Apa yang akan terjadi pada Jamilah setelah tiga kali dilangkahi oleh ketiga adiknya?.
Apa Jamilah akan memiliki jodohnya sendiri setelah kata orang kalau dilangkahi akan susah untuk menikah atau mendapatkan jodoh?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Wanita Pelangkah
Pernikahan Jamilah dan Emir menjadi buah bibir beberapa kampung yang mengenal Jamilah. Termasuk Romli beserta keluarganya. Begitu juga dengan Jayanti, Juleha dan Juju sudah mengetahuinya. Mereka bertiga tidak bisa datang karena pernikahan Jamilah yang sangat mendadak.
Pesta pernikahan pun usai saat pukul lima sore. Pak Utomo langsung pamit pulang setelah satu hari ini menemani Jamilah dan Emir serta menyapa para tangga. Sementara Emir sendiri malam ini akan menginap di rumah Jamilah.
"Pasti kamu sangat lelah, satu harian menyapa para tamu undangan?. Ternyata mereka yang datang kesini, semuanya sangat mengenalmu." Emir mengamati kamar yang dihias seperti kamar pengantin pada umumnya.
"Iya saya juga mengenal mereka. Kebanyakan dari mereka itu orang tua wali murid." Jawab Jamilah. Kemudian Jamilah mengambil tas kecil yang diyakininya milik Emir.
"Boleh saya membuka tasnya?." Tanya Jamilah sudah dalam posisi memegang tas itu.
Emir mendekati Jamilah, yang masih memakai lengkap pakaian ala pengantin yang sangat sederhana.
"Untuk apa?."
"Menyiapkan baju ganti untuk Pak Emir?." Jawab Jamilah. Emir pun mengangguk sebab tas kecil itu memang hanya berisi beberapa baju plus celana santai dan dalaman.
Jamilah melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri. Ia tidak canggung atau pun malu untuk melakukannya.
Jamilah berada di dapur untuk menunggu Emir yang ada di dalam kamar mandi dengan baju ganti untuk Emir yang disampirkan ditangannya.
"Kak Jami lagi ngapain disini?." Jaka membawa beberapa gelas kotor ditangannya.
"Nunggu Pak Emir lagi mandi." Jawab Jamilah jujur. Jaka mengangguk dan segera kembali ke depan karena makan banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya.
Emir membuka sedikit pintu kamar mandi untuk mengambil baju dari Jamilah, lalu menutup rapat pintunya lagi.
"Terima kasih." Ucap Emir kala dirinya sudah selesai mandi dan kembali ke dalam kamar Jamilah. Sekarang gantian Jamilah yang membersihkan semua badannya.
Selang beberapa menit, Jamilah sudah keluar dari kamar mandi. Sudah ada Emak, Bapak, Julia dan Jaka.
"Maaf ya Milah enggak bantu beres-beres." Jamilah merapikan baju kotor suaminya.
Semuanya menggeleng serempak, tapi cuma emak yang buka suara.
"Enggak apa-apa Milah, kamu urus aja suami mu. Kalian udah makan?." Emak bermaksud menyiapkan makanan untuk Jamilah dan Emir. Tapi dengan cepat Jamilah melarangnya.
"Enggak Mak. Kita tadi udah makan, kalian langsung saja istirahat kalau sudah selesai." Jamilah melihat keadaan rumah yang sudah rapi lagi.
"Ya Milih, sekarang kamu cepat masuk kamar. Siapa tahu suami mu membutuhkan mu." Ucap Emak menyuruh Jamilah segera masuk.
"Iya Mak." Jawab Jamilah pendek sambil berlalu dari hadapan mereka semua.
Sampai di dalam kamar, Jamilah melihat Emir yang duduk di atas tempat tidur.
Ada perasaan deg-degan yang berlebihan dirasakan Jamilah. Bukan untuk memulai malam pertama seperti yang kebanyakan orang lakukan. Tapi apa yang akan dikatakan oleh Emir saat menatap dirinya.
Jamilah memberanikan dirinya untuk melepas hijab di depan Emir, bagaimana pun Emir kini suaminya. Tapi sayang, Emir sepertinya keberatan dengan apa yang akan Jamilah lakukan.
"Tetaplah berpakaian seperti ini, mulai malam ini dan seterusnya ketika kita bersama . Saya tidak berhak melihat setiap keindahan yang kamu miliki." Bisik Emir lembut didepan wajah Jamilah.
