“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Enam Belas
Davina terbangun karena sesuatu menekan punggungnya. Sesuatu yang hangat, berat dan bergerak pelan mengikuti ritme napas.
Ia membuka mata perlahan. Gelap. Hanya lampu tidur redup di pojok ruangan yang memberi sedikit cahaya. Butuh beberapa detik sebelum otaknya akhirnya menangkap realita.
Ada lengan besar melingkar di pinggangnya. Ada dada bidang di belakang punggungnya.
Ada napas hangat yang menyentuh tengkuknya.Dan yang paling menohok ia dipeluk Kevin dengan sangat erat.
Napas Davina langsung tersangkut di tenggorokan. Seketika tubuhnya menegang seperti papan. Jantungnya berdebar tak karuan, entah karena kaget, takut, atau terlalu sadar kalau pria yang memeluknya adalah seseorang yang mampu membuat emosinya jungkir balik hanya dengan satu gerakan kecil.
“A ....” Davina menelan ludah. Suaranya bahkan tidak keluar.
Ia mencoba menggerakkan pinggulnya sedikit, berniat melepaskan diri dari pelukan Kevin. Tapi baru saja ia bergeser satu inci, pelukan itu justru mengencang. Lebih kuat dan lebih dalam. Seakan Kevin takut Davina menghilang kalau ia melepaskannya barang sedetik saja.
“Bang …,” bisik Davina pelan, hampir tak terdengar. Kevin tidak bangun.
Tapi tubuhnya merespons. Tangannya yang melingkar di pinggang Davina bergerak seperti refleks, menariknya makin dekat ke dadanya. Wajah Kevin kini berada di belakang kepala Davina, ujung hidungnya menyentuh rambut gadis itu.
Davina menahan napas. Ia menggigit bibir, matanya panas karena entah kenapa, ada perasaan aneh yang muncul. Campuran takut, bingung, dan nyaman.
“Bang … lepasin …,” ulang Davina pelan. Ia mencoba mengangkat tangan Kevin dari pinggangnya, tapi kekuatan pria itu membuat usahanya sia-sia.
Malahan, Kevin menggeram kecil, suara rendah yang hanya muncul dari seseorang yang tidur sangat lelah dan menenggelamkan wajahnya ke rambut Davina. Gadis itu hanya terdiam.
“Ya Tuhan …,” gumam Davina frustasi. Ia menyerah. Penuh pasrah.
Tapi bukannya makin gelisah, entah kenapa tubuhnya justru pelan-pelan kendur kembali. Mungkin karena lelah. Mungkin karena masih ngantuk. Mungkin karena pelukan itu anehnya terasa lebih menenangkan dibanding menakutkan.
Ia menarik napas, sangat pelan, lalu memejamkan mata. Dan tanpa Davina sadari, ia yang awalnya ingin kabur, justru menenggelamkan wajahnya ke dada Kevin. Dekat. Sangat dekat.
Jantung Kevin berdetak stabil. Ritme yang anehnya membuat tubuh Davina merasa cukup aman untuk kembali terlelap.
“Cuma tidur habis ini aku marah lagi,” bisiknya pada diri sendiri.
Lalu ia tertidur, masih dalam pelukan pria yang membuat hatinya hancur beberapa jam lalu.
—
Pagi Hari
Davina terbangun karena cahaya matahari menerobos tirai tipis. Ia mengerjapkan mata perlahan, mencoba mengingat di mana ia berada.
Sampai ia menyadari satu hal, pelukan itu sudah hilang. Ia langsung bangkit panik, matanya memindai sekitar.
“Bang Kevin ...,” panggil Davina
Tidak ada sahutan. Kasur di sebelahnya kosong, tapi masih menunjukkan lekukan tubuh seseorang yang tidur di sana. Selimut sedikit berantakan. Udara kamar dingin.
Davina hendak turun dari ranjang ketika pintu kamar terbuka. Kevin muncul. Rambutnya sudah rapi meski masih sedikit basah, menunjukkan ia baru mandi. Kemeja hitam melekat di tubuhnya, lengan digulung sampai siku, dan wajahnya datar. Tidak seseram semalam. Tapi jelas bukan wajah pria yang sedang santai. Di tangannya ada sebuah paper bag.
“Bang ....”
“Ini.” Kevin menyodorkan paper bag itu tanpa basa-basi.
Davina memandangnya bingung, menerima paper bag itu dengan kedua tangan. Berat. Ketika ia intip isinya, itu adalah baju kerja.
“Abang beli ini?”
