Tidak ada yang bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim yang bagaimana.
Tugas utama seorang anak adalah berbakti pada orang tuanya.
Sekalipun orang tua itu seakan tak pernah mau menerima kita sebagai anaknya.
Dan itulah yang Aruna alami.
Karena seingatnya, ibunya tak pernah memanjakannya. Melihatnya seperti seorang musuh bahkan sejak kecil.
Hidup lelah karena selalu pindah kontrakan dan berakhir di satu keadaan yang membuatnya semakin merasa bahwa memang tak seharusnya dia dilahirkan.
Tapi semesta selalu punya cara untuk mempertemukan keluarga meski sudah lama terpisah.
Haruskah Aruna selalu mengalah dan mengorbankan perasaannya?
Atau satu kali ini saja dalam hidupnya dia akan berjuang demi rasa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bund FF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
memalukan, bu
Sepasang teman baru itu masih betah tinggal di sekolahnya. Hingga pak kebon mengingatkan jika sudah terlalu sore dan sekolah akan ditutup.
"Hei kalian berdua, jangan pacaran disini ya. Pulang sana" usir pak kebon yang sudah menenteng segenggam kunci dintangannya.
"Ganggu saja sih, pak" gerutu Tyo yang memang baru menyelesaikan tugas sekolahnya karena terlalu banyak berdebat dengan Aruna untuk menjawab.
"Memang sudah mau malam. Lapangannya mau saya tutup, gerbangnya mau saya kunci. Apa kalian mau dikunciin di dalam sekolah?" tanya pak kebon.
"Iya, kita balik ini" kata Tyo yang sudah selesai memasukkan bukunya ke dalam tas.
"Sudah seharusnya begitu" kata pak kebon masih diambang pintu.
Lantas membiarkan Tyo dan Aruna keluar dari lapangan, dan keduanya kini berjalan bersama ke arah parkiran.
"Gue anterin ya, Run. Sudah mau malam ini" kata Tyo yang memang membawa kendaraan.
"Nggak usah deh, kak. Gue jalan kaki saja" jawab Aruna.
"Bahaya Run, biar gue anterin" Keukeh Tyo
"Biasanya gue lebih malam daripada ini kalau pulang, dan semuanya aman-aman saja" kata Aruna.
"Untuk kali ini saja, please ya. Biar kaki Lo nggak kecapekan, kasihan kalau disuruh jalan terus. Mendingan sekarang biarin kaki Lo istirahat dengan tenang, dan Lo gue anterin" kata Tyo memaksa.
"Cg, iya. Lo cerewet banget" gerutu Aruna.
"Bagus, gitu dong" kata Tyo.
Keduanya sudah sampai di parkiran, Aruna tak yakin untuk ikut masuk atau tidak. Rasanya aneh sekali nebeng pada temannya seperti ini.
"Buruan masuk! Lo mau dikunciin di sekolah?" tanya Tyo.
"Iya" jawab Aruna lantas memasuki mobil Tyo.
Aruna tak begitu kaget dengan mobil mewah begini. Karena diapun sudah sering kali disuruh Acing untuk menjadi supir saat pria itu pergi ke suatu tempat saat jam kerja.
"Makan dulu ya, Run. Gue laper banget" keluh Tyo yang melewatkan makan siangnya.
"Terserah" jawab Aruna kembali irit bicara, tak seperti saat mendebati sebuah soal.
Mobil yang Tyo kemudikan berjalan melewati gang dimana rumah Marni berada. Aruna menoleh karena lupa jika Tyo masih akan mengajak makan.
"Itu gang rumah gue kelewatan, kak" kata Aruna.
"Yah, Lo nggak bilang sih" kata Tyo seolah menyesal.
"Lupa juga kalau Lo nggak tahu rumah gue" gumam Aruna, di ingatannya hanya Ferdi yang selalu mengantarkan pulang, tak ada lagi lainnya.
"Nggak apa-apa, kita kan masih mau makan, Run" ujar Tyo yang merasa Lucu saat Aruna merasa bersalah.
"Oke deh" kata Aruna.
Rupanya Tyo mengajak makan di sebuah cafe. Tempat baru bagi Aruna untuk sekedar makan. Cafe yang cukup ramai dan nyaman.
Tyo membawa Aruna duduk di lantai dua, tempat nyaman dengan balkon yang bisa menatap ke luar. Aruna sangat senang.
"Mau makan apa, Run?" tanya Tyo.
"Terserah deh, kak" jawab Aruna yang merasa sungkan untuk memilih.
Tyo memahami, daripada memaksa Aruna untuk memilih dan berakhir dia tak mau lagi berteman dengannya, lebih baik dipilihkan saja menu yang sekiranya cocok untuk mereka berdua.
"Nasi goreng seafood dua sama lemon ice tea juga dua ya mbak" ujar Tyo.
"Iya, ditunggu sebentar ya kak" jawab waiters setelah mengulang pesanan Tyo.
Lantas keduanya menunggu dalam diam. Aruna sedang asyik memandangi jalanan yang agak macet di luar cafe.
Setelah makanan datang, perut Aruna baru merasakan lapar karena bau wanginya seolah menyihir untuk segera disantap.
"Kalau mau nambah, bilang ya" kata Tyo memulai makan sambil sesekali menatap Aruna yang makan dalam diam.
Sudah tinggal separuh isi didalam piring keduanya, saat sebuah suara terdengar tak mengenakkan di telinga Aruna.
"Hahaha, lihat siapa yang sedang makan" kata suara seorang wanita yang tiba-tiba datang dimeja Aruna.
Aruna menunduk dalam sambil memejamkan erat matanya sejenak untuk mengumpulkan keberaniannya.
"Bisa saja Lo cari cowok, putriku yang buluk. Hahaha" ternyata wanita itu adalah ibunya sendiri.
"Maaf, Tante siapa ya? Tolong jangan ganggu kami" ucap Tyo berusaha sopan karena mereka sudah menjadi tontonan.
Pandangan mata Tyo menelisik wanita dihadapannya ini. Cantik, bahkan sangat cantik meski sudah terlihat jika sedikit berumur. Tapi tubuh sintalnya sangat terawat dan kulit putihnya semakin mempesona dengan make up yang sedikit berlebihan.
Bajunya terlalu terbuka hingga bagian tubuh yang membuat para lelaki jantungan terekspos nyata tanpa sensor.
High heels membuat tubuh semampainya semakin ingin dipeluk, pasti sangat pas dalam genggaman.
Tyo sampai menggeleng pelan demi membuang pikiran kotornya.
"Dia nggak ngasih tau Lo tentang gue?" tanya Selly seolah sedang marah, menunjuk wajah Tyo lalu menggeleng pelan.
Aruna masih diam, malu dan takut bercampur jadi satu. Malu pada Tyo karena pasti setelah ini dia sudah tidak mau lagi berteman dengannya, dan juga takut kalau ibunya akan berbuat macam-macam.
"Hei, bocah tengik! Lo nggak ngasih tahu ibumu ini ya sama cowok Lo? Malu kalau punya ibu kayak gue? Iya?" bentak Selly tak tahu tempat, suasana sudah tidak kondusif lagi.
"Bisa dijelaskan, Aruna?" tanya Tyo.
Aruna paham, cepat atau lambat Tyo juga akan tahu latar belakang hidupnya yang kelam. Jadi, lebih baik diceritakan sekarang dan kembali menjadi Aruna biasa yang tak pernah mengenal Tyo, atau kah cowok itu akan menerima pertemanan mereka dengan lapang dada.
"Dia ibu gue, kak" jawab Aruna tertunduk.
