Kisah sebuah pertemanan yang berawal manis hingga renggang dan berakhir dengan saling berdamai. Pertemanan yang salah satu diantara keduanya menaruh bumbu rasa itu terjadi tarik ulur. Sampai memakan banyak kesalahpahaman. Lantas, bagaimanakah kisah selanjutnya tentang mereka? apakah keduanya akan berakhir hanya masing-masing atau asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Settingan
Sepulang sekolah Adhara sudah memberitahu bundanya jika hari ini ia tak bisa pulang tepat waktu, dikarenakan ingin menemani Langit latihan basket untuk pertandingan esok hari.
Kini Adhara dan Langit sudah berada di tengah lapangan basket. Langit yang mulai memantul mantulkan bola membuat Adhara menjauh dari Langit dan duduk di bangku khusus penonton.
"Lang!" teriak gadis itu melambaikan tangan sebagai tanda memberi semangat.
Langit pun menoleh pada tempat dimana berasal dari suara gadis yang tengah menontonnya. "Jangan pergi kemana-mana, duduk aja di situ." ucap lelaki tersebut menghampiri Dhara.
Seketika Adhara heran mendengar ucapan Langit tadi. "Kenapa ke sini? latihan aja sana, bakal gue temenin kok." ujar gadis itu mendongak karena Langit berdiri dihadapannya.
"Kalo mau kemana-mana panggil gue aja, suasana udah sore, sekolahan juga udah sepi." kata Langit, tiba-tiba datang sejumlah delapan seseorang muncul ke tengah lapangan basket.
"Ya sepi lah, orang yang di lapangan ini cuma kalian berdua. Dunia jadi terasa milik berdua!" celetuk Edgar. Oh ternyata delapan seseorang itu adalah Edgar, Riffa, Davin, April, Rangga, Rachel, Gleen, dan Kia.
Adhara pun beranjak berdiri dan bergabung dengan obrolan Langit dan teman temannya. "Kok lo semua aneh sih?" pertanyaan Adhara merasa beda melihat delapan temannya itu.
Raut wajah mereka benar-benar beda dari sebelumnya yang Dhara lihat. Setahu gadis itu teman temannya Langit terutama Edgar Cs mempunyai pacar masing masing. Tapi, kenapa sekarang mereka terlihat seperti tak ada apa apa.
"Beda gimana maksudnya?" tanya Edgar menatap Dhara.
"Ya kayak beda aja gitu, kayak ada yang aneh diantara lo semua." jawab Adhara menunjuk Edgar Cs.
"Perasaan lo aja kali, Ra." ujar Riffa.
Adhara jadi menaruh tanda tanya pada Edgar dan kawan kawannya itu. "Fa, gue mau nanya." ucap gadis tersebut halus.
"Nanya apa, Ra?" sahut Riffa dingin.
Semuanya jadi memperhatikan Adhara, termasuk Langit juga. "Kenapa waktu Edgar salaman sama adik kelas terus lo liat kejadian itu lo kayak nggak marah." tanya Adhara bingung.
"Langsung to the point aja, gue nggak pernah pacaran sama Edgar." ucap Riffa membuat Adhara terkejut.
"Kok bisa? terus selama ini lo berdua-" bingung gadis itu langsung di potong ucapannya oleh Edgar.
"Kita nggak pacaran." ungkap Edgar memasang wajah datarnya.
Langit yang menatap Adhara tengah bingung mencerna kata Riffa bahwa dirinya dengan Edgar tidak pernah pacaran itu menggenggam tangan Dhara.
"Semuanya nggak ada yang pacaran. Entah itu Edgar, Rangga, Davin dan Gleen. Mereka semua teman dekat.' jelas Langit.
"Selama ini kalian settingan?" tanya gadis tersebut tak percaya.
Delapan murid itu saling bertukar pandangan. "Bukan settingan, kita main RP bukan Real." balas Davin disisi April.
"Jadi kalian pura-pura saling suka? kenapa bohong ke semua orang disini?" tanya Adhara.
"Kita nggak bohong, Ra. Cuma mereka aja yang nggak tau kalo kita anti kamera dan siapapun nggak boleh tau muka kita aslinya kayak apa." jelas April.
Iya memang bener sih, delapan murid itu tidak pernah melepas masker dari wajah mereka. Karena ya seperti yang di ucapkan oleh April, mereka itu anti kamera. Siapapun yang berhasil mengetahui wajah asli mereka akan tau apa akibatnya.
"Kamu di sini aja aku mau latihan sama Edgar, Rangga, Davin dan Gleen." ucap Langit menjauh dari Dhara.
"Iya, semangat ya Lang," dukung gadis itu memberikan semangat.
Sedangkan cewek cewek teman-temannya Adhara itu duduk di tempat penonton bersama gadis tersebut. Tak lupa pula Dhara masih ingin tahu tentang identitas delapan murid itu.
"Kalian kenapa nggak pacaran?" tanya gadis tersebut duduk paling tengah di antara empat cewek temannya.
"Kita nggak ada yang mau pacaran karena kita sejak masuk SMA udah setuju buat sahabatan." ucap April.
"Kecuali si Edgar ke Riffa." sahut Rachel membuat Adhara heran.
Adhara langsung menatap Riffa dengan tatapan tak mengerti. "Lo tau kan Edgar itu cowok yang lumayan receh dan ngeselin, tapi lo pernah ngerti nggak sih tentang Edgar itu aslinya gimana?" tanya Rachel.
"Gue sih nggak pernah tau, tapi gue liat-liat dia sama Riffa keliatan kek asli pacaran." pendapat Dhara sambil menatap Edgar yang tengah bermain basket.
Sementara teman temannya Riffa langsung terdiam tak ada yang menjawab. "Dulu pas gue mau lulus SMP, adek gue kecelakaan sampe meninggal. Waktu itu pelakunya dikira kabur sama warga yang nolongin adek gue. Padahal, pas nyokap gue ke kantor polisi buat ketemu sama pelakunya yang berhasil di tahan disana, pelakunya jujur kalo sebenarnya dia bukan kabur tapi nyari mobil buat bawain adek gue. Setelah kronologi itu adek gue meninggal di rumah sakit dan sempet di tanggungjawabkan juga sama pihak pelakunya." jelas Riffa menatap jauh empat lelaki yang sedang latihan basket.
"Ya ampun ... terus gimana keadaan lo waktu itu? lo emosi?" tanya Dhara sedikit berhati hati.
"Di situ gue sempet ngajak ngobrol pelakunya yang ternyata seorang cowok anak SMP yang mau lulus juga kayak gue." ungkap cewek itu raut wajahnya datar karena kembali membayangkan masa lalu sedihnya melihat adiknya meninggal karena kecelakaan.
"Terus gimana reaksi cowok itu?"
"Dia minta maaf sama gue setelah dia dan keluarganya minta maaf ke keluarga gue. Pas gue mau nampar cowok itu tiba-tiba bokap gue dateng ke rumah sakit langsung nampar cowok tersebut."
Riffa menceritakan masa lalunya sudah dengan suara yang serak. Matanya mulai berkaca kaca hingga Adhara tak berani untuk melanjutkan pertanyaannya. "Intinya bokapnya Riffa udah ngomong panjang lebar sama marahin cowok itu abis abisan." sambung Kia.
"Setelah bokap gue pergi buat urusin jenazah adek gue, gue masih menatap cowok itu dengan penuh rasa benci. Karena apa? adek gue masih umur 7 tahun, Ra. Dia belum tau apa-apa tentang kehidupan kayak kita sekarang." nada bicara Riffa berubah menjadi amarah. Namun, ia tahan sekuat kuatnya.
"Tuhan cuma minta lo buat ikhlasin segala apa yang ninggalin lo, termasuk adek lo." ujar gadis tersebut mengusap punggung Riffa.
