NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 16: Keheranan Sang Pertapa

Kabut tipis menggantung di lereng pegunungan itu, berlapis seperti tirai halus yang enggan terangkat. Di antara kabut yang bergerak perlahan, berdirilah sebuah pondok kecil yang nyaris tersembunyi oleh pohon-pohon cemara tua.

Atapnya dari jerami kasar, dindingnya dipenuhi lumut hijau, dan di depan pintunya tergantung lentera bambu yang bergoyang pelan tertiup angin. Di sinilah, di ketinggian yang jauh dari hiruk-pikuk dunia, Guru Kui Xing memilih mengasingkan diri dari segala urusan fana.

Udara di sekeliling pondok itu membawa aroma yang khas. Ada wangi arak yang kental, menembus hawa lembap pagi, bercampur dengan bau tembakau kayu yang terbakar perlahan di tungku batu di depan pondok.

Setiap hembusan angin membawa desahan lembut, seolah gunung itu bernapas bersama penghuni tunggalnya. Dari dalam pondok, samar terdengar suara rendah, seperti seseorang sedang bersenandung tanpa irama, antara doa dan gumaman seorang pemabuk.

Di sisi belakang pondok, sebuah sumur tua masih berisi air jernih yang memantulkan cahaya lembut matahari pagi. Batu-batu di sekitarnya ditumbuhi lumut halus, dan di bawah akar pohon besar, bunga liar berwarna biru tua bermekaran diam-diam.

Tak ada burung yang berkicau, seolah tempat ini adalah dunia yang menelan suara, di mana waktu berjalan lebih lambat dan setiap napas terasa berat oleh ketenangan.

Guru Kui Xing duduk di bangku kayu dekat pintu pondoknya, tubuhnya condong ke depan, memegang labu arak besar di tangan kiri dan sebuah palu besi kecil di tangan kanan. Palu itu berkilau lembut di bawah cahaya pagi, namun permukaannya penuh bekas pukulan lama, tanda bahwa benda itu telah menempuh perjalanan panjang bersama pemiliknya.

Ia memukulkan palu itu perlahan ke batu di depannya, bukan untuk menempa, melainkan untuk mendengar gema yang keluar dari dalam batu.

Tuk… tuk… tuk… Suaranya menggema lembut, seirama dengan napas angin di lembah.

Rambutnya berwarna abu-abu perak, panjang hingga bahu, berantakan oleh angin. Janggutnya tidak terlalu lebat, namun tiap helainya seperti benang halus yang memantulkan cahaya.

Wajahnya tampak biasa pada pandangan pertama, tetapi siapa pun yang menatap matanya akan merasa seolah menatap langit malam yang dalam dan tak berujung. Di balik kelengahan seorang pemabuk, tersembunyi kedalaman yang tak bisa dijangkau oleh manusia biasa.

Ia meneguk arak dari labu besar itu, lalu menghembuskannya perlahan. Uap hangat dari arak bercampur dengan kabut pagi, membentuk bayangan samar yang seolah menari di udara. Dalam diam, ia memandang jauh ke lembah di bawah sana.

Sejauh mata memandang, hutan terbentang luas, sunyi, namun di bawah permukaannya masih tersimpan sisa-sisa kehancuran dan darah yang belum mengering.

Kui Xing menghela napas panjang.

"Gunung ini masih bernafas, tapi dunia di bawah sana… telah kehilangan nadinya," ujarnya pelan. Suaranya tenang, tapi ada gurat getir di ujung kata-katanya, seperti seseorang yang telah terlalu lama menyaksikan kebodohan manusia berulang tanpa akhir.

Ia berdiri perlahan, matanya yang tajam menatap ke arah kabut di bawah, seolah dapat melihat melalui lapisan hutan dan waktu.

Di sana, di lembah yang ia lihat tanpa benar-benar melihat, terbaring seorang anak muda yang belum tahu bahwa hidupnya akan menjadi garis batas antara manusia dan legenda.

Di dalam pondok, udara dipenuhi aroma arak dan ramuan kering. Cahaya matahari menerobos lewat celah dinding bambu, jatuh di atas ranjang kayu sederhana di tengah ruangan.

Di atasnya terbaring Liang Chen, tubuhnya pucat, napasnya tersendat, namun setiap hembusan napas membawa desiran halus dari sesuatu yang lebih dalam dari kehidupan biasa.

Guru Kui Xing duduk di tepi ranjang, memandang pemuda itu tanpa berkata-kata. Ia meletakkan labu araknya di lantai, dan untuk pertama kalinya sejak lama, wajahnya benar-benar serius.

Jari-jari tuanya menyentuh dada Liang Chen, tempat luka menganga yang belum sepenuhnya tertutup. Luka itu bukan luka biasa, di sekelilingnya, daging tampak berdenyut samar, diselimuti warna merah gelap yang berkilau seperti bara yang menolak padam.

Kui Xing menatapnya lama, lalu bergumam pelan,

“Tubuh fana ini... bagaimana bisa menahan sisa energi pembantaian seperti itu? Bahkan logam suci pun akan meleleh.”

