"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Are You Okay?
"Apa maksud kamu mengatakan hal tersebut?" Tama menarik tangan Binar di salah satu tempat sepi sesaat setelah semua berhamburan kembali untuk bekerja.
"Lepaskan, Mas. Bukannya kamu nggak ingin ada orang lain yang tahu jika kita ada hubungan, ehm..maksudku mantan"
"Kamu masih istriku, Bi"
"Iya sekarang, tapi tidak untuk esok," Binar menatap tajam ke arah Tama. Ini adalah tempat di mana dia melihat Tama sedang bermesraan dengan wanita tempo hari. "Apa yang kamu tunggu?" Binar menatap Tama seolah matanya sedang menelanjangi Tama. Perlahan laki-laki itu melepas cengkeraman tangannya dari tangan Binar. Berusaha mengendalikan emosi yang menguasainya.
"Apa kamu terluka mendengar semua jawabanku tadi, mas? atau kamu takut ketahuan jika ternyata istrimu bekerja di sini?" mata Binar kembali memprovokasi. Tama mengusap rambutnya kasar.
"Kita bicarakan baik-baik Bi,"
"Kita bicara di rumah, aku mau meeting sama Pak Aksa, permisi" Binar melewati Tama begitu saja tanpa menoleh, sementara Tama nampak frustasi, tanpa mereka sadari dari kejauhan, Aksa melihat mereka berdua.
Binar menarik nafas panjang, mematut wajahnya di depan cermin yang ada di area toilet. Memperhatikan wajahnya yang masih nampak tidak tenang, Binar berusaha mengatur nafas, agar kejadian siang ini tidak merusak profesional kerjanya bersama Aksa. Dia harus tampil profesional bagaimanapun juga.
Binar keluar dari area tersebut dan kembali ke ruangannya, harusnya dia tidak makan siang bersama tadi. Binar mengambil buku agenda dan beberapa proposal yang harus dia siapkan untuk meeting siang ini.
Binar mengekor di belakang Aksa dan juga Putra memasuki sebuah ruang rapat, sebuah meja bundar berukuran raksasa dan sudah dikelilingi oleh beberapa orang. Aksa duduk di paling ujung, Binar berada di samping Putra, bersiap menyimak dan mencacat apapun yang dia menjadi bahasan meeting.
Beberapa kali terlintas di benaknya tentang masalah hidupnya, Binar menggelengkan kepalanya, berusaha mengusirnya. Putra melirik ke arahnya.
"Ada apa?" tanya Putra pelan sambil sedikit menunduk. "Apa kamu sakit,?"
"Tidak Pak, saya baik-baik saja" sesingkat mungkin Binar menjawab, agar tidak menyita perhatian banyak orang. Putra mengangguk dan memberikan isyarat Binar untuk kembali fokus. Binar mengangguk perlahan.
Meeting berjalan cukup alot karena ada beberapa perdebatan, salah satunya membahas tentang berita yang beredar semalam. Hal ini dikhawatirkan akan membuat penjualan produk yang akan dilaunching minggu depan bisa gagal.
Putra ingin menyela, hendak menjelaskan. Hanya saja Aksa mengangkat tangannya dan menggeleng.
"Tidak perlu," Aksa memberikan peringatan. Putra pun kembali terdiam.
"Akan aku pastikan hal tersebut tidak akan mengganggu apapun dengan apa yang akan kita lakukan minggu depan,"
Aksa menutup meeting dengan berbagai masalah yang masih menggantung. Aksa masih tinggal di kursinya, sementara peserta lainnya sudah meninggalkan ruang tersebut.
"Saya keluar dulu, Pak, untuk mengantar rekan kita," Putra pamit keluar terlebih dahulu, Aksa memberikan kode dengan tangannya untuk Putra.
"Apa kamu ada masalah?" tanya Aksa membuyarkan fokus Binar yang sedang membereskan berkas-berkas yang tadi dia bawa.
"Maksud Bapak?"
"Selama kamu bekerja di sini, aku melihat kamu kurang fokus, apa kamu beneran mau bekerja di sini dengan serius?" tanya Aksa dengan nada serius. Binar menunduk, merasa bersalah. Yap, dia merasa bersalah.
"Jika ada masalah keluarga, seharusnya kamu selesaikan dengan baik," Aksa berdiri lalu meninggalkan tempat tersebut. Binar menghembuskan nafas kasar, benar yang dikatakan oleh Aksa. Ini adalah salahnya, jika dia masih mau bertahan, maka dia benar-benar harus fokus pada kerjaannya.
"Pleaseee Binar....fokus...fokus....kamu butuh uang, kamu butuh uang, kalau kamu nggak kerja dengan baik, nanti kamu dipecat, nyari kerja tidak semudah itu, tahan Binar tahaaaan" Binar menepuk pipinya, menyemangati dirinya sendiri.