"Pintar juga Lo cari cowok. Kok bisa sih Lo mau sama cewek buluk kayak anak gue yang miris ini?" tanya Selly, mungkin satu-satunya ibu yang tega mengejek putrinya sendiri. Bahkan pandangan matanya sangat jelas jika sedang mengejek.
"Dia itu kakak kelasku, Bu. Bukan pacarku. Ibu jangan salah paham" kata Aruna membenarkan statusnya.
"Oh, masih berteman. Okelah, nanti juga pacaran. Lo yakin deh sama ucapan gue, Run" kata Selly dengan sesekali memainkan matanya genit pada Tyo.
Sementara lengannya masih menggamit mesra pada seorang pria yang terlihat gagah dengan balutan jas. Pria itu hanya diam saja tanpa banyak komentar. Entah apa hubungan keduanya, Aruna tak pernah paham karena pria itu berbeda dengan pria yang semalam Aruna pukul dengan botol.
"Sudah? Bisa kita pergi sekarang?" tanya pria itu.
"Tentu sayang. Kamu sudah nggak sabaran, ya?" goda Selly di hadapan Aruna.
Sungguh gadis itu mengutuk perbuatan Selly, setidaknya sejenak saja jangan berbuat tak senonoh saat ada temannya. Karena itu sangat memalukan.
Merekapun pergi dari hadapan Aruna yang masih menunduk. Sebenarnya Aruna lega, tapi pasti sekarang Tyo sedang memandangnya heran.
"Habiskan makannya, Run. Kalau sudah, terserah Lo mau apa" kata Tyo sambil menekan pundak Aruna agar kembali duduk.
Gadis itu menurut, kembali mengambil sendok dan garpu lantas makan dengan tak selera. Nasi itu sudah terasa hambar.
"Nggak usah dipikirin. Gue nggak akan membatalkan pertemanan kita cuma karena masalah ini. Lo teman pertama gue yang paling seru" kata Tyo seolah bisa membaca pikiran Aruna.
Entah harus senang atau sedih, bimbang apakah ucapan Tyo hanyalah sebuah pemanis atau ketulusan. Yang Aruna tahu selama ini hanyalah Ferdi satu-satunya teman yang tak akan meninggalkannya dalam keadaan apapun.
"Maafin ibu gue, ya kak" tak tahu lagi harus berkata apa, Aruna masih terlalu bingung untuk menyikapi perbuatan ibunya.
"Kenapa harus minta maaf?" tanya Tyo yang semakin tertarik dengan dunia Aruna.
"Jangan dimasukkan hati omongan ibu gue. Dia itu bisanya cuma ngejek doang" kata Aruna yang tak tahu lagi harus bagaimana.
"Gue paham kalau setiap orang punya kepribadian dan sikap yang berbeda, Run. Lo nggak usah berkecil hati. Gue masih mau berteman kok sama Lo terlepas dengan semua masa lalu dan latar belakang Lo" kata Tyo, entahlah rasanya Aruna ini sangat unik di matanya.
Wanita pendiam dengan banyak cerita di dalamnya.
"Lebih baik jangan deh, kak. Gue nggak mau nama baik Lo jadi jelek gara-gara berteman sama gue. Nggak semua orang bisa menerima orang seperti ibu gue. Gue cuma takut Lo kena masalah gara-gara gue" kata Aruna pesimis.
"Lo tinggal tutup mulut, diam! Dan jangan pernah cerita sama siapapun selama orang-orang nggak tahu tentang ibu Lo, seperti sebelumnya saat gue juga nggak tahu. Dan semua aman. Gue serius mau berteman sama Lo" ucap Tyo meyakinkan.
Tyo sendiri juga heran, kenapa juga sengotot ini hanya untuk berteman dengan Aruna.
"Terserah Lo deh, kak. Yang penting gue sudah ngingetin Lo" kata Aruna kembali santai.
Tyo tersenyum, tulus sekali kali ini hatinya untuk menerima satu teman baru yang selalu ingin menjauh darinya.