Kevin tidak menjawab langsung. Ia hanya menghela napas, menatap Davina dari kepala hingga kaki seperti memeriksa apakah ia baik-baik saja.
Lalu, dengan suara yang tenang tapi mengandung perintah, ia berkata, “Mandilah. Ganti bajumu. Hari ini kamu kerja sama Abang.” Davina terdiam sesaat.
“Kerja? Sama Abang? Maksudnya ngapain?”
Kevin memalingkan wajah sebentar, menekan rahang, lalu kembali menatapnya.
“Kamu ikut Abang ke kantor sesuai keinginan Papa. Mulai hari ini kamu kerja."
Davina mengernyit. Ia membuka mulut hendak memprotes, tapi begitu melihat ekspresi Kevin, ia menutupnya lagi. Ia memilih diam. Tanpa kata lagi, ia masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya.
Di kamar mandi. Davina menatap cermin. Wajahnya bengkak karena menangis semalam. Mata sembab. Rambut kusut. Ia mendesah panjang.
“Astaga Vina … apa hidupmu ini …,” gumamnya lemas.
Ia membuka shower dan membiarkan air hangat membasahi seluruh tubuh. Hening. Hanya suara air yang terdengar.
Tapi di kepalanya, semua kalimat Kevin berputar-putar. Cara Kevin memeluknya semalam. Cara Kevin tidak melepas. Cara Kevin bangun duluan dan membawakan baju kerja.
Apa maksud semua ini? Kenapa Kevin bertindak seperti seseorang yang takut kehilangan, tapi juga menahan sesuatu?
Ia menutup mata. “Aku capek .…”
Ketika Davina keluar, rambutnya sudah dikeringkan separuh, dan ia mengenakan pakaian yang dibelikan Kevin. Ia tidak tahu harus merasa apa. Senang? Tersentuh? Kesal? Tidak tepat semuanya. Ia hanya bingung.
Di meja makan kecil dekat jendela, Kevin sudah duduk. Ada dua piring sarapan, roti panggang, telur, dan buah. Tidak mewah, tapi cukup lengkap. Dan Kevin sedang menunggu.
Begitu melihat Davina keluar, pandangan Kevin turun ke tubuh gadis itu sebentar. Ia tidak berkata apa-apa, tapi sesuatu di matanya melunak.
“Duduk!" perintah Kevin dengan suara datar.
Davina menurut, meski canggung. Mereka duduk berhadapan. Kevin mendorong piring ke arahnya.
“Makan.”
Davina menatap sarapan itu, lalu Kevin. “Abang nggak marah?”
Kevin meletakkan garpu pelan, menatap Davina lama. “Kalau Abang marah, kamu pikir Abang bakal bikinin kamu sarapan?”
Davina mengerjap. “Ya … nggak juga sih.”
Lalu Kevin menambahkan dengan suara lebih pelan, “Abang nggak marah sama kamu.”
Davina menggigit bibir. Tapi belum sempat ia menyahut, Kevin berkata, “Makan dulu. Setelah itu kita berangkat.”
“Aku benar-benar harus ke kantor sama Abang?”
“Ya.”
“Pake outfit ini?”
“Ya.”
“Kerja ngapain?”
“Kamu lihat nanti.”
Davina memutar mata. “Bang Kevin, aku bukan boneka yang bisa Abang ....”
Kevin langsung memandangnya. Tajam. Tapi bukan intimidasi. Lebih seperti memohon tapi tidak mau mengatakannya.
“Vina.”
Ya Tuhan. Cara Kevin menyebut namanya saja sudah cukup membuat Davina diam.
“Please.” Kevin berucap pendek. Kata yang jarang keluar dari mulut Kevin.
Davina akhirnya menyerah. “Baiklah.”
Mereka makan dalam diam beberapa menit. Suasana tidak lagi sepanas semalam, tapi masih ada ketegangan yang menggantung.
Ketika Davina menaruh garpu, Kevin bertanya:
“Pergelangan tanganmu gimana?”
Davina kaget. “Hah? Oh, Ini?”
Ia mengangkat tangannya sedikit. “Nggak apa-apa kok," ujar Davina melanjutkan ucapannya.
Kevin menatapnya, tidak percaya. “Serius.”
Kevin mengalihkan pandangan, meneguk air. “Maaf," ucap Kevin selanjutnya.
Davina tersentak. “Atas apa …?”
“Semalam.” Mata Kevin turun, seolah ia malu. “Abang kebablasan.”
Davina hendak bicara, tapi Kevin berdiri lebih dulu. “Siap-siap. Kita berangkat.”
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak