NovelToon NovelToon
SAYAP PATAH MARIPOSA

SAYAP PATAH MARIPOSA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Lari Saat Hamil
Popularitas:261
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.

Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...

Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TAK DI DUGA...

Setelah berkeliling mengitari seputar mal yang tak jauh dari pusat kota, Langit menenteng beberapa paper bag dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menggenggam lembut tangan Arum.

Suasana mal yang ramai seolah memudar bagi mereka, langkah kaki mereka selaras, percakapan ringan sesekali mengisi keheningan, dan senyum tipis Arum menandakan hati yang mulai lega meski masih tersisa rasa bersalah dan canggung.

Langit berhenti di depan sebuah toko perhiasan, menatap Arum dengan mata yang bersinar penuh perhatian. Ia membuka pintu toko untuknya, lalu menatapnya dengan nada serius namun lembut. “Sesuai janji aku,” Ucap Langit, senyumnya mengembang tipis, “kamu bebas pilih perhiasan yang kamu suka.”

Arum berdiam sejenak, tak langsung melangkah masuk ke dalam. Ia memandang paper bag yang dibawa Langit yang mereka siapkan sebagai hantaran di pernikahan nantinya.

Seakan tahu apa yang kekasihnya itu pikirkan, Langit melempar senyum sembari menangkap kedua baju Arum lembut, "Sayang. Kamu tenang aja... ya. Uang yang aku pakai ini adalah uang tabungan aku sendiri untuk masa depan kita."

Arum menelan saliva, menyambut sorot mata Langit yang begitu hangat, menenangkan. "Ta-tapi Mas... a-apa aku layak mendapatkan ini semua?"

Langit mendesis. "Kamu kenapa bicara seperti itu? Kamu adalah orang yang berharga buat aku. Kamu layak mendapatkannya. Kamu gak perlu merasa diri kamu itu yang salah. Aku yang justru membuat semuanya hancur, sayang. Kamu pantas mendapatkannya."

Arum mengangguk pelan, senyum tipis mengembang di bibirnya. Ia mulai melangkah, namun sebelum menapaki beberapa langkah, tangan Langit turun dengan lembut, jemarinya yang kokoh menggenggam kembali tangan Arum. Sentuhan itu hangat, penuh kepastian, membuat Arum merasa aman dan terlindungi.

Dengan genggaman itu, Langit menuntunnya ke etalase perhiasan yang berbaris rapi, setiap kilauannya memantulkan cahaya hangat lampu toko. Ia berdiri di samping Arum, menatapnya dengan lembut, memberi ruang namun tetap hadir sebagai sandaran.

Arum menunduk sebentar, merasakan detak jantungnya yang lebih cepat, kemudian matanya mulai menelusuri barisan perhiasan, mencari sesuatu yang menarik hatinya sambil sesekali merasakan sentuhan jemari Langit yang tak melepaskannya.

"Aku suka yang ini, Mas." Kata Arum sambil menunjuk sepasang cincin berkilau yang menarik perhatiannya.

Langit mengangguk dan menatap pramuniaga di balik etalase. "Coba, Mbak. Boleh saya lihat?"

"Tentu, Pak," Jawab wanita itu ramah, sambil melangkah menghampiri dan dengan hati-hati mengambil cincin dari kotak display.

Cincin itu tampak sederhana namun elegan, memancarkan kilau hangat yang menenangkan mata. Band-nya terbuat dari emas putih yang halus, permukaannya bersih tanpa lekukan berlebihan, memberikan kesan modern namun abadi. Di tengah cincin, terpasang sebuah batu permata berbentuk bulat—seolah menangkap cahaya di sekelilingnya, memantulkan kilauan lembut yang menari-nari.

"Kamu memiliki selera yang istimewa, sayang." Kata Langit, memandang Arum. "Kalau kamu suka... aku juga suka."

"Jadi... kita pilih ini, Mas?"

"Iya, sayang." Angguk Langit dengan senyum tipis menghiasi wajahnya.

Tak berhenti di situ, Arum mulai menelusuri etalase lainnya. Dengan hati-hati ia memilih beberapa gelang, cincin tambahan, dan anting-anting yang menarik perhatiannya. Satu per satu ia mencoba mengenakan perhiasan itu, memperhatikan kilau dan bagaimana setiap potongannya menempel indah di beberapa titik tubuhnya.

Langit yang berdiri di sampingnya, matanya mengikuti setiap gerakan Arum, tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Ia tersenyum tipis setiap kali Arum menoleh menanyakan pendapatnya, atau saat Arum tersenyum sendiri melihat refleksi dirinya di kaca etalase.

Hingga waktu berlalu begitu cepat, mereka keluar dari mal usai semua yang mereka butuhkan dan di cari terpenuhi.

Matahari mulai menurun, cahaya sore mulai merayap masuk melalui jendela mobil begitu tiba di dalam, namun Langit tetap terpaku, terpesona oleh Arum—cara ia tertawa kecil, cara ia memilih dan mencoba perhiasan tadi, dan terutama, cara ia tampak begitu bahagia, membuat seluruh sore hari ini terasa hangat dan penuh keintiman.

Mesin mulai menyala dengan dengungan halus namun tegas. Langit menepuk setir sekali, Memeriksa sekeliling, lalu melesatkan mobilnya keluar dari basement parkir. Lampu depan menembus gelapnya lorong, memantul di dinding beton saat mobilnya meluncur naik ke permukaan.

