Ana terpaksa menikah dengan seorang pria lumpuh atas desakan ibu dan kakaknya demi mahar uang yang tak seberapa. Pria itu bernama Dave, ia juga terpaksa menikahi Ana sebab ibu tiri dan adiknya tidak sanggup lagi merawat dan mengurus Dave yang tidak bisa berjalan.
Meskipun terpaksa menjalani pernikahan, tapi Ana tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dengan ikhlas dan sabar. Namun, apa yang didapat Ana setelah Dave sembuh? Pria itu justru mengabaikannya sebagai seorang istri hanya untuk mengejar kembali mantan kekasihnya yang sudah tega membatalkan pernikahan dengannya. Bagaimana hubungan pernikahan Ana dan Dave selanjutnya? Apakah Dave akan menyesal dan mencintai Ana? atau, Ana akan meninggalkan Dave?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Singkat Cerita
Setelah Ana pergi, suasana meja makan terasa jauh lebih dingin. Dave masih diam, menatap kosong ke arah pintu restoran, seolah berharap Ana akan kembali.
Andre menghela napas panjang. Ia tahu, di balik sikap keras kepala dan sinisnya, Dave mulai goyah.
"Kau benar-benar keterlaluan, Dave," ucap Andre sambil mengaduk kopinya. "Ana mungkin terlihat ceroboh dan keras kepala, tapi dia punya hati yang jauh lebih besar darimu."
Dave tetap diam.
"Aku tidak menyuruhmu untuk langsung percaya dan menerima Ana sepenuhnya. Tapi paling tidak, berhenti memperlakukannya seperti sesuatu yang kau beli. Kau bukan majikannya, dan dia bukan pelayanmu."
Dave menatap Andre sekilas, ada kilatan ketidaknyamanan dalam tatapannya.
"Kau berpikir terlalu jauh, Andre. Aku hanya..."
"Hanya apa?" Andre memotong. "Hanya takut mengakui bahwa ada seseorang yang benar-benar peduli padamu tanpa alasan?"
Dave menghela napas. Ia merasakan sesuatu yang berat di dadanya, sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak bisa pahami.
"Aku tidak tahu, Andre."
Andre tersenyum kecil. "Setidaknya, itu pengakuan yang lebih jujur daripada kebohongan yang biasa kau katakan."
Dave menatap sahabatnya dengan tajam, tapi tidak membalas. Di dalam kepalanya, perkataan Ana terus terngiang.
"Aku masih di sini, bukan karena aku butuh uangmu, tapi karena aku ingin memastikan kau tidak jatuh ke tangan orang-orang yang ingin menghancurkanmu."
Kata-kata itu berputar dalam pikirannya seperti gema yang sulit diabaikan.
Tanpa sadar, tangannya mengepal di atas meja.
"Andre..." ucap Dave pelan.
"Apa?"
"Aku ingin pulang."
Andre tersenyum tipis. "Bagus. Setidaknya kau sadar kalau kau punya tempat yang harus kau jaga."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Dave mengambil tongkatnya dan berdiri. Meski masih sulit, kakinya perlahan mulai terbiasa menopang tubuhnya sendiri.
Andre berjalan di sampingnya, tapi kali ini ia tidak menawarkan bantuan.
Karena ia tahu, untuk pertama kalinya, Dave mulai mencoba melangkah dengan keinginannya sendiri. Mulai sekarang, Dave akan berjalan menggunakan tongkat, bukan kursi roda lagi.
___
Sementara itu, di tempat yang berbeda saat ini Ana sedang duduk di taman kota yang sedikit sepi. Ada perasaan lega dan tenang ketika ia keluar seorang diri, rasanya sudah lama sekali Ana tidak mendapatkan kebebasan seperti ini.
"Tidak ada Dave, tidak ada ibu dan kakak, tenang sekali rasanya. kapan aku bisa bebas dari mereka semua?"
Entahlah, Ana hanya menunggu waktu kapan ia bisa melakukan sesuatu sesuai keinginannya sendiri. Pernikahan tanpa cinta sebenarnya cukup menyiksa, Ana seolah terikat pada sesuatu yang sulit untuk dilepaskan.
"Sekarang harus kembali ke rumah, mengurus bayi tua itu. kalau dia cepat sembuh, maka aku akan cepat bebas dari kehidupan Dave. Tak apa jadi janda muda, yang penting masih perawan," ucap Ana kemudian tertawa.
Pada akhirnya gadis itu memutuskan untuk pulang. Berjalan-jalan sebentar seperti ini sudah cukup menyenangkan bagi Ana.
