun, rasa khawatir tetap menghinggapi dirinya, dan dia merasa tidak bisa mengabaikan perasaan curiga yang mengganggu.

Malam itu, ketika kesunyian menyelimuti panti, Renjana memutuskan untuk mengecek keadaan Adi. Langkahnya pelan namun pasti, menuju kamar tempat Adi beristirahat. Saat tiba di depan pintu, dia mendengar suara gemerisik halus dari dalam, seolah ada yang bergerak. Hati Renjana mulai berdebar.

Dengan hati-hati, dia membuka pintu, dan pemandangan yang dia temui membuat tubuhnya langsung kaku. Adi tergeletak di atas ranjang, tubuhnya menggigil hebat, matanya terbalik, dan bibirnya mulai berbusa. Renjana hampir tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat. Adi sedang mengalami kejang.

"A-adi!" Renjana berlari ke sisi ranjang, mencoba untuk menenangkan anak itu, namun tubuh Adi terus bergetar. Kepanikan mulai menghantui Renjana, dan dia segera berusaha mengingat langkah-langkah pertama yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini.

Dia mencoba untuk menjaga Adi tetap aman, memegangi tubuhnya agar tidak terluka, dan mencoba memberikan pertolongan pertama. "Tenang, Adi... tenang..." suara Renjana terdengar gemetar, tapi dia berusaha untuk tetap tenang. Kiwi muncul dan berlari ke lantai satu untuk memanggil dokter Gio.

Renjana merasa gelisah, langkahnya semakin cepat mengikuti dokter Gio yang membawa Adi yang masih terbaring lemah ke ruang isolasi. Ketegangan di hatinya semakin memuncak, dan meskipun dia mencoba untuk tetap tenang, rasa takut dan rasa ingin tahu semakin menguasainya. Dia tak bisa membiarkan Adi dibawa begitu saja tanpa mendampinginya.

Begitu pintu hitam terbuka, Renjana melihat sesuatu yang semakin menambah kecemasannya. Di balik pintu itu, terbentang sebuah deretan tangga panjang yang menuju ke bawah, semakin jauh dari permukaan. Cahaya kuning dari lampu yang sengaja dipasang berderetan di dinding menyelimuti lorong itu, dan hawa dingin yang tidak biasa membuatnya merasa lebih terasing. Renjana berhenti di ambang pintu, tubuhnya seperti dipenuhi ketegangan yang tak bisa dia ungkapkan.

Adrenalinnya melesat begitu melihat Adi dibawa lebih jauh ke dalam, menuju tempat yang tak bisa ia jangkau. Dia tak bisa membiarkan anak itu pergi tanpa mendampinginya. Tapi, saat ia melangkah lebih jauh hendak memasuki ruang itu, sebuah tangan tiba-tiba memegang lengannya dengan kuat.

Renjana terkejut, berbalik dengan cepat, dan di hadapannya berdiri Helena. Tatapan wanita itu menusuk tajam, penuh dengan kekuatan yang tidak bisa ditentang. "Kembalilah ke atas," kata Helena dengan suara yang dingin dan penuh perintah. "Anak itu sudah ditangani oleh orang yang tepat."

Renjana merasa hatinya bergejolak. "Tapi, saya ingin mendampingi Adi. Saya harus memastikan dia baik-baik saja," protesnya, mencoba untuk tetap bersikeras. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, Helena memotongnya dengan tegas.

"Patuhlah!," suara Helena semakin dingin dan penuh kekuatan. "Kamu tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana, dan itu bukan urusanmu. Pergi dari sini." Setiap kata yang keluar dari mulut Helena terasa seperti perintah yang tak bisa dibantah, dan tatapannya yang tajam membuat Renjana merasa kecil dan terpojok.

Renjana membuka mulutnya, ingin berkata sesuatu lagi, namun kata-kata itu seperti tersangkut di tenggorokannya. Renjana merasa tubuhnya serasa terhimpit oleh kekuatan yang tak terlihat. Dia tahu bahwa jika dia tetap berada di sana, bisa jadi dia akan menghadapi konsekuensi yang lebih buruk. Rasa penasaran dan kecemasannya semakin menguat, namun akhirnya, dengan enggan, dia mengangguk dan berbalik, melangkah kembali ke atas, meninggalkan pintu hitam itu di belakangnya. Semoga anak itu baik-baik saja, batinnya.

 

 

1
Nicky Firma
awal yang bagus, ditunggu part selanjutnya
Karangkuna: terima kasih /Smile/
total 1 replies
Senja
bagus. lanjut thor
Karangkuna: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!