Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Momen rekonsiliasi dengan Kak Binar di ruang keluarga hari itu adalah hujan lebat setelah musim kemarau yang panjang. Hujan itu tidak serta-merta membuat semua bunga langsung mekar, tapi ia membasahi tanah yang kering kerontang, memberinya kehidupan dan harapan baru untuk tumbuh.
Hubunganku dengannya tidak langsung kembali seperti sedia kala—dan memang seharusnya tidak. Luka yang begitu dalam tidak bisa sembuh dalam semalam. Tapi, sebuah jembatan telah dibangun di atas jurang yang dulu memisahkan kami. Jembatan itu masih rapuh, dan kami melangkahinya dengan sangat hati-hati, tapi setidaknya, kami sudah berada di sisi yang sama.
Kami mulai berkomunikasi lagi, meski hanya sesekali. Dimulai dari pesan singkat yang canggung.
Kak, Ibu bilang Kakak lagi suka baca novel historical romance. Aku punya beberapa, mau pinjam? tulisku suatu hari.
Balasannya datang beberapa jam kemudian. Boleh. Makasih, Rin.
Beberapa minggu kemudian, dia yang mengirim pesan lebih dulu. Aku lihat postingan lukisan barumu. Bagus. Warnanya hidup.
Itu adalah interaksi-interaksi kecil, seperti menanam benih. Kami tidak pernah membahas masa lalu lagi. Seolah ada kesepakatan tak terucap bahwa bab itu telah ditutup. Yang kami bicarakan adalah masa kini: buku yang kami baca, film yang kami tonton, koleksi desain baru yang sedang ia kerjakan dengan semangat yang baru ditemukan. Dia kembali ke butiknya, bukan lagi dengan ambisi untuk membuktikan sesuatu, melainkan dengan hasrat tulus untuk berkarya. Terapinya telah membantunya menemukan kembali dirinya yang hilang di bawah tumpukan rasa tidak aman.
Aku memaafkannya. Sungguh. Aku memaafkannya karena telah menjadi manusia yang tersesat dan melakukan hal-hal mengerikan karena rasa sakitnya sendiri. Tapi aku tidak melupakan.
Tidak melupakan bukan berarti menyimpan dendam. Tidak melupakan berarti menghargai pelajaran yang kudapatkan. Aku tidak akan pernah lagi menjadi Arini yang selalu mengalah. Aku tidak akan pernah lagi membiarkan orang lain mendefinisikan nilaiku. Luka-luka di hatiku telah sembuh, tapi bekas lukanya tetap ada, bukan sebagai pengingat akan rasa sakit, melainkan sebagai pengingat akan kekuatanku. Pengingat bahwa aku pernah jatuh begitu dalam, namun berhasil bangkit kembali.
Setahun setelah rekonsiliasi itu, Danu melamarku.
Tidak ada kejutan besar dengan puluhan lilin atau buket bunga raksasa. Itu terjadi di suatu sore yang biasa di apartemenku. Aku sedang sibuk melukis, tanganku penuh noda cat akrilik, saat dia pulang kerja dan hanya berdiri di belakangku, memperhatikanku dalam diam.
Setelah aku menyelesaikan sapuan kuas terakhirku, dia memelukku dari belakang, meletakkan dagunya di bahuku.
"Aku bisa menghabiskan sisa hidupku hanya dengan melihatmu melakukan ini," bisiknya.
Aku tersenyum, menyandarkan kepalaku di dadanya. "Kalau begitu kamu akan bosan."
"Tidak akan pernah," katanya. Dia kemudian melepaskan pelukannya dan berlutut dengan satu kaki. Tidak ada kotak beludru yang dramatis. Dia hanya meraih tanganku yang kotor oleh cat, menatapku dengan keseriusan yang membuat jantungku berhenti berdetak.
"Arini Larasati," mulainya, suaranya sedikit bergetar. "Kita sudah melalui badai yang paling buruk bersama. Kita melihat sisi tergelap dari diri kita dan orang lain. Dan kita berhasil melewatinya. Sekarang, aku tidak mau apa-apa lagi selain menghabiskan sisa hari-hariku yang cerah bersamamu."
"Kita tidak perlu pesta besar. Kita tidak perlu cincin berlian yang paling mahal," lanjutnya. "Aku hanya butuh 'ya' darimu. Maukah kamu menikah denganku, Arini? Kali ini, dengan caramu. Dengan cara kita."
Air mata menggenang di mataku. Ini terasa begitu nyata. Begitu benar. Ini bukan permintaan, bukan paksaan, bukan kesepakatan. Ini adalah sebuah pilihan. Pilihan yang sepenuhnya menjadi milikku.
"Ya," bisikku. "Ya, Danu. Aku mau."