Panas, itu yang Jamilah rasakan ketika kata-kata Emir seperti semburan api yang membakar seluruh tubuhnya.
"Baik, jika itu yang Pak Emir inginkan." Jawab Jamilah patuh. Mungkin setelah ini akan ada banyak lagi kejutan yang didapatnya setalah menjadi istri dari seorang Emir.
"Saya akan tidur dibawah, karena ranjangnya tidak muat untuk kita berdua." Tanpa menunggu Emir menjawab, Jamilah segera merapikan bagian bawah ranjang untuk dirinya tidur malam ini.
"Maaf" Lirih Emir saat Jamilah sudah berada di bawah.
"Tidak apa-apa. Cepatlah tidur, kita sudah sangat kelelahan." Jamilah menatap Emir yang berada di atas ranjang miliknya.
"Boleh Jika saya tidur membelakangi Pak Emir? Tanya Jamilah menarik selimut.
Emir mengangguk lemah, lalu merebahkan tubuhnya. Jamilah pun memiringkan tubuhnya membelakangi Emir.
Jamilah Langsung memejamkan kedua matanya. Pernikahan bukanlah untuk ditangisi tapi untuk diperjuangkan sampai kamu sanggup untuk memperjuangkannya.
Tapi tidak dengan Emir, meski ia pria brengsek untuk Tiffani. Karena mereka sudah tinggal satu atap selama diluar negeri bahkan Emir bisa dengan mudah menyalurkan hasratnya tanpa ada ikatan pernikahan. Tapi pada Jamilah, ia tahu jika Jamilah wanita baik, tidak pernah tersentuh. Makanya ia ingin menahannya sampai saatnya tiba ia akan menyerahkan Jamilah pada orang yang sangat tepat menurutnya.
Emir menoleh bingkai foto yang beberapa waktu lalu diambil oleh kamera ponselnya. Dimana dalam foto itu Jamilah sedang tersenyum tulus tanpa beban apa pun. Hingga lama kelamaan kedua mata Emir terpejam dan mulai terbawa ke alam mimpi.
.
.
.
Sarapan pagi ini merupakan sarapan terakhir Jamilah dengan Emak, Bapak, Julia dan Juju. Tapi bagi Emir ini sarapan pertama sambil lesehan selama hidupnya.
Usai sarapan, Jamilah segera berkemas untuk segera pindah rumah. Tidak banyak yang Jamilah bawa untuk meninggalkan rumah Emak dan Bapak. Karena memang Jamilah tidak memiliki banyak baju ataupun hijab didalam lemari bajunya. Hanya beberapa saja yang sangat diperlukan.
"Emak, bapak, Milah pamit ya. Jaga kesehatan, jangan terlalu capek. Masih ada Julia dan Jaka yang bantuin." Jamilah tidak ingin meninggalkan kesan dirinya lemah setelah menikah, dengan menangis didepan mereka semua. Jamilah tetap lah Jamilah yang harus bisa menyembunyikan apa yang sudah terjadi dalam hidupnya.
Jaka dan Julia hanya mengangguk menyanggupi apa yang Jamilah katakan.
"Iya Milah, kamu tenang aja. Masih ada Julia dan Jaka yang akan bantu-bantu Emak dan Bapak." Emak pun tidak ingin menangis di depan Jamilah lagi. Sebab apa yang menjadi keinginannya sudah tercapai, untuk melihat Jamilah menikah dan meninggalkan predikat wanita pelangkah, belum laku dan lain-lain. Tapi Emak pun tidak bisa menutup mata pada Emir, jika apa yang dilihat dan dirasakan Emak pada sosok Emir. Hanya seperti rasa kasihan yang coba ditunjukkan Emir pada Jamilah. Tapi Emak akan terus berdoa dan memohon pada Gusti Alloh supaya bisa membalik hati Emir untuk Jamilah putri pertamanya.
Pelukan hangat Jamilah tinggalkan untuk Emak, Bapak, Julia dan Jaka. Begitu juga Emir memeluk mereka semua dengan perasan yang berbeda tentunya.
Tidak ada isak tangis mengiringi kepergian Jamilah atau sebaliknya.
"Assalamu'alaikum..." Ucap Jamilah sebelum masuk kedalam mobil.
"Wa'alaikumsalam..." Jawab semuanya serempak. Jamilah pun hilang dalam pandangan mereka. Kaca tebal yang dimiliki mobil Emir tidak bisa ditembus dari luar. Tapi dari dalam Jamilah bisa melihat wajah Emak, Bapak, Jaka dan Julia sebelum ia benar-benar meninggalkan mereka.
