NovelToon NovelToon
EMPRESS ELARA (Transmigrasi Kedalam Tubuh Permaisuri Lemah)

EMPRESS ELARA (Transmigrasi Kedalam Tubuh Permaisuri Lemah)

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno / Masuk ke dalam novel / Mengubah Takdir
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Senja Bulan

Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16, Elara vs Tikus kerajaan

Fajar datang terlambat. Hujan semalam menyisakan kabut tebal yang menutupi halaman istana. Bau besi dan tanah basah masih kuat, seakan medan perang belum sepenuhnya reda.

Elara berdiri di teras Istana Timur, mengenakan jubah putih bersih namun masih menyisakan noda darah di ujung lengan. Ia menatap ke arah taman yang porak-poranda.

Para pelayan sibuk membersihkan genangan air dan mengumpulkan pedang-pedang yang tertinggal.

Di balik kesunyian itu, langkah sepatu berat mendekat. Kaelith muncul, mengenakan pakaian perang sederhana tanpa mahkota. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya tetap tajam.

“Kau seharusnya beristirahat,” katanya datar.

“Aku tidak bisa tidur,” jawab Elara pelan. “Bukan karena semua yang telah terjadi.”

Kaisar berhenti di sampingnya, memandangi taman yang sama.

“Separuh istana ternyata busuk sampai ke akar,” ucapnya lirih. “Aku mempercayai mereka selama bertahun-tahun, sementara mereka menyiapkan pisau untuk punggungku.”

Elara melirik ke arahnya.

“Kau marah karena dikhianati, atau karena mereka sempat lebih pintar darimu?”

Kaelith menoleh cepat, menatapnya dengan mata yang berbahaya. Tapi Elara tidak mundur; ia justru menatap balik dengan senyum tipis.

“Kemarahan tidak akan mengubah apapun,” lanjutnya. “Kalau ingin membakar akar busuk, jangan pakai amarah. Pakai kepala dingin dan tangan yang sabar.”

Kaelith menatapnya beberapa saat, lalu menghela napas.

“Kau bicara seperti seseorang yang sudah berkali-kali melakukan itu.”

“Mungkin aku memang sudah,” balas Elara tenang, matanya tak berpaling.

Hening menggantung di antara mereka.

Kaelith akhirnya menatap langit yang mulai terang.

“Aku akan memanggil semua kepala istana sore ini. Kita akan mulai dari mereka yang paling berpengaruh.”

“Baik,” kata Elara. “Dan aku ingin berada di ruangan itu juga.”

“Tidak. Itu bukan tempat untuk permaisuri.”

Elara menatapnya tajam.

“Kau pikir mereka akan bicara jujur kalau aku tidak di sana? Mereka membenciku. Dan justru karena itu, aku bisa tahu siapa yang benar-benar berbohong.”

Kaelith menahan kata-katanya, lalu akhirnya berkata,

“Baik. Tapi satu syarat jangan bertindak sebelum aku memberi isyarat.”

“Tergantung,” jawab Elara sambil berjalan pergi. “Kadang kesempatan tidak datang dua kali.”

Kaisar menatap punggungnya yang menjauh, dan entah kenapa, untuk pertama kalinya ia merasakan sesuatu yang aneh bukan sekadar kagum atau cemas… tapi ketertarikan yang nyaris menyakitkan.

Di sisi lain istana, Kaen sedang berada di ruang bawah tanah.

Ia melemparkan secarik kertas yang diambil dari saku Kepala Logistik semalam. Di atasnya tertulis lambang kerajaan utara dua pedang bersilang di bawah bintang merah.

“Kerajaan Utara…” gumamnya pelan. “Kenapa mereka mencampuri urusan ini?”

Ia memandang ke arah tahanan yang sudah diikat dan dijaga dua prajurit.

“Bangunkan dia,” perintah Kaen.

Beberapa detik kemudian, pria itu sadar dengan kepala berdarah.

Kaen menatapnya tajam.

“Siapa yang memberi perintah? Siapa yang mengatur pemberontakan ini?”

Tahanan itu tersenyum samar, meski darah menetes dari bibirnya.

“Kau tidak akan percaya padaku.”

“Coba saja,” Kaen membalas dingin.

“Mereka bukan hanya dari Utara,” kata tahanan itu pelan. “Ada yang lebih tinggi… seseorang di dalam istana ini sendiri.”

Kaen memicingkan mata.

“Maksudmu, bangsawan?”

“Lebih tinggi dari bangsawan.”

“Seseorang yang tidur di bawah atap yang sama dengan kaisar.”

Kaen menegang. Kata-kata itu seperti racun yang meresap perlahan.

“Siapa?” desaknya.

Tahanan itu hanya tersenyum sebelum pingsan lagi.

Kaen memukul dinding, frustasi.

“Sial.”

Musuh mereka bukan hanya dari luar.

Sore hari.

Aula Agung dipenuhi para bangsawan, pejabat tinggi, dan kepala istana. Suasana tegang tidak ada musik, tidak ada senyum.

Elara masuk dengan langkah tenang. Semua mata langsung tertuju padanya.

Bisikan-bisikan tajam menyebar seperti racun di udara.

“Permaisuri datang juga…”

“Dia yang menyebabkan semua ini…”

“Kaisar pasti sudah kehilangan akal kalau membiarkan dia duduk di sana.”

Elara tidak peduli. Ia duduk di sisi kanan Kaelith, menatap ruangan tanpa ekspresi.

Kaen berdiri di belakang, matanya awas memantau setiap gerakan.

Kaelith mengangkat tangannya, membuat ruangan langsung sunyi.

“Semalam, ada serangan di Istana Timur. Kepala Logistik berkhianat. Dan aku ingin tahu siapa lagi yang terlibat.”

Satu per satu nama disebut, satu per satu wajah menegang.

Elara hanya diam, memperhatikan bahasa tubuh mereka siapa yang terlalu cepat menunduk, siapa yang terlalu sering menyeka keringat.

Ketika nama Kepala Istana Utama disebut, Elara mencondongkan tubuh sedikit.

Pria itu menatapnya dengan senyum dingin.

“Yang Mulia, Permaisuri tidak seharusnya ikut dalam urusan ini. Dia bukan bagian dari pemerintahan.”

Elara tersenyum kecil.

“Benar, tapi menariknya… Kepala Istana Utama justru yang paling ingin aku tidak di sini. Kenapa?”

Pria itu terdiam, senyumnya memudar.

Kaelith memperhatikan mereka berdua, namun tidak menghentikan Elara.

“Kau terlihat gugup,” lanjut Elara pelan. “Atau mungkin… takut aku tahu sesuatu?”

“Kau menuduh tanpa bukti,” bentak pria itu.

“Oh, bukti?” Elara menatap Kaen sekilas.

Kaen melempar gulungan kain ke tengah ruangan di dalamnya, segel merah dengan lambang kerajaan utara.

Suara bisik-bisik pecah.

Kaelith menatap segel itu, wajahnya berubah dingin.

“Kepala Istana Utama,” katanya perlahan, “apa penjelasanmu?”

Pria itu membuka mulut, tapi tidak ada suara keluar.

Elara hanya menatapnya datar.

“Aku sarankan kau bicara sebelum Kaen melakukannya dengan caranya sendiri.”

Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah pertemuan istana, Kepala Istana Utama berlutut bukan karena kesetiaan, tapi karena ketakutan.

Di malam hari, Elara berdiri di balkon kamarnya, menatap bintang-bintang yang mulai muncul setelah badai besar berlalu.

Kaelith datang tanpa suara, berhenti di sampingnya.

“Kau tahu, aku seharusnya marah karena kau bertindak tanpa izin.”

Elara menatapnya sekilas.

“Tapi kau tidak marah.”

“Tidak,” kata Kaelith pelan. “Aku malah lega.”

Ia menatap Elara dalam-dalam, cahaya bulan memantulkan kilatan lembut di matanya.

“Kau api, Elara. Dan aku… sudah terlalu lama hidup dalam kegelapan.”

Elara terdiam.

“Kalau begitu,” katanya pelan, “jangan dekati api terlalu lama, Kaisar. Kau bisa terbakar.”

Kaelith tersenyum samar.

“Mungkin aku tidak keberatan.”

Angin malam berhembus, membawa aroma hujan dan ketegangan yang belum benar-benar padam.

Dan di suatu tempat, jauh di utara, seorang pangeran menatap peta kerajaan sambil tersenyum dingin.

“Mulai bergerak,” katanya pada bawahannya. “Waktunya membuat mereka menyesal tidak mati semalam.”

1
Murni Dewita
👣
Senja Bulan
Ada urusan 🙏
Siti
knp thor masa gk update seminggu🤔
Siti
Kapan update nya.....🙏
Siti
Aku suka ceritanya,jarang loh seorang wanita petinju masuk dunia novel. Apalagi aku suka karakter wanita badas .
Senja Bulan: terimakasih sudah komen kk🙏
total 1 replies
Dzakwan Dzakwan
Gak sabar nih thor, gimana kelanjutan cerita nya? Update yuk sekarang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!