Sean, seorang Casanova yang mencintai kebebasan. Sean memiliki standar tinggi untuk setiap wanita yang ditidurinya. Namun, ia harus terikat pernikahan untuk sebuah warisan dari orang tuanya. Nanda Ayunda seorang gadis yatim piatu, berkulit hitam manis, dan menutup tubuhnya dengan jilbab, terpaksa menyanggupi tuntutan Sean karena ulah licik dari sang Casanova.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
"Aku tidak mengajari orang dewasa. Kamu bisa berlatih pada yang lebih kompeten."
Nanda menolak, berdiri dan membereskan bekas mangkuk mie mereka yang sudah kosong, membawanya ke wastafel dan mulai mencucinya. Bekas masak tadi juga masih bertumpuk di sana, sengaja ditinggalkan karena udah terlalu lapar.
Melihat Nanda mencuci sendiri, Sean bergerak berdiri di samping gadis berkulit hitam itu. Ikut membilas dan menyimpannya di rak. Nanda menggulun senyum, entah karena apa, tapi ia senang.
"Di lap dulu, baru masukin ke rak."
"Oohh, jadi salah ya?" Sean mengambil lagi mangkuk basah yang sudah ia simpan di rak, lalu mengambil lap kering yang tergantung di dekat wastafel.
"Boleh Pake ini?"
"Heemm." Nanda berdehem kecil. Walau hanya perlakuan kecil seperti ini, ia tersentuh. Apalagi, Sean tak pernah membantu selama ini. Hanya mengurusi hidupnya sendiri. Nanda jadi teringat beberapa waktu lalu, saat ia merasa sangat sial dan menyalahkan Sean. Padahal ia sangat tau ini bukan sepenuhnya salah lelaki itu. Nanda hanya terlalu lelah dengan keadaan dan akhirnya melampiaskan pada Sean yang mungkin tak tau apa-apa. Dan itu berhasil membuatnya merasa bersalah.
"Maaf," cetusnya begitu saja.
Sean menoleh, walau tak mengeluarkan suara, tetapi sudah mengisyaratkan tanya.
"Malam itu, waktu aku bilang membencimu... Aku tidak sungguh-sungguh membencimu. Aku hanya kesal padamu karena tak kunjung datang. Dan sialnya, semua tidak berakhir begitu saja. Aku masih mendapat rentetan hal tak menyenangkan, dan rasa kesal itu bertumpuk jadi satu. Tidak tau, aku malah jadi menyalahkan mu."
Nanda memberanikan diri menoleh menatap Sean yang telah selesai mengelap wadah terakhir.
"Aku minta maaf, kamu mungkin saja punya alasan kuat sampai tidak bisa datang ataupun mengabari. Tapi, aku terlalu picik membenci dan menyalahkan mu. Maaf."
Nyes!
Untaian kata Nanda yang terdengar begitu lembut menyentuh tepat di dalam dada Sean. Apa lagi, iris mata coklat itu berhasil membiusnya dalam sekejap. Mengunci kuat pandangan matanya hingga tak bisa beralih dari sana.
Hening!
Mata beradu dalam keheningan malam. Tiba-tiba Nanda terkikik dengan bahu yang sedikit berguncang.
"Berkacalah, lihat wajahmu itu! Lucu sekali!" celoteh Nanda memutus pandangan masih dengan tawa kecil.
Bagaimana ia mau tidak tertawa, wajah Sean yang sudah putih dari sananya, tambah putih dengan tepung yang masih menempel di wajahnya. Hanya bagian mulut dan sekitar hidung yang samar karena ia makan mie tadi. Putihnya tepung masih setia menempel di rambut legam lelaki itu.
Tawa Nanda menular pada Sean. Ia juga ikut tertawa.
"Ini kan ulahmu," ocehnya masih terkekeh.
"Itu karena kau yang mulai!" Nanda membela diri, memang Sean lah yang awalnya menjahili dirinya.
"Kau juga harus berkaca Mal, lihatlah dirimu sendiri sebelum menertawakan orang lain."
Nanda masih tertawa, berjalan menuju kamarnya. "Sudah malam, bersihkan diri dan tidur!" Serunya sambil lalu.
