menceritakan kisah cinta antara seorang santriwati dengan seorang Gus yang berawal dari permusuhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riyaya Ntaap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jahil
**
" Maaaaaa, diva buatin jus buat mama. " Diva berlarian kecil, menghampiri sang mama yang baru saja kembali dari toko butiknya.
Diva tampak tersenyum lebar, dengan kedua tangan yang sibuk memegang gelas jus. Nadira sedikit terkejut dengan tingkah laku putrinya yang tiba tiba saja berinisiatif membuatkannya jus, padahal selama ini justru diva lah yang meminta untuk dibuatkan jus olehnya.
" Dalam rangka apa ini? " Nadira tidak langsung meminum jus tersebut. Ia hanya mengambil alih jus itu dari tangan diva.
Diva menggaruk tengkuknya, merasa canggung dan bingung harus memberikan jawaban apa pada mamanya. Tidak mungkin ia menjawab dengan jujur.
" Dalam rangka diva minta mama buatin gaun yang bagusss banget buat diva. Harus bener bener bagus, dan hanya diva yang punya di dunia ini. " Ucapnya setelah menemukan alasan yang tepat.
Karena perkataan diva, Nadira baru ingat bahwa ada hal yang perlu ia bahas dengan diva mengenai sebuah gaun.
Nadira menarik tangan diva dengan sebelah tangannya, sedangkan tangan satunya lagi memegang jus buatan diva. Mereka berjalan menuju sofa, begitu sampai, Nadira langsung meminta diva untuk duduk.
Diva pun menuruti perintah sang mama, dengan rasa bingungnya. Walaupun ia penasaran dengan perbuatan mama nya saat ini, diva tetap enggan bertanya.
Nadira pun ikut duduk di sofa, namun ia memilih di sofa lain yang bersebrangan langsung dengan diva, mereka hanya di batasi oleh sebuah meja saja.
Nadira meletakkan jus yang ia pegang tadi di meja, ia tampak menarik nafasnya dalam dalam sebelum berbicara, membahas hal yang begitu serius dengan diva.
" Mama kenapa sih? " Melihat Nadira yang tampak begitu aneh, diva pun akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
Alisnya tampak bertaut bingung, menantikan jawaban dari sang mama untuk pertanyaan yang ia berikan sebelumnya.
" Kamu..... Sama lingga udah beneran berakhir? "
Kening diva yang sebelumnya berkerut, kini tampak biasa saja. Raut wajahnya sudah lebih rileks, karena sudah tau apa yang di pikirkan mamanya. Ia pikir mama nya entah akan membahas hal apa yang begitu penting namun tidak diva sukai.
Diva menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, tangannya bergerak mengambil satu bantal sofa dan meletakkannya di antara dua kakinya yang ia lipat di sofa, dalam artian lain duduk bersila.
" Alah ma, ma. Diva pikir mama mau buat gebrakan baru lagi buat diva. Sama kayak waktu mama mau masukin diva ke pondok pesantren. "
Nadira tersenyum kikuk, refleks ia menenggak jus pemberian diva sebelumnya. Begitu jus itu mengalir melewati tenggorokan dan tertelan olehnya, Nadira langsung menyipitkan matanya, tak tahan dengan rasa jus tersebut yang begitu tidak enak.
Diva tersenyum puas, melihat reaksi mama nya, usai meminum jus buatannya. Tentu saja diva dan Azka membuat jus itu tadi hanya untuk mengerjai mama nya.
" Ini jus apaan? " Tanya Nadira. Raut wajahnya sama sekali tidak bisa menyembunyikan cita rasa dari jus mangga muda buatan diva yang rasanya dominan aneh.
" Jus mangga muda di campur upil dikit. "
" Memang kurang ajar lah ya.... Bisa bisanya ngerjain mama nya sendiri. "
" Kalo ga diva sama bang Azka yang ngerjain mama, siapa lagi coba yang berani ngerjain mama? Makanya mama nikah. Biar tambah personil di keluarga ini yang ngerjain mama. "
Nadira memutar bola matanya dengan malas, sudah tidak pernah lagi terlintas di benaknya untuk menikah lagi. Baginya, menikah hanya sekali seumur hidup. Meskipun pernikahan itu gagal, ia tetap tidak akan menikah lagi.
Justru dengan kegagalan yang pernah ia alami di dalam pernikahan, ia belajar bahwa memiliki pasangan justru membuatnya merasa tidak bisa bergerak bebas.
Dirinya bercerai dengan mantan suaminya dulu bukan karena adanya perselingkuhan, namun karena komunikasi yang rusak di tambah lagi dengan berbagai tuntutan yang harus di patuhi oleh Nadira.
Dalam hal harta, mereka memang tidak pernah kekurangan, karena ayah diva dulu adalah pengusaha yang cukup terkenal. Namun hartanya sudah hangus di pakai untuk melakukan perobatan di berbagai rumah sakit baik itu rumah sakit dalam negri maupun luar negri, walaupun pada akhirnya nyawanya tetap juga tidak bisa di selamatkan.
" Bukan mama yang bakal nikah lagi, tapi kamu. Mama ga mau nikah lagi, tapi kamu bakalan nikah. "
" Idih, apa apaan banget. Lingga noh udah nikah, yakali diva jadi istri kedua, ogah banget. "
" Memangnya mama ada bilang kalau kamu bakal nikah sama lingga? "
" Ya memangnya kalo ga sama lingga sama siapa ma? Lagian mama ada ada aja. Diva masih kelas tiga loh, bisa bisanya udah bahas mau nikahkan diva. "
" Sama Zindan, misalnya. "
" Idihhhh " diva langsung mendengus dengan kasar, wajahnya langsung berubah begitu tidak bersahabat.
" Bisa bisanya mama kepikiran mau nikahkan diva sama Gus Zindan. Mama ini ada ada aja gebrakannya loh ih, gemes banget deh. Dasar janda. "
Nadira memutar bola matanya saat mendengar kalimat akhir yang di lontarkan oleh diva untuk mengejeknya. Nadira memang tidak marah