Ia menutup matanya sejenak, menyalurkan sedikit Energi Samawi dari ujung jarinya, mencoba menembus tubuh Liang Chen. Namun seketika, energi itu terpental kembali, seolah ditolak dengan kekuatan yang kasar dan liar.

Permukaan kulit Liang Chen mengeluarkan cahaya samar, merah kehitaman, seperti nyala darah yang membara di bawah permukaan air.

Guru Kui Xing mengangkat alis.

“Bahkan dalam keadaan sekarat, Warisan ini masih melindunginya.”

Ia menghela napas, lalu memeriksa lebih dalam. Ia menyusuri meridian Liang Chen dengan tatapan batin. Jalur energi itu rusak parah, terbakar, retak, dan pecah di beberapa titik. Namun di tengah kehancuran itu, ada sesuatu yang lain: aliran merah seperti sungai kecil, berputar dan mengalir di jalur-jalur yang seharusnya mati.

Itu bukan Energi Samawi, melainkan sesuatu yang lebih padat, lebih berat, dan berdenyut seperti jantung hidup.

Kui Xing terdiam lama.

“Ini bukan jalan manusia. Ini… jalan yang diciptakan dari amarah dan kehilangan.”

Ia memalingkan pandangan ke sisi ranjang, di mana sebuah pedang hitam tergeletak diam. Pedang itu tampak seolah terbuat dari logam yang mengisap cahaya, menghitam sempurna tanpa pantulan. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh bilahnya. Seketika, hawa dingin menelusuri jarinya, disertai bisikan samar yang tidak berasal dari dunia luar.

“Kesunyian Malam,” gumamnya. “Bahkan pedangnya sudah memiliki nama sendiri sebelum ia sempat memberi nama.”

Guru tua itu menarik tangannya perlahan, lalu menatap Liang Chen kembali. Ada kekaguman dan rasa iba di matanya. Ia tahu apa yang sedang dilihatnya, Warisan Asura, salah satu garis keturunan terkutuk yang dulu hampir menghapus separuh dunia pada zaman kuno.

Namun ia juga tahu, takdir kadang berulang bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk menebus kesalahan yang pernah dilakukan generasi lama.

“Anak ini,” ujarnya lirih, “lahir untuk menanggung darah dan dosa, tapi matanya... bukan mata monster. Ia hanya anak yang kehilangan tempat pulang.”

Ia mengambil kain bersih, menyeka peluh dari dahi Liang Chen, lalu menutup luka di dadanya dengan ramuan herbal yang ia tumbuk sendiri. Bau pahit dari ramuan itu segera memenuhi ruangan, menutupi aroma darah yang pekat.

Setelah beberapa lama, ia duduk kembali di kursinya. Matanya menatap nyala kecil di perapian, lalu bergumam hampir tak terdengar,

“Warisan Asura… kau memilih wadah yang salah, atau mungkin justru yang tepat.”

Malam turun perlahan di atas punggung gunung. Kabut menggantung di antara pepohonan tinggi, menyelimuti pondok itu dalam selimut keperakan yang nyaris suci. Angin membawa aroma arak dan daun kering, menggetarkan lonceng kecil di ambang jendela. Dari kejauhan, terdengar suara air terjun yang jatuh lembut, seperti napas langit yang kelelahan.

Di dalam pondok, Guru Kui Xing menatap Liang Chen yang masih tak bergerak. Tubuh muda itu terbaring tenang, seperti seonggok batu giok yang setengah retak. Ia meletakkan tangannya di dada Liang Chen sekali lagi, mengalirkan sedikit Energi Samawi murni, energi yang selama ini menjadi dasar bagi semua kultivator di dunia.

Ia ingin menutup luka, menyembuhkan meridian, atau sekadar menghangatkan jantung yang hampir berhenti.

Namun begitu energi itu masuk, seketika tubuh Liang Chen bereaksi. Napasnya tersendat, kulitnya menggelap di sekitar luka, dan hawa panas menyembur keluar dari seluruh pori-porinya. Dari tubuhnya keluar kabut tipis berwarna merah kehitaman, memancarkan bau besi dan darah yang tajam.

Kui Xing segera menarik tangannya dan menatap heran. Energi Samawi-nya, yang seharusnya lembut seperti embun, hancur bagaikan debu ketika menyentuh arus merah di tubuh pemuda itu.

Ia terdiam cukup lama, lalu menggeleng perlahan.

“Jalan Panjang Umur menolakmu sepenuhnya. Bahkan damai pun menjadi musuh bagimu, anak muda.”

Ia menyesap araknya satu kali, menatap langit-langit pondok yang dipenuhi bayangan temaram. Dalam pikirannya, kenangan lama berkelebat, ingatan akan masa di mana dunia pernah diselimuti darah oleh seorang yang disebut Asura Pertama, makhluk yang melampaui batas manusia, namun terperangkap dalam amarah abadi.

Dunia kala itu memerlukan seribu kultivator untuk menumbangkannya, dan harga yang dibayar adalah lenyapnya satu benua.

Dan kini, di hadapannya, seorang anak muda yang belum mengenal dunia, menampung kekuatan yang sama.

Namun, ada sesuatu yang berbeda.

Kui Xing memandangi Liang Chen dengan mata yang tajam. Meskipun energi Asura di tubuhnya begitu liar, ia merasakan denyutan halus di bawahnya, bukan kebencian, melainkan kesedihan. Aura itu bukan hanya haus darah; ia juga membawa kepedihan yang dalam, seperti jiwa yang menangis di tengah badai.

Ia menarik napas pelan. “Asura ini… memiliki hati manusia.”

Ia lalu berdiri, mengambil beberapa ramuan dari rak kayu. Tangannya yang bergetar karena usia mencampurkan dedaunan pahit dan bunga liar yang hanya tumbuh di tepi jurang.

Ramuan itu berbau getir dan getirannya menusuk hidung. Dengan sendok kayu, ia meneteskan cairan hitam itu ke bibir Liang Chen yang pucat.

Saat tetes pertama menyentuh lidahnya, tubuh Liang Chen bergetar. Aura merah yang semula bergejolak kini mulai tenang, seperti ombak yang surut perlahan. Napasnya menjadi lebih stabil, meski masih lemah. Kui Xing duduk kembali, menyandarkan punggung pada tiang pondok, dan tersenyum kecil.

“Setidaknya kau mau menerima ramuan fana,” katanya lirih, “itu berarti jiwamu belum sepenuhnya menolak dunia ini.”

Waktu berlalu perlahan. Di luar, bulan muncul di balik awan, menebarkan cahaya lembut yang menembus dinding bambu. Di dalam pondok, arak dan ramuan bercampur dengan aroma malam, menciptakan atmosfer yang ganjil antara kedamaian dan bahaya.

Guru Kui Xing memandang keluar jendela, ke arah timur, ke arah tempat yang kini hanya tinggal puing dan debu: Desa Hijau. Matanya yang tua tampak jauh dan berat, seolah menembus waktu. Ia tahu apa yang terjadi di sana.

Ia tahu siapa yang mengirim para pembunuh itu. Dan ia tahu, Warisan Asura yang kini tertidur di ranjangnya adalah satu-satunya alasan mengapa Sekte Raja Naga Berdarah masih berani bergerak melawan surga.

Ia menegakkan duduknya, meneguk arak sekali lagi, dan berkata kepada dirinya sendiri,

“Raja Naga Berdarah... jika kau mencari kematian, maka mungkin anak inilah yang akan menuntunmu padanya.”

Ia bangkit, melangkah ke luar pondok. Kabut menyambutnya, dingin dan lembap. Dari tempatnya berdiri, ia menatap lembah di bawah, lembah yang seolah menahan napas, takut pada kekuatan yang bersemayam di pondok itu.

Dengan satu gerakan ringan, ia menepuk udara. Dalam sekejap, puluhan jimat pelindung berpendar samar di sekeliling pondok, membentuk perisai spiritual yang menutup segala jejak energi Asura.

Kui Xing menatap hasil kerjanya dengan puas. “Tidurlah dengan tenang, bocah Asura,” katanya lembut. “Dunia ini sudah cukup gila tanpamu bangun terlalu cepat.”

Ia berjalan kembali ke dalam pondok, duduk di kursi bambunya, dan menuang arak ke dalam mangkuk tanah liat. Ia menatap Liang Chen yang masih terbaring, bibirnya bergerak pelan seperti membaca doa yang tidak pernah selesai.

“Takdir,” gumamnya. “Kau selalu memilih yang paling rapuh untuk menanggung beban terberat.”

Suara air terjun di kejauhan kini menjadi satu-satunya nyanyian malam itu. Liang Chen tetap diam, tenggelam dalam koma yang dalam.

Tubuhnya yang lemah kini diselimuti cahaya lembut dari perisai spiritual, sementara Pedang Kesunyian Malam di sampingnya tampak seperti potongan malam yang menolak fajar.

Guru Kui Xing menatap semuanya, lalu tersenyum samar. Ia tahu bahwa ketenangan ini hanya sementara. Dunia akan segera berubah ketika bocah itu membuka matanya kembali.

Ia meneguk sisa arak dalam satu tarikan panjang, menghela napas berat, dan berkata pelan, hampir seperti janji pada arwah masa lalu.

“Baiklah, Asura muda, Aku akan menjadi penjara sekaligus pembimbingmu, Jika kau melawan dunia, aku akan menghentikanmu. Jika dunia melawanmu, aku akan berdiri di depanmu.”

Lalu ia memejamkan mata, membiarkan malam menelan suaranya.

Dan di tengah hening itu, Liang Chen, tanpa sadar, menghela napas panjang untuk pertama kalinya , bukan napas fana, tetapi napas kehidupan baru yang terbentuk di antara arak, darah, dan takdir.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!