___
Dua bulan kemudian, Dave akhirnya bisa berjalan kembali. Setiap langkah yang ia ambil adalah bukti dari kerja keras dan kesabaran Ana yang selalu setia di sisinya. Ana telah menjadi satu-satunya orang yang tidak pernah meninggalkannya, yang selalu memaksanya untuk bangkit meskipun ia berkali-kali ingin menyerah.
Hari ini, Dave berjalan tanpa tongkat untuk pertama kalinya di halaman belakang rumah. Ana berdiri tidak jauh darinya, menatap penuh haru dan bangga.
"Akhirnya... kamu bisa berjalan lagi," ujar Ana dengan senyum kecil.
Dave menatap Ana sejenak sebelum melangkah mendekat. Wajahnya datar, tidak ada ekspresi kebahagiaan atau rasa terima kasih.
"Terima kasih," katanya singkat.
Ana sedikit terkejut. Hanya itu? Setelah semua usaha yang ia lakukan, semua waktu yang ia habiskan untuk merawat Dave, hanya itu yang keluar dari mulut pria itu?
"Hanya itu?" tanya Ana, suaranya sedikit bergetar, mencoba menekan kekecewaannya.
Dave menatap Ana tajam. "Lalu, apa yang kamu harapkan? Aku berlutut dan mengatakan aku mencintaimu? Itu tidak akan terjadi, Ana."
Ana terdiam. Hatinya mencelos, tapi ia sudah menduganya.
"Aku tidak pernah mencintaimu," lanjut Dave dengan suara dingin. "Begitu pula sebaliknya. Kamu juga tidak mencintaiku, Ana. Kita menikah hanya karena keadaan, bukan karena cinta. Jangan pernah berharap lebih."
Ana tersenyum tipis, senyum yang penuh kepedihan.
"Aku tahu," jawab Ana pelan. "Aku tahu kamu tidak pernah mencintaiku. Aku juga tidak pernah berharap kamu akan mencintaiku, Dave."
Dave mengernyit. "Kalau begitu, kenapa kamu bertahan?"
Ana tertawa kecil, tawa yang terdengar getir.
"Entahlah. Mungkin aku hanya terlalu bodoh. Atau mungkin... aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku masih punya hati."
Dave terdiam. Kata-kata Ana seperti tamparan keras baginya. Namun, ia tetap tidak mengatakan apa pun.
Ana menghela napas panjang sebelum berkata, "Mulai sekarang, kamu sudah bisa berjalan sendiri. Kamu tidak butuh aku lagi, kan?"
Dave tidak menjawab.
Ana tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, tapi matanya penuh luka.
"Bagus," katanya sebelum berbalik pergi. Meninggalkan Dave yang masih berdiri kaku, tanpa menyadari bahwa ada sesuatu yang perlahan-lahan mengganjal di hatinya.
Dave menatap punggung Ana, entah kanapa ada perasaan tidak terima setiap kali Ana berhasil membalas perkataannya. Dave tidak suka kepada Ana yang selalu keras kepala melawannya.
"Dave, kalau sekiranya aku tidak dibutuhkan lagi, ceraikan saja aku!" ucap Ana yang kembali menghampiri Dave.
"Apa maksudmu?" tanya Dave dengan tatapan tajam.
"Pahami saja!" seru Ana kemudian berlalu pergi.
Dave mendengus kesal, ingin marah tapi tidak bisa. Pria ini memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, sekarang ia tidur seorang diri di kamar, sejak Dave bisa berjalan satu minggu yang lalu, sejak saat itu Ana pindah ke kamar yang berbeda.
Ana tidak peduli, ia lebih memilih pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Statusnya memang seorang istri, tapi apa yang dilakukan Ana setiap hari seperti pembantu.
"Dave sudah sembuh, itu artinya mahar yang diberikan kepada ibu sudah lunas," ucap Ana dalam hati.
Sampai saat ini, Ana tidak pernah sekalipun bertemu dengan ibunya. Ia khawatir kalau bertemu, ibu dan kakaknya akan menyiksa dan mendesak dirinya untuk bekerjasama dengan Nyonya Lusi yang sampai sekarang masih menuntut pembagian harta yang ditinggalkan tuan Hertawan.
"Kalau aku bebas dari Dave, hal pertama yang akan aku lakukan adalah pergi ke restoran lalu makan iga bakar sepuasnya," ucap Ana sambil menyiapkan bumbu masakan.
Ana tertawa, tapi ia tidak tahu kalau Dave mendengar semua perkataannya barusan. Panas hati Dave, tapi ia lebih memilih untuk diam saja.
"Sialan! aku tidak akan menceraikanmu," ucap Dave dalam hati, segera ia berlalu pergi sebelum ketahuan Ana.