novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebangkitan Air Leluhur
Air membanjiri ruangan seperti badai tanpa arah, memantul di dinding batu hitam dan mengubah udara menjadi kabut pekat. Sena merasakan tubuhnya hampir terpental ke belakang oleh gelombang energi yang dilepaskan Cai. Tapi ia bertahan. Panas di dadanya terus meronta agar tetap hidup, agar tidak kalah oleh dingin yang mencoba merenggutnya.
Raga berteriak dari belakang, namun suaranya tenggelam dalam gemuruh air.
Sena memandang Cai yang kini berada di tengah pusaran energi raksasa tubuhnya terangkat beberapa jengkal dari lantai, rambutnya terayun-ayun seperti berada di bawah air, dan matanya menyala terlalu terang untuk dilihat langsung.
Cai bukan sekadar kehilangan kendali.
Dia bangkit menjadi sesuatu yang jauh lebih besar.
“Cai!” Sena maju melawan arus kuat yang memaksa tubuhnya menunduk. “Jangan biarkan mereka mengambilmu!”
Cai membuka mata perlahan, matanya seperti dua lautan purba. “Sena… aku tidak bisa menahannya…”
Air kembali berputar kencang, membentuk simbol-simbol kuno di udara. Setiap simbol memancarkan cahaya biru seperti sebuah mantra leluhur yang terbangun setelah ribuan tahun tertidur.
Tanah bergetar.
Langit-langit kubah air di atas mereka menurun sedikit, seolah ruangan itu merespons kebangkitan Cai.
Raga melangkah maju dengan susah payah. “Sena! Jika energi itu terus naik, seluruh ruang persilangan ini bisa runtuh, dan kita akan terkunci di dua dimensi sekaligus!”
Sena menatap Cai, napasnya berat. “Aku tidak akan tinggalkan dia!”
Raga menggeram, lalu tiba-tiba melemparkan sesuatu ke lantai sebuah kristal kecil berwarna hitam dengan inti merah muda samar.
Kristal itu retak.
Dentuman energi padat keluar darinya, menciptakan ruang kosong di tengah badai air.
“Gunakan itu!” teriak Raga. “Itu penyeimbang! Tapi hanya bertahan sekejap!”
Sena baru saja hendak melangkah ketika Cai berteriak.
“JANGAN!”
Suara itu bukan miliknya saja ada gema kekuatan lain. Ruangan bergetar keras. Air melonjak naik, memantulkan warna biru pucat yang menakutkan. Kabut di sekitar semakin tebal, membuat Raga mundur sambil menahan lengannya yang membeku sebagian.
Sena menahan napas. Ia tahu Cai bukan menolak pertolongan. Cai takut melukai mereka.
"Cai…" Sena mendekat sedikit. "Dengarkan aku. Apa pun yang terbangun dalam dirimu, itu bukan dirimu sepenuhnya. Kau masih ada di sana. Aku tahu."
Air berhenti berputar sejenak. Simbol-simbol air memudar.
“Sena…” suara Cai melemah. “Aku… takut…”
Sena menembus arus air. “Kau tidak sendirian.”
Namun sebelum Sena bisa mencapai Cai, lantai bergetar keras dan sesuatu muncul dari bawah pusaran itu.
Suara air terbelah memenuhi ruangan. Dari lantai batu, muncul sebuah bentuk bukan makhluk, bukan hantu, melainkan manifestasi energi air itu sendiri. Sosok seperti manusia, terbentuk dari gelombang air yang berputar perlahan, berdiri tegak di belakang Cai.
Sena menegang.
Raga berbisik, “Itu… roh leluhur Air.”
Sosok itu menatap Sena tanpa ekspresi, meski matanya seperti pusaran laut terdalam. Ketika ia berbicara, suaranya bergema seperti ribuan arus sungai.
“PEWARIS KAMI TELAH TERBANGUN.”
Cai merintih keras. “Berhenti… jangan paksa aku…”
Roh Air menatap Cai. “KAU YANG MEMBUKA RUANG INI. KAU YANG MEMANGGIL KAMI. ENERGI YANG BERDARAH DALAM NABIMU, BUKAN KESALAHANMU.”
Cai mencoba menolak, tapi pusaran air makin menelan tubuhnya.
Sena tidak tahan lagi. Ia menerjang masuk ke tengah badai meski kulitnya terasa hampir terbelah antara panas dan dingin. Setiap langkah terasa seperti melawan dunia.
“Sena! Jangan bodoh!” teriak Raga.
Dia tidak peduli.
Sena berhasil masuk ke jarak dua meter dari Cai. Cahaya biru memeluk tubuhnya seperti tirai air yang hidup. Tubuhnya bergetar keras, tetapi ia memaksa panas dalamnya untuk tetap menyala.
Sena mengulurkan tangan. “Cai… lihat aku.”
Mata Cai bergerak. Cahaya biru meredup sedikit.
“Sena… kenapa kau”
“Karena aku tidak akan biarkan kau hilang.”
Roh Air mengangkat tangannya. Badai air menguat.
“API TIDAK BOLEH MENDEKAT. API AKAN MENGHANCURKAN KESEIMBANGAN.”