Kami menikah dua bulan kemudian di sebuah taman kecil yang rindang. Hanya dihadiri oleh keluarga inti dan sahabat-sahabat terdekat kami. Ayah dan Ibu menangis haru saat menyerahkanku pada Danu di hadapan penghulu. Kali ini, air mata mereka adalah air mata kebahagiaan yang murni.
Di antara para tamu, aku melihat Kak Binar. Dia datang sendirian. Dia mengenakan gaun sederhana berwarna biru laut, tampak tenang dan anggun. Saat mata kami bertemu, dia tersenyum. Senyum yang tulus, tanpa jejak iri atau kepahitan. Hanya ada kebahagiaan untuk adiknya.
Setelah akad selesai, dia menghampiriku.
"Selamat, Dek," katanya, memelukku singkat. "Kamu pantas mendapatkan ini. Kalian berdua."
"Makasih sudah datang, Kak," jawabku.
"Tentu saja aku datang," katanya. "Aku tidak akan melewatkan hari bahagia adikku."
Kami berdiri berdampingan sejenak, menatap Danu yang sedang bercengkerama dengan Ayah. "Dia pria yang baik, Rin," bisik Kak Binar. "Jaga dia baik-baik. Kamu jauh lebih pantas untuknya daripada aku dulu."
Pengakuan itu adalah hadiah pernikahan terindah darinya. Sebuah restu yang tulus yang akhirnya melepaskan semua sisa bayang-bayang masa lalu di antara kami bertiga.
Hidup kami setelah pernikahan adalah sebuah simfoni yang tenang. Kami membeli sebuah rumah kecil dengan halaman belakang yang cukup luas untukku membuat studio lukis mini. Danu adalah partner hidup yang luar biasa. Dia mendukung setiap mimpiku, merayakan setiap pencapaianku, dan selalu ada untuk memelukku saat aku merasa lelah.
Kami belajar bahwa cinta sejati bukanlah tentang kesempurnaan. Cinta sejati adalah tentang menerima ketidaksempurnaan, baik pada pasangan maupun pada diri sendiri. Cinta adalah tentang memilih untuk tetap tinggal dan berjuang bersama, bahkan setelah badai terburuk sekalipun.
Suatu sore, sekitar setahun setelah pernikahan kami, aku duduk di teras belakang, menatap Danu yang sedang mencoba merakit ayunan kayu untuk taman kami. Dia tampak sedikit kesulitan, dahinya berkerut, tapi dia tidak menyerah.
Aku tersenyum, mengusap perutku yang kini mulai membuncit. Ya, setelah semua ironi dalam hidupku, aku akhirnya hamil. Bukan karena paksaan, bukan karena tugas, tapi karena cinta. Sebuah kehidupan baru yang tumbuh dari fondasi yang telah kami bangun dengan susah payah.
Ponselku bergetar. Sebuah foto masuk dari Kak Binar. Itu adalah foto dirinya di depan sebuah galeri seni di Paris. Dia mengambil kursus singkat desain fashion di sana. Di foto itu, dia tersenyum lebar, matanya berbinar, tampak begitu hidup dan bebas. Di bawah foto itu ada tulisan: Menemukan duniaku kembali. Jaga dirimu dan keponakanku baik-baik!
Aku membalas dengan foto Danu yang sedang kebingungan dengan baut dan mur ayunan. Siap, Kak. Ayahnya lagi sibuk mempersiapkan istana untuk sang pangeran/putri.
Dia membalas dengan emoji tertawa.
Aku meletakkan ponselku, hatiku dipenuhi oleh rasa syukur yang meluap-luap. Aku menatap suamiku yang penuh cinta, merasakan kehidupan baru di dalam diriku, dan baru saja bertukar pesan ringan dengan kakakku yang telah menemukan kedamaiannya sendiri di belahan dunia lain.
Aku telah memaafkan, tapi aku tidak melupakan. Karena masa lalu itulah yang telah membentukku menjadi wanita seperti sekarang. Wanita yang tahu nilai dirinya. Wanita yang tahu cara berjuang. Wanita yang akhirnya mengerti bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang mendapatkan barang-barang baru yang sempurna, melainkan tentang kemampuan untuk memperbaiki apa yang rusak, menghargai apa yang tersisa, dan membangun kembali sesuatu yang indah dari puing-puing.
Dan di tengah ketenangan senja itu, dengan aroma kayu dan cat dari studio lukisku, aku tahu bahwa aku akhirnya telah menemukan rumah. Bukan di sebuah bangunan, tapi di dalam kedamaian hatiku sendiri. Sebuah akhir yang bahagia, yang ternyata hanyalah awal dari segalanya.
kan jadi bingung baca nya..