Ponsel Binar berdering.
"Iya Bu, tapi mungkin malam ini baru bisa pindahan, karena malam ini saya masih lembur,"
Binar mengakhiri panggilan. Binar menggelengkan kepalanya, lalu bangkit dan menuju pantry, mengaduk kopi untuk menemaninya lembur hari ini. Binar bersemangat agar cepat selesai dan lekas pulang, malam ini dia ada janji untuk memindahkan barang-barang dari rumah menuju kontrakan.
Jam menunjukkan pukul 8 malam, bersamaan dengan itu, pekerjaannya beres. Binar segera membereskan semuanya dan bergegas turun untuk pulang, tidak lupa tangannya tengah menggeser-geser layar ponselnya hendak memesan taksi online, karena ternyata malam ini hujan turun dengan derasnya.
"Oh...tiba-tiba banget hujan sederas ini," Binar baru menyadari jika memang hujan sederas ini, saking dia tengah ngebut dengan kerjaannya sampai tidak memperhatikan cuaca di luar. Binar menatap layar ponselnya, tidak ada taksi yang mau membawanya. Binar mencoba lagi, dan gagal lagi.
"Lagi error kali ya?" Binar berbisik pada dirinya sendiri. Suasanya kantor sudah sepi, hanya ada security yang masih berjaga. "Ya udah, aku tunggu aja deh,"
Terdengar langkah kaki mendekat, Binar yang menunggu di depan pintu masuk gedung menoleh. Nampak Aksa masih lengkap dengan setelan jasnya. Laki-laki yang hampir saja terjebak dengannya itu nampak melihat ke arah Binar.
"Ke arah mana?" tanya Aksa datar.
"Saya sudah menunggu taksi pak" jawab Binar bohong.
Smirk di bibir Aksa nampak dengan jelas. "Aplikasi sedang error, naiklah aku antar pulang," Sebuah mobil berwarna hitam berada tak jauh darinya.
"T-tidak usah pak, saya bisa pulang sendiri kok," Binar masih menolak, dia segan jika harus pulang dengan orang nomor satu di kantor ini.
"Kamu jangan berfikiran yang aneh-aneh, aku sedang tidak mabuk atau semacamnya, dan lihatlah, hujan deras sekali, aku tidak mau sekretaris yang aku andalkan ini kenapa-napa, bisa viral lagi nanti, ck"
Binar sudah berada di dalam mobil Aksa, tepat berada di samping Aksa.
"Sopirku sedang sakit, jadi hanya karena aku nyetir sendiri, kamu jangan berfikiran aku akan macam-macam," Aksa menegaskan.
"Baik, Pak" jawab Binar.
Hujan benar-benar deras, jarak pandang mobil pun hanya beberapa meter. Terlihat kilat menyambar, membuat Binar beberapa kali menutup matanya. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan di antara mereka berdua, hening. Hanya terdengar suara hujan di luar sana, laju mobil pun melambat.
Aksa fokus dengan kemudinya, beberapa detik dia melirik ke arah Binar yang tengah memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Nampaknya Binar terlalu lelah. Aksa tersenyum tipis melihat Binar yang tertidur.
Hujan masih belum reda ketika mobil yang dikemudikan Aksa tiba di depan rumah Binar, pertama kalinya Aksa melihat rumah Binar. Binar masih tertidur, Aksa hendak membangunkan, tapi tidak tega. Dia menunggu hingga Binar bangun.
Hampir satu jam Aksa menunggu, dan akhirnya Binar membuka matanya. Dia terkejut setelah menyadari jika perjalanan ini sudah memakan waktu yang lama, itu artinya dia tertidur dan Aksa tidak membangunkannya.
Binar membuka sabuk pengamannya, merasa tak enak. "Ma-maaf Pak, saya ketiduran"
"Hujan masih deras, saya ambilkan payung,"
"Tidak usah pak, aman, tidak akan basah kuyub kok,"
Tanpa meminta persetujuan, Aksa keluar dari mobilnya dan membuka payung berwarna bening itu, lalu memayungi Binar yang hendak masuk ke dalam rumahnya. Rumah sederhana itu nampak hening, sepi, dingin. Binar yang tengah berjalan berdua dengan Aksa memegang payung merasa tak enak hati.
"Terima kasih atas semuanya hari ini Pak, maaf kalau merepotkan," Binar membungkukkan badannya.
"Terima kasih juga sudah menyelamatkan aku semalam, kita impas kan?" Aksa tersenyum. Binar menganggukkan kepalanya.
"Saya masuk dulu, Pak,"
Aksa mengangguk, dan berjalan kembali ke mobil setelah Binar masuk ke rumahnya. Benar, rumah ini terasa dingin, sepi, dan membuatnya batinnya terluka.