Setibanya di jalan utama, Langit menekan pedal gas sedikit lebih dalam, dan akhirnya mobil melaju dengan mantap di antara arus kendaraan yang mulai ramai.

"Makasih ya, Mas." Kata Arum, matanya masih memandang kotak perhiasan yang ia genggam.

"Sayang... kamu gak perlu mengatakan ucapan itu berulang-ulang. Aku melakukannya demi kebahagiaan kita. Kamu... aku... dan calon anak kita."

Arum tertegun, bola matanya berbinar. Campuran antara rasa lega, haru, dan penyesalan yang tak berhenti menggema, apalagi ketika Langit mengucapkan calon anak dengan sangat jelas, meraung di kedua telinganya.

Perlahan, sebelah lengan Arum mengusap dinding perutnya yang tipis, sentuhan lembut yang sedikit ragu, tapi juga sayang. Di saat yang sama, Langit menoleh sekilas, matanya menatap Arum dengan hangat dengan senyum tipis mengembang di wajahnya.

“Tidak apa, sayang,” Ucapnya pelan, suaranya rendah namun menenangkan. Jemarinya sendiri perlahan menyentuh tangan Arum yang berada di perutnya, menggenggamnya dengan lembut, seolah kehadirannya memberikan rasa aman, yang membentuk pelindung yang tak terlihat di sekeliling mereka. "Setelah ini... kita ke butik, ya." Lanjutnya. "Butik yang ada pajangan gaun yang saat itu kamu suka. Kamu masih ingat kan, sayang?"

Arum terkesiap. Matanya membulat besar dalam sekejap, menandakan keterkejutan, "Serius Mas?" Tanyanya, memastikan.

Langit tersenyum tipis dan menoleh memandang penuh wajah kekasihnya. Sebelah lengannya mengusap lembut helain rambut Arum dengan penuh perhatian. "Iya, sayang." Jawabnya.

Arum menarik senyum. Senyum tipis yang muncul di bibirnya, jelas menunjukkan rasa senang. Namun tak lama, matanya berpaling.

Ia menoleh ke balik badan Langit ketika kedua sorot lampu melaju cepat di persimpangan yang mereka lewati. "Mas, awaaaaaaaaass...!" Teriaknya panik, dengan suara yang nyaris tercekat.

Langit tersentak cepat, tangan yang memegang setir mendadak menegang sambil menginjak pedal rem seketika dan membuat mobilnya berdecit ringan saat ia menahan laju. “A-aman, sayang,” Gumamnya terbata, mencoba menenangkan Arum di sampingnya.

“Maaas…” Suara Arum terdengar panik lagi.

Langit kembali menoleh ke depan—dan dalam sekejap, sorot lampu kendaraan lain melintas begitu dekat, membuat waktu terasa seperti berhenti.

Detik berikutnya, terdengar benturan keras. Tubuh mobil yang mereka kendarai terhuyung. Kaca depannya bergetar, dan suara logam bertabrakan memenuhi udara.

Arum menjerit, menempel erat ke Langit, sementara detak jantung mereka berdua melonjak tak terkendali. Langit menahan setir dengan sekuat tenaga, mencoba menstabilkan mobil, namun benturan itu terlalu kuat untuk dihindari.

Tubuh mobil kemudian terseret beberapa meter sebelum menabrak tiang besi di tepi jalan. Bunyi dentuman logam yang menyayat telinga bercampur pecahan kaca yang beterbangan. Dan, pada jok depan terasa bergetar hebat, udara di dalamnya dipenuhi suara peluit rem, benturan keras, dan bunyi peringatan dari dashboard yang panik.

Setelah tabrakan itu, hening menyelimuti seketika. Asap mengepul dari kap mobil depan yang hancur, mengepung udara dengan bau logam hangus dan karet terbakar yang menusuk hidung. Debu dan serpihan kaca beterbangan di kabin, menempel di kulit dan rambut mereka.

Arum menekuk tubuhnya ke depan, napasnya terengah dengan tubuh yang gemetar hebat. Di pelipisnya mengalir sesuatu—darah tipis, menetes perlahan, tapi tak mengurangi kesadarannya. Matanya buram oleh pandangan kabur karena shock, namun ia masih bisa melihat Langit yang tak sadarkan diri—kepalanya berdarah dengan tubuhnya yang kaku.

Tangis Arum pecah kemudian, menggema di dalam kabin yang hancur. Ia menggoyangkan tubuh Langit dengan panik, memanggil namanya berulang-ulang. “Mas! Bangun, Mas!” Suaranya parau, nyaris patah oleh rasa takut dan panik.

Tangan Arum menggenggam bahu Langit, mengguncangnya lembut tapi Langit tak merespon.

Di sekelilingnya, dunia terasa berhenti—hanya ada darah, asap, pecahan kaca, dan tangis Arum yang memecah keheningan, kemudian...

Yang lebih menyakitkan dan kenyataan yang sulit di terima, terdengar suara orang-orang panik datang mendekat dan mengintip kaca jendela mobil mereka.

"Ada kecelakaan parah! Panggil ambulan!"

"Orangnya selamat gak, ya...?!"

"Lapor polisi, cepat!"

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!