"Pelakunya bilang ke gue 'kenapa diem aja? mau nampar gue kan tadi? tampar aja nggak perlu di tahan. Emang nyatanya gue salah kan? gue dosa udah nabrak adek lo sampe gue nggak bisa nolongin nyawanya. Sekarang lo bebas mau apain gue terserah lo. Mau penjarain gue? silakan aja nggak masalah buat gue, karena gue emang salah.' Gue akhirnya tampar cowok itu tiga kali terus gue tendang perutnya sampe dia jatuh ke lantai."
"Terus Riffa tinggalin cowok itu yang kesakitan di bagian perutnya." kata April.
"Dan awal gue masuk ke SMA ini gue nggak berteman baik sama Edgar," lirih Riffa.
"Apa hubungannya sama dia? apa anggota keluarganya yang ternyata pelaku meninggalnya adek lo?" tanya Adhara hanya menebak.
Riffa menghela napas panjang sembari memperhatikan Edgar yang masih bermain bola basket. "Pelakunya itu Edgar." celetuk Riffa membuat Dhara terkejut tak menyangka.
"Edgar pelaku dibalik masa lalu lo?" Adhara memperjelas pertanyaannya.
"Ya gitu lah, semua orang cuma tau gue sama dia itu pacaran. Padahal, sama sekali nggak ada rasa."
Cukup hening setelah Adhara mengetahui hubungan Riffa dan Edgar yang sebenarnya. "Abis pada ngomongin gue ya," ucap Edgar menghampiri para cewek yang masih duduk berderetan.
"Kok tau?" balas Dhara karena merasa tidak ada yang menjawab.
Lelaki itu hanya terkekeh pelan. "Tau lah, keliatan jelas dari sana." katanya lalu duduk di bawah para siswi siswi itu.
"Duduk di bangku juga masih banyak." gumam Rachel sedikit terdengar menyindir.
Edgar tetap diam duduk di tanah kemudian ia merogoh sebuah jam tangan dari dalam sakunya dan memakai jam tangan tersebut.
"Lo nggak langsung balik, Gar?" tanya Gleen setelah selesai berlatih bersama Langit dan Davin.
Mereka bertiga yang baru selesai berlatih pun ikut menghampiri Edgar yang lebih dulu menyudahi permainannya.
"Nanti aja Gleen," jawabnya datar seraya memainkan ponselnya.
Puk
"Perbaiki hubungan lo sama bokap lo, nggak baik anak sama orangtua ribut terus." ujar Langit menepuk bahu Edgar.
Edgar pun berdiri dan menatap jam tangannya yang sudah menandakan jam 4 sore. "Seenggaknya gue masih hormat sama dia, Lang. Walaupun gue nggak pernah dianggap ada dalam keluarga itu." tutur Edgar mendongak menatap langit yang mulai menggelap padahal baru pukul setengah 5.
"Kalo lo nggak cepet balik ke rumah, percaya nggak percaya lo di hajar sama bokap lo." ujar Davin.
"Baru tau ada seorang ayah yang berani menyakiti anaknya, apalagi anak yang akan jadi kepala keluarga nantinya." celetuk Rangga datar. Mendengar nama Rangga seorang cowok yang super cuek dan paling irit kalo ngomong. Tapi, sekali ngomong beuhh ... bukan maen pedes banget. Siapapun yang nggak biasa sama seorang Rangga auto kena mental langsung.
Langit menatap Dhara yang sedang memperhatikan raut wajah teman temannya termasuk Edgar. "Luka yang kemaren aja belum kering di lengan lo." kata Gleen.
"Nggak perlu kasian sama gue. Gue tetep Edgar yang lo semua kenal, cowok paling ngeselin." katanya tersenyum miring.
"Gue mau ngomong sama lo" ucap Riffa menatap lelaki yang berdiri didepannya.
"Ngomong aja." jawab Edgar singkat.
"Adek gue meninggal udah tiga tahun yang lalu, dan gue udah ikhlas atas kepergian adek gue. Gue bukan orang pendendam yang nggak ngehargai orang berani bertanggung jawab." cicitnya.