" Iya, sekalipun kamu menikah dengan wanita lain, kamu juga bisa menjalin hubungan denganku. Kamu menikah dengan wanita lain, bukan halangan bagiku “ Tegas Selly.
Padahal, Deva hendak di jodohkan dengan seorang wanita bernama Nindy, pilihan Ibunya. Akan tetapi, Deva benar - benar sudah cinta mati dengan Selly dan menjalin hubungan gelap dengannya. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan antara ketiganya ? Akankah Deva akan selamanya menjalin hubungan gelap dengan Selly ? atau dia akan lebih memilih Nindy ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vitra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batas Cinta dan Luka
Martha sedang mencoba tidur di kamarnya saat tiba-tiba pintu dibuka keras oleh Kevin, diiringi bentakan marah.
“Martha!” serunya dengan nada tinggi.
Martha terkejut. Rasa kantuk yang tadinya masih melekat langsung lenyap. Ia buru-buru duduk tegak di atas ranjang.
“Ada apa sih? Malam-malam begini teriak-teriak segala,” ucapnya, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdetak kencang.
Kevin melangkah cepat mendekatinya. Sorot matanya tajam, wajahnya memerah menahan emosi.
“Kenapa kamu datang ke kantorku tanpa izin dariku?”
Mendengar itu, Martha malah tersenyum miring.
“Kamu serius, Kev? Datang-datang malam-malam, ganggu aku yang sedang mau tidur, hanya untuk bertanya soal itu?”
“Martha, jangan main-main! Jawab saja, kenapa kamu datang ke kantorku siang tadi?” Suara Kevin menurun, tapi justru terdengar lebih menekan.
Martha mengangkat alis. Ia sudah muak terus-menerus menurut tanpa suara. Kali ini, ia ingin membalas.
“Memangnya salah kalau aku datang? Aku kan istrimu, sayang,” ucapnya menyindir, sambil menyentuh pipi Kevin dengan lembut.
Namun Kevin langsung menepis tangan itu. Amarahnya makin mendidih.
Ia mencengkeram pergelangan tangan Martha, tatapannya menuntut jawaban. Martha pun menjawab dengan nada santai, seolah menikmati situasinya.
“Aku cuma ingin mengingatkan orang-orang di kantormu, bahwa aku masih istrimu. Apa itu salah?”
Kevin tampak berusaha keras menahan emosinya. Napasnya memburu, tapi ia tetap tak sampai melakukan kekerasan. Seburuk apapun, ia tahu batasnya.
“Aku nggak mau dengar kamu datang lagi ke kantor. Jangan sampai kamu muncul lagi di hadapan orang-orangku. Kalau kamu masih nekat—”
Belum sempat Kevin menyelesaikan ancamannya, Martha langsung memotong. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Kevin dan berbisik pelan namun tajam,
“Jangan berani mengancam aku seperti itu, Kevin. Karena kalau kamu nekat, reputasi yang sudah kamu bangun bertahun-tahun bisa hancur dalam semalam. Semua yang kamu sembunyikan... ada padaku.”
Kevin terdiam. Matanya menatap tajam, tapi mulutnya terkunci. Ia terpaku, namun dalam hati, ia hanya menganggap semua itu sebagai ancaman kosong dari seorang istri yang sedang terluka. Ia belum benar-benar menyadari bahwa Martha menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar. Baginya, Martha hanya sekedar mengancam.
Martha kembali tersenyum kecil, menyindir dengan tenang, “Santai saja, sayang. Bagaimanapun, kamu tetap suamiku.”
Kevin kembali menatap tajam ke arah Martha. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia membalikkan badan dan melangkah cepat menuju pintu kamar. Sesaat kemudian, suara pintu tertutup keras menggema, membuat Martha hanya bisa menatap ke arah pintu dengan napas berat.
Di balik pintu yang kini telah tertutup rapat, Selly masih menatap ke arah pintu itu dengan ekspresi dingin. Sorot matanya dipenuhi kebencian yang tak lagi bisa disembunyikan.
"Dasar laki-laki brengsek!" umpat Martha dengan penuh emosi.
Ia meluapkan kemarahannya di dalam kamar, sementara di ruangan lain, Kevin pun tak kalah marah. Baginya, Martha sudah melampaui batas sebagai seorang istri. Ia merasa harga dirinya mulai terusik.
"Kalau bukan karena hubungan bisnis orang tua kita, aku pasti sudah menceraikannya sejak hari pertama pernikahan!" geram Kevin sambil berdiri dari kursinya.
Ia menatap meja kerjanya dengan kesal, lalu menghantamnya dengan kepalan tangan.
