Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekhawatiran pada Gema
Keesokan paginya, Leni tiba di markas besar J-Cosmetic bersama Jae dan Manajer Park. Ia mengenakan setelan paling berwibawa milik Kim Leni, namun ada sesuatu yang berbeda di sorot matanya—bukan hanya keangkuhan seorang pewaris, tetapi ketajaman seseorang yang tahu persis apa yang ingin ia rebut.
Tujuannya jelas: merebut kendali penuh atas keuangan perusahaan agar ia bisa menggunakan sumber daya J-Cosmetic tanpa intervensi Paman Kang atau Dewan Direksi.
Ruang rapat sudah menunggu ketika mereka tiba. Paman Kang—sang wali, pengacara, sekaligus pengontrol legal hidup Kim Leni—duduk bersama dua anggota Dewan Direksi senior. Wajahnya tampak tegang.
“Kim Leni-ssi,” ucapnya datar. “Kau seharusnya istirahat. Aku sudah menjelaskan pada Dewan bahwa proyek ‘asisten’ itu hanyalah cara untuk mengatasi tekanan—”
“Proyek itu sudah selesai, Paman Kang.”
Nada Leni begitu stabil hingga membuat ruangan yang besar itu terasa sempit. Ia tidak duduk. Ia berdiri di ujung meja, posturnya tegak, penuh kontrol. Jae berdiri di sampingnya, diam namun mengintimidasi.
“Aku tidak datang sebagai asisten siapa pun,” lanjut Leni. “Aku datang sebagai CEO yang sah.”
Jae menyalakan proyektor. Spreadsheet yang Leni susun selama seminggu terakhir muncul di layar—baris demi baris angka, grafik perbandingan, dan lingkaran merah tebal yang menandai penyimpangan besar.
“Selama enam bulan terakhir, dana sebesar empat koma delapan miliar Won hilang,” kata Leni. “Dan sumbernya… Phantom Corp. Perusahaan pemasok yang kau pilih sendiri, Paman. Perusahaan tanpa rekam jejak. Perusahaan yang hanya memakan uang.”
Salah satu anggota Dewan menelan ludah. Yang lain menunduk.
“Ini fitnah!” Paman Kang memprotes, tapi suaranya pecah. “Kau tidak paham akuntansi. Ini semua legal!”
“Legal bukan berarti benar,” jawab Leni tanpa berkedip. “Aku tidak akan menuntutmu. Kau bukan otaknya, hanya pionnya.”
Ia mengeluarkan selembar dokumen dan meletakkannya di meja, tepat di depan Paman Kang. Surat penunjukan CEO sementara. Beserta pemberhentian wewenang finansialnya. Semua dengan stempel resmi perusahaan.
“Mulai hari ini, aku memegang kendali penuh atas keuangan J-Cosmetic. Kau punya dua hari untuk mengembalikan seluruh dana yang hilang. Jika tidak, aku akan menyerahkan semua bukti ini ke Kejaksaan.”
Tidak ada yang membantah. Bahkan Paman Kang hanya menatap kertas itu dengan wajah hancur, seakan baru sadar bahwa gadis yang berdiri di depannya bukan lagi gadis yang mudah diarahkan.
Leni, si penjaga minimarket yang terbiasa menegur pelanggan nakal, baru saja melakukan kudeta korporat.
......................
Setelah rapat usai dan para anggota Dewan meninggalkan ruangan dengan wajah pucat, Leni akhirnya duduk. Dadanya naik turun, baru menyadari betapa tegangnya ia selama pertemuan tadi.
“Itu… luar biasa,” ujar Jae dari dekat jendela. Suaranya seperti kembali normal—tenang, sedikit datar, tapi tidak lagi meremehkan. “Aku tidak menyangka kau bisa melakukannya.”
“Aku hanya melakukan apa yang perlu dilakukan,” balas Leni. “Kalau aku tidak berhasil pulang, paling tidak aku tidak meninggalkan masalah besar untuk ibuku.”
Ia menatap Jae. Ada bayangan halus terlintas di pikirannya—sesuatu yang ia lihat tadi malam saat makan malam. Dan kini, di cahaya pagi, ia melihatnya lagi.
Tangan Jae sedikit berkilau. Samar. Seolah-olah bagian tubuhnya sedang kehilangan kepadatan.
“Jae-ssi… kau baik-baik saja?”
Nada suaranya lebih lembut dari biasanya.
“Aku baik,” jawab Jae cepat. Terlalu cepat.
Leni berdiri dan mendekat. “Jangan bohong. Waktu aku memarahi Paman Kang, kau menjadi lebih… kabur. Seperti—” Ia mencari kata. “Seperti sinyal yang terganggu.”
Jae akhirnya memejamkan mata. Napasnya keluar perlahan.
“Resonansi tidak hanya dipicu oleh Jake,” katanya lirih. “Echo seperti aku… terpengaruh oleh emosi intens di sekitar kami. Kemarahanmu, tekadmu, semuanya menciptakan riak energi.”
Ia menoleh. Sesaat, matanya tampak seperti tidak fokus—seperti kamera yang gagal menangkap titik.
“Gema tidak boleh terlalu dekat dengan emosi yang begitu kuat,” lanjutnya. “Itu mengikis keberadaanku.”
Leni terdiam. Rasa khawatir menyusup ke dalam tubuhnya, menohok seperti rasa bersalah yang tiba-tiba muncul tanpa permisi.
“Jadi… setiap kali aku bertindak terlalu keras, kau melemah?”
Jae tidak menyangkal.
Dan itu terasa lebih mengerikan daripada jawaban apa pun.
“Kita harus cepat,” ujar Leni dengan suara lebih tegas. “Aku harus mendapatkan akses ke semua acara ENHYPEN sebelum Resonansi Puncak. Aku tidak bisa menunggu dua bulan sampai konser final. Kau tidak punya waktu selama itu.”
Jae mengangguk pelan. Ada kepasrahan yang sulit disembunyikan di sorot matanya.
“Aku percaya padamu. Tapi kau harus menemukan jalan yang tenang, Leni.”
Senyum tipis terangkat di ujung bibirnya. Pudar. Rapuh. “Kalau tidak, aku akan hilang sebelum kau menemukan jalan pulang.”
Kekuatan kini ada di tangan Leni. Namun bersamaan dengan itu, ada ancaman yang berjalan sejajar: Jae semakin tidak stabil. Dan waktu mereka semakin sedikit.
...****************...