Sena menatap roh itu tajam. “Dan apa yang kalian lakukan pada Cai bukan keseimbangan! Itu perampasan!”
Cai menjerit lagi, cahaya biru melesat ke langit-langit.
Roh itu menoleh. “PEWARIS MEMBUTUHKAN PANDUAN, BUKAN KASIHANMU.”
Sena berteriak, “Aku tidak kasihan padanya! Aku peduli!”
Roh itu mendekat, air di tubuhnya bergetar marah.
“KAU ADALAH API. API HANYA MENYISAKAN ABU.”
“Dan air yang dibiarkan sendirian hanya tenggelam dalam dirinya sendiri!”
Roh Air berhenti.
Gemuruh air itu melemah sepersekian detik cukup bagi Sena untuk memaksa langkahnya maju lebih jauh.
Ia hampir mencapai Cai.
Namun tiba-tiba air di sekitar mereka berubah. Simbol-simbol di udara menyala terang, dan lantai bergetar begitu kuat hingga retak-retak tipis muncul.
Raga menjerit, “Sena, hati-hati! Energinya melewati batas! Kalau Cai meledak dalam kondisi ini”
“Aku tahu!” Sena meneriakkan jawabannya sambil memasukkan seluruh sisa energinya ke dalam langkah terakhir.
Ia hampir tersentuh.
Namun pusaran energi menampar Sena ke belakang. Tubuhnya mental keras dan membentur lantai batu.
Darah hangat mengalir di bibirnya.
Tapi ia bangkit lagi. Mata Sena tetap tertuju pada Cai.
Tubuh Cai kini nyaris tidak terlihat karena tertutup cahaya biru murni.
“Sena… tolong… aku tidak bisa…” suara Cai melemah, tenggelam dalam badai.
Sena menghembuskan napas panjang, kemudian menutup matanya.
Ia tahu dia tidak bisa menang hanya dengan kekuatan, karena Cai sedang ditarik oleh sesuatu yang lebih besar.
Maka ia melakukan hal yang lebih gila.
Ia memadamkan sebagian apinya sendiri.
Raga menjerit, “Sena! Jangan! Itu bunuh diri!”
Tapi Sena tidak berhenti.
Ia mengatur napas.
Menurunkan panas.
Menurunkan bara.
Mengizinkan dingin menyentuhnya.
Tubuhnya mulai memutih, suhu di kulitnya anjlok tajam. Tetapi anehnya, arus air di sekitar Cai mulai mereda seolah bingung.
Cai membuka mata dan menatap Sena dengan kengerian. “Sena… apa yang kau lakukan…?”
“Aku menyamakan frekuensi,” jawab Sena dengan suara bergetar. “Supaya aku bisa mendekat…”
Cai menutup mulutnya dengan kedua tangan, ketakutan. “Kalau kau memadamkan api terlalu banyak, kau”
“Aku tidak peduli.”
Roh Air menatap dengan ekspresi samar antara bingung dan marah.
“KAU MENGORBANKAN DIRIMU UNTUKNYA?”
Sena mendekat langkah demi langkah.
“Bukan pengorbanan,” jawabnya pelan. “Ini pilihan.”
Ia menyentuh lengan Cai.
Sentuhan itu seperti memasukkan tangan ke laut beku, namun juga seperti disentuh ribuan serpihan cahaya.
Pusaran energi berhenti sepenuhnya.
Cai gemetar. “Sena… apa kau gila…”
“Aku harus memastikan kau tetap ada. Karena aku… butuh kau.”
Cai menatap Sena, bibirnya bergetar, dan untuk pertama kalinya sejak kebangkitannya, matanya kembali menjadi manusia—menyisakan sedikit cahaya biru.
Roh Air berbicara lagi, suaranya melemah.
“HARMONI…?”
Sena mengangkat wajahnya, menatap roh itu.
“Apa salahnya jika pewaris kalian… memilih sendiri jalannya?”
Roh Air terdiam lama, sebelum tubuhnya mulai pecah menjadi percikan air.
“KAMI MENGAMATI.”
Ruangan berhenti bergetar.
Simbol-simbol kuno meredup.
Air turun perlahan seperti hujan lembut.
Cai jatuh ke lutut, tubuhnya kembali normal, hanya menyisakan kilau tipis di kulitnya.
Sena memeluknya sebelum ia ambruk. “Cai… aku di sini.”
Cai terisak, suaranya pecah. “Sena… Aku...aku takut menghilang…”
Sena membelai rambutnya yang masih basah. “Selama aku di sini, kau tidak akan hilang.”
Raga akhirnya mendekat dengan napas terengah-engah. “Kalian berdua, aku sumpah kalian akan membunuhku pada akhirnya…”
Sena dan Cai sama-sama tertawa kecil di tengah kelelahan.
Namun tawa itu belum benar-benar mereda ketika sesuatu bergetar di kejauhan.
Raga menoleh cepat. “Apa itu…?”
Sena dan Cai saling menatap.
Cai berbisik, “Gerbang… berubah.”
Dan ketika mereka melihat ke arah pintu masuk ruangan, sesuatu yang tidak seharusnya muncul di dimensi air kini berdiri di sana.
Api hitam, membelah kabut biru.