"Kenapa aku dulu bisa jatuh cinta pada wanita seperti Martha!? Kenapa takdirku bukan bertemu Selly lebih dulu? Sial!" katanya dengan rahang mengeras.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Bulan depan, aku dan Nindy akan lamaran," ucap Deva kepada Selly.
"Bulan depan besok ini?" tanya Selly, terkejut.
"Iya. Bukankah dengan mempercepat rencana ini, aku jadi lebih leluasa untuk sering bersamamu?" jawab Deva.
Selly mengangguk-anggukkan kepala, meski ada rasa khawatir yang perlahan tumbuh. Entah mengapa, akhir-akhir ini ia mulai kehilangan kepercayaan diri. Ia mudah cemburu—terutama kepada istri Kevin—dan kini, perasaan itu mulai muncul juga pada Deva. Meski tak sebesar rasa cemburunya kepada Kevin, tetap saja itu membuatnya gelisah.
"Oh… bagus dong. Jadi nanti setelah kamu menikahi Nindy, ibumu nggak akan curiga lagi sama kamu," balas Selly, mencoba menutupi kecemburuannya.
Perasaanku kenapa jadi aneh begini? batin Selly.
"Eh, aku sudah lama nggak masakin kamu. Mau aku buatkan spaghetti carbonara favoritmu?" tawarnya kemudian.
"Boleh. Kalau dipikir-pikir, memang sudah lama ya kamu nggak masak buat aku," sahut Deva.
"Oke, kamu santai aja dulu," ujar Selly sambil bangkit dan berjalan ke dapur.
Ia membuka kulkas, mengambil bahan-bahan, lalu mulai memasak. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dari perasaan aneh yang kini makin mengganggunya.
Selly memasak dengan fokus, berusaha menepis rasa takut yang diam-diam menyelinap dalam dirinya. Dulu, ia percaya bahwa tak ada pria yang bisa berpaling darinya. Tapi kini, rasa takut kehilangan mulai tumbuh. Kecantikannya tak lagi jadi jaminan kepuasan diri. Kevin yang mulai memperhatikan Martha, dan Deva yang tinggal selangkah lagi akan menikahi Nindy—semua itu membuatnya goyah.
Setelah dua puluh menit, spaghetti carbonara selesai dimasak. Ia tata di piring, beri sentuhan hiasan, lalu membawanya kepada Deva.
Deva tampak senang saat hidangan itu disajikan di hadapannya.
"Wah… kemampuan masakmu nggak berubah," puji Deva.
"Terima kasih. Mungkin memang tanganku ini dianugerahkan khusus buat masakin kamu, Dev," jawab Selly sambil tersenyum. Lalu, ia menambahkan, "Mau aku suapin dua suapan?"
Deva langsung mengangguk. "Boleh, sayang," jawabnya, menatap Selly dengan penuh cinta.
Selly menggulung spaghetti di garpu dan menyuapkannya ke mulut Deva. Deva tampak bahagia.
"Enak banget, Sel. Andai setiap hari kamu bisa masakin aku," ucapnya.
Ucapan itu membuat Selly terdiam sejenak. Ia membayangkan bagaimana rasanya jika ia bisa benar-benar hidup bersama Deva. Tapi... mungkinkah?
"Dev…" panggil Selly pelan.
Deva menoleh, namun karena masih mengunyah, ia hanya membalas dengan anggukan dan alis terangkat.
"Dev, emangnya aku ini nggak layak ya… untuk menikah?" tanya Selly.
Deva langsung tersedak. Ini pertama kalinya Selly membicarakan soal pernikahan.
"Kamu kenapa tiba-tiba nanya begitu? Lima tahun kita bareng, baru sekarang kamu ngomong kayak gini," ucap Deva, masih kaget.
Selly tersenyum kecil, tapi matanya menyiratkan kesedihan. "Aku juga nggak ngerti, Dev. Tiba-tiba aja aku pengin nikah," ucapnya pelan.
Deva mulai goyah. Haruskah ia membatalkan pertunangannya dengan Nindy?
"Kamu nggak cemburu kan, Sel? Soalnya ini bagian dari rencana kita," tanya Deva, mencoba memastikan.
"Aku? Cemburu? Jelas nggak, Dev," jawab Selly cepat. Tapi ia tak hanya sedang berbohong pada Deva—ia juga sedang berusaha membohongi dirinya sendiri.
Ia tak ingin kecantikannya yang selama ini jadi senjatanya, hancur hanya karena rasa takut ditinggalkan Kevin dan Deva dua laki-laki yang kini sedang bersanding dengan wanita lain.