"Demi apa, aku masih terjaga jam segini," gumam gadis itu masih terdengar ditelinga Sean meski lirih sekali. Hingga sudut bibirnya tertarik ke atas meski sudah coba ia tahan.
"Apa sih? Wajar saja, kamu sudah membayarnya tiap bulan."
Sean pun bergumam, menggelengkan kepala dan tersenyum-senyum sendiri tanpa tau apa penyebabnya. Yang jelas hatinya sangat senang sekarang.
.
.
"Apa ini? Kenapa tidak ada makanan?"
Protes Sean setelah ia bangun pagi dan mendapati meja dapur tempat biasa mereka makan kosong. Mengirim pesan singkat pada kontak bernama Malika.
Pesan balasan diterima, dengan cepat Sean membuka pesan dari Nanda.
"Tidak masak, aku terburu-buru karena kesiangan. Semalam ada seseorang yang memaksaku terjaga hingga sangat larut. Kita juga tak punya stok. Ingat?"
Sean berdecak kesal membaca pesan balasan dari istri kontraknya itu.
"Dia menyalahkanku secara halus," gumamnya tersenyum kecut.
"Baiklah, cepat pulang. Nanti kita belanja." Pesan di kirim.
"Kenapa tidak belanja sendiri?" Sean membaca balasan dari Nanda.
"Nanti salah beli," tulis Sean lalu kirim.
Tak ada balasan lagi dari Nanda. Sean tau, Malika-nya tengah bekerja saat ini. Berbeda dengannya yang diakhir Minggu libur.
sementara itu, Nanda yang terpaksa menjeda menyiapkan kopi untuk istirahat pagi, menyimpan gawainya. Setelah ia sempat ragu untuk membalas atau tidak.
"Nanda!"
Eni yang baru datang menyenggol lengan gadis manis itu.
"Ada apa En?" Nanda melanjutkan lagi memasukan kopi dalam tea pot.
"Kamu pacaran sama mas Irham?" Selidik wanita berkulit putih menatap Nanda.
Nanda menggeleng,"siapa yang bilang?"
"Anak-anak." Eni ikut mengambil gula untuk tambahan kopi yang Nanda buat.
Nanda menoleh bingung,"Maksudnya?"
"Kalian kan emang sering terlihat pulang bareng."
"Itu kan cuma hari tertentu, pas kami satu shift dan ada jadwal les renang Kanaya." Nanda menjelaskan tanpa menjeda pekerjaannya membuat kopi.
"Kemarin kalian pulang bareng kan?"
Nanda mengangguk.
"Terus makan bareng di lesehan pecel lele kan?"
Nanda mengangguk lagi
"Nah ada anak produksi dan gudang yang lihat." Eni bercerita dengan antusias,"Dan mereka bilang sempat dengar mas Irham ngajak mau pacaran. Beneran?"
Nanda terperangah, mulutnya terbuka membentuk huruf o. Rupanya ini sudah menyebar seperti wabah saja.
"Kami nggak pacaran, Eni."
"Jadi, kamu tolak?" Eni terkejut dan menuntut jawaban.
"Enggak juga."
"Terus?"
"Mas Irham memberiku waktu berpikir," ucap Nanda.
"Kalian dekat. Kamu juga sepertinya suka sama mas Irham."
Nanda terdiam, haruskah ia ceritakan kejadian sebelumnya karena ada sangkut pautnya dengan Irham juga? Tapi, bijakkah?
"Kenapa wajahmu begitu? Apa aku salah? Ku pikir kamu juga menyukai mas Irham," cetus Eni menelisik wajah Nanda.
"Aku nggak tau apa yang aku rasakan En."
"Nggak tau gimana? Apa kamu ragu? Mas Irham itu orang baik loh. Ah, kamu pasti lebih tau. Apa kamu sudah punya seseorang?"
Nanda tak tau harus menjawab apa. Saat ini pernikahannya dengan Sean tak bisa disebut sebagai sebuah hubungan. Mereka hanya terikat kontrak, ia bahkan mendapat gaji untuk itu dari Sean. Meski hanya kontrak, tetapi mereka terdaftar secara agama dan negara. Apakah hubungan ini tak bisa diakui?
