Aisyah, seorang istri yang selalu hidup dalam tekanan dari mertuanya, kini menghadapi tuduhan lebih menyakitkan—ia disebut mandul dan dianggap tak bisa memiliki keturunan.
mampukah aisyah menghadapi ini semua..?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon prettyaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
makan malam menyakitkan
Malam itu, Aisyah berdiri di depan cermin, merapikan hijabnya dengan hati yang gelisah. Ia tahu bahwa makan malam ini bukan hanya sekadar pertemuan keluarga biasa. Ada sesuatu di baliknya, sesuatu yang sudah bisa ia tebak sejak awal.
Saat ia turun ke ruang tamu, Farhan sudah menunggunya. Suaminya itu mengenakan kemeja putih sederhana, tampak tenang meskipun Aisyah bisa melihat ada ketegangan di matanya.
"Kamu siap?" tanya Farhan pelan.
Aisyah mengangguk, meskipun dalam hatinya ia tidak yakin apakah benar-benar siap menghadapi malam ini.
Sesampainya di rumah mertuanya, Aisyah langsung disambut dengan senyuman ibu Farhan, senyuman yang terasa penuh makna.
"Akhirnya kalian datang juga. Ayo duduk, makanannya sudah siap," ucapnya dengan nada ceria, seolah tak ada sesuatu yang janggal.
Aisyah melangkah masuk, lalu matanya menangkap sosok yang sudah duduk di meja makan. Rania.
Wanita itu tersenyum hangat, seolah tak ada niat buruk sedikit pun. "Akhirnya kita bertemu lagi. Aku senang bisa makan malam bersama kalian."
Aisyah hanya tersenyum tipis dan duduk di samping Farhan, berusaha mengabaikan kehadiran Rania yang jelas-jelas bukan bagian dari keluarga ini.
Selama makan malam, ibu Farhan lebih banyak berbicara dengan Rania. Membahas banyak hal, tertawa bersama, seolah ingin menunjukkan betapa cocoknya Rania dengan keluarga ini.
"Rania ini dulu sangat perhatian pada Farhan," ujar ibu Farhan tiba-tiba, membuat suasana sedikit canggung. "Dia selalu tahu apa yang Farhan suka dan tidak suka. Benar, kan, Farhan?"
Farhan yang sejak tadi lebih banyak diam hanya berdeham pelan. "Bu… jangan membahas masa lalu."
Rania tersenyum lembut, tetapi sorot matanya menunjukkan sesuatu yang lain. "Tidak apa-apa, Farhan. Aku justru senang mengingat kenangan itu. Dulu kita sering makan malam bersama seperti ini, kan?"
Aisyah merasakan jantungnya mencelos, tetapi ia tetap menahan diri.
Melihat Aisyah yang diam, ibu Farhan kembali berbicara. "Aisyah, kamu tidak cemburu, kan?" tanyanya dengan nada menggoda, namun penuh sindiran.
Aisyah tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. "Tidak, Bu. Masa lalu tetaplah masa lalu. Yang terpenting sekarang adalah masa depan."
Farhan melirik istrinya, ada rasa bangga sekaligus bersalah di matanya. Ia tahu betapa beratnya bagi Aisyah untuk berada di situasi ini.
Namun, Rania tak ingin menyerah begitu saja. Ia menyentuh lengan Farhan secara halus, membuat Aisyah mengepalkan tangannya di bawah meja.
"Farhan, kamu masih ingat tempat favorit kita dulu? Mungkin suatu hari kita bisa pergi ke sana lagi, mengenang masa-masa indah."
Farhan langsung menarik lengannya dengan halus, menatap Rania dengan tegas. "Maaf, Rania. Aku tidak bisa. Sekarang aku sudah punya istri, dan aku menghargai pernikahanku."
Ibu Farhan terlihat tidak senang dengan jawaban itu. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Aisyah meletakkan sendoknya dan tersenyum.
"Terima kasih, Bu, makanannya sangat enak. Tapi saya rasa kami harus pulang sekarang."
Farhan memahami maksud Aisyah, lalu ia pun ikut berdiri. "Terima kasih, Bu. Kami pamit dulu."
Saat keduanya hendak pergi, ibu Farhan hanya bisa mendengus pelan, sementara Rania menatap mereka dengan senyum penuh arti. Ia belum menyerah. Ini baru permulaan.
***
Dalam perjalanan pulang, Aisyah duduk diam di dalam mobil, menatap jalanan yang sepi dengan perasaan campur aduk. Farhan beberapa kali meliriknya, mencoba mencari tahu apa yang ada di benaknya.
"Aisyah…" suara Farhan memecah keheningan.
"Aku tahu kamu pasti merasa tidak nyaman tadi."
Aisyah menarik napas pelan. "Bukan hanya tidak nyaman, Farhan. Aku merasa seperti orang luar di keluarga sendiri."
Farhan menggenggam kemudi dengan erat. "Aku minta maaf, Sayang. Aku juga tidak menyangka ibu akan mengundang Rania. Aku benar-benar tidak punya kendali atas itu."
Aisyah menoleh, menatapnya lekat. "Farhan… Ibumu jelas lebih menyukai Rania. Dia ingin kita berpisah."
Farhan menggeleng. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku menikah denganmu bukan karena siapa-siapa, tapi karena aku mencintaimu."
Kata-kata itu seharusnya bisa sedikit menenangkan Aisyah, tetapi bayangan tentang Rania dan ibu mertuanya terus mengganggunya. Ia tahu bahwa makan malam tadi hanyalah permulaan.
***
Di sisi lain, di rumah keluarga Farhan, Rania masih duduk bersama ibu Farhan di ruang tamu.
"Ibu, aku tidak yakin Farhan akan mudah luluh," kata Rania dengan nada manja.
Ibu Farhan tersenyum penuh arti. "Tenang saja, Rania. Aisyah mungkin terlihat kuat, tapi dia bukan tandinganmu. Aku tahu cara membuatnya lelah dan menyerah."
Rania mengangkat alis, tertarik. "Apa yang ibu rencanakan?"
Ibu Farhan menyilangkan tangannya di dada. "Aku akan membuatnya merasa dia tidak pantas untuk Farhan. Dengan begitu, dia akan menyerah dengan sendirinya."
Rania tersenyum puas. "Kalau begitu, aku akan bersiap-siap. Farhan harus kembali padaku, bagaimana pun caranya."
Malam itu, dua hati tidur dengan perasaan yang berbeda. Aisyah dengan kegelisahannya, sementara Rania dengan rencana liciknya. Pertarungan ini belum berakhir.