.
.
.
Sampai di rumah, kita akan langsung berbicara dengan Alexander. Saya tidak ingin Alexander tahu pernikahan kita dari orang lain." Ucap Emir saat sudah berada jauh dari rumah Jamilah.
"Iya, saya setuju. Kita harus segera berbicara dengan Alexander." Jamilah menyetujui. Walau tidak mudah baginya, tapi ia sangat percaya jika tidak ada yang tidak mungkin bagi Gusti Alloh untuk memberikan kemudahan pada siapa pun yang sudah berusaha semaksimal mungkin. Termasuk ia yang akan mengusahakan Alexander untuk bisa menerima pernikahan ini.
Emir menatap Jamilah yang tenang, seperti tidak terganggu dengan apa pun, seperti tidak memiliki beban. Walau pernah Emir melihat kesedihan dan kesakitan dalam sorot mata Jamilah beberapa waktu lalu . Tapi kali ini sangat berbeda, Jamilah begitu santai. Tidak tegang seperti dirinya. Ia sangat takut jika Alexander menolak keras pernikahan ini.
"Bagaimana jika Alexander menolak keras pernikahan kita?." Emir ingin tahu apa yang akan Jamilah lakukan jika hal ini sampai terjadi. Tapi ia pun sangat yakin, pasti Alexander tidak akan bisa menerima dirinya menikah dengan wanita mana pun.
Jamilah menggeleng, "Saya tidak tahu, karena saya belum mengalami posisi itu. Nanti saya akan tahu jika sudah mengalaminya sendiri." Jawab Jamilah biasa aja. Jamilah tidak ingin berandai-andia untuk hal apa pun. Semuanya pasti terbuka satu persatu mau cepat atau pun lambat. Jamilah hanya perlu menyiapkan hati dan pikirannya untuk bisa menyambut badai yang akan setiap saat datang dalam biduk rumah tangganya.
"Bukannya kita sudah harus mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi pada Alexander?." Emir menatap Jamilah yang fokus pada arah jalanan.
Jamilah mengangguk, "Kita memang perlu menyiapkan segala sesuatunya. Tapi untuk sikap atau langkah apa yang akan kita ambil dalam memutuskan masalah. Kita akan benar-benar tahu setelah berada dalam masalah tersebut. Jadi saya tidak ingin mendahului apa pun, kita lihat saja apa yang akan Alexander lakukan setelah mengetahui pernikahan kita."
"Pembagian...berbagi... Pembagian....berbagi...! Emir, Mommy Alexander, Alexander, Joy dan aku?. Atau ada orang lain lagi?." Batin Jamilah. Pembagian pada Matematika akan menemukan hasil yang bulat, sama rata. Tapi pembagian jika diterapkan pada perasaan, waktu, perhatian, kepercayaan apa bisa dibagi dengan sempurna?.
Asyik dengan pemikirannya sendiri, tidak berasa mobil yang dikendarai Emir sudah sampai di depan rumah Pak Utomo. Alexander berlari dari arah pintu rumah guna menyambut Daddy Emir, yang satu Minggu ini begitu sibuk dengan pekerjaannya. Yang Alexander tahu.
"Daddy..." Alexander begitu senang saat melihat Daddy Emir keluar dari pintu mobil. Alexander memeluk erat tubuh kekar milik Ayahnya.
"Hei Boy..." Emir membalas pelukan Alexander.
Alexander meluruskan wajahnya saat melihat sosok wanita yang keluar dari pintu mobil Daddy Emir yang sebelah sana.
"Ibu guru Jamilah?." Alexander pun senang melihat wanita yang ingin ditemuinya malah datang kerumahnya.
"Alexander.." Jamilah mendekati keduanya dengan membawa tas kecil yang sudah ditangannya.
Emir menatap sejenak wajah Alexander dan Jamilah yang sama-sama sedang tersenyum, tidak rela rasanya jika senyum salah satu dari mereka menghilang dari pandangannya. Untuk sekarang atau kapan pun, ia ingin tetap bisa melihat senyum itu.
"Daddy ayo masuk!." Ajak Alexander sudah membawa masuk Jamilah kedalam rumah. Hingga ia berjalan seorang diri dibelakang mereka. Dengan pikiran yang sudah mulai tidak enak saat akan menghadapi Alexander.
Y
hhh