Tak terdengar sanggahan, Eni melebarkan matanya. Berprasangka jika Nanda memang sudah memiliki pria lain.
"Benar kamu sudah punya seseorang?"
Nanda hanya mengulas senyuman.
"Apa sih? Lihat!" Nanda mengeluarkan tanda pengenalnya yang memang masih berstatus belum kawin, "Aku masih single."
"Tapi, kan bisa aja kamu udah punya pacar."
"Aku tidak cukup percaya diri menjalin hubungan, En. Aku bukan wanita cantik dan putih."
"Nanda, Nanda, sebuah hubungan itu tak selalu tentang fisik." Eni menggeleng seraya tersenyum.
"Lihatlah, leader kita, pak Rafi. Dia lumayan ganteng kan? Tau nggak istrinya gimana? Gendut banget dan yaahh, seperti itulah, tapi pak Rafi cinta banget sama istrinya.
Itu adalah bukti hubungan tak selalu memandang fisik. Mungkin saja, istrinya pak Rafi bisa bikin nyaman dan memiliki inner yang bagus. Sampai pak Rafi segitu cintanya pada istri," ucap Eni yang memberi Nanda motivasi agar tak minder. Baginya, saat ini Nanda hanya minder saja. Walaupun gadis itu tak berkulit putih dan cantik, tetapi ia manis dan tak jelek juga.
"Nanda, kurasa, mas Irham nggak melihat mu dari fisik. Ia bilang cinta setelah kalian beberapa bulan bersama kan? Itu artinya, dia menyukai kepribadianmu. Seseorang yang mencintai kepribadian pasangannya, dia tak akan pernah berubah. Percayalah," cetus Eni lagi menyambung seraya menepuk lengan Nanda.
"Iya, iya, Mak cupit!" Celetuk Nanda mencubit pipi Eni yang sedari tadi tak henti memberinya semangat.
Eni tersenyum,"nanti kalau kalian benaran jadian, kamu harus kasih tau aku pertama. Oke?"
Nanda tak menjawab, hanya melempar senyuman. Tak yakin akan berpacaran dengan Irham atau tidak. Apakah lelaki itu bisa menerima dan menunggu hingga kontraknya dengan Sean berakhir?
Nanda menggeleng.
"Aku tak ingin menyakiti siapapun. Mas Irham belum tentu berlapang dada dan bisa menerima hubungan ini. Nantinya, ia juga akan tau jika aku pernah menikah meski masih seorang gadis. Apa dia akan percaya?" Nanda bermonolog dalam hati.
.
.
Siang itu, sepulang kerja, Nanda menaiki ojek online menuju rumah Sean. Seperti kesepakatannya dengan Sean tadi lewat pesan singkat. Setelah pulang mereka bermaksud ke pusat perbelanjaan untuk stok dapur.
"Terima kasih ya, pak." Nanda menyerahkan lembaran uang pada tukang ojek, setelah berhenti tepat di depan rumah Sean.
Tukang ojek berlalu, dan Nanda masuk ke dalam rumah setelah menutup pagar. Tanpa ia tau dan sadari, Irham mengikutinya hingga sampai di rumah itu. Di jalan beberapa meter dari rumah, Irham melepas helmnya. Melihat lebih jelas rumah berlantai satu yang cukup mewah untuk seorang pekerja cleaning servis.
"Jadi Nanda tinggal di sini?" gumam lelaki itu."Ini rumah lumayan besar, kenapa ia merahasiakan dariku? Selalu meminta diantar sampai panti?"
Ditengah tanda tanya di kepala Irham, terdengar suara dari arah dalam rumah berpagar hijau itu.
"Buruan! Lelet banget sih?"
Mata Irham melebar melihat seorang yang baru saja keluar dari dalam rumah.
dah tau sean udah muak sama kamu udah dblokir pula ehhh PD bgt sok nlpon2
🤭👍🌹❤🙏
sean siap siap otakmu dipenuhi nanda nanda dan nanda 🤣🤣
biar tau rasa tuhhh si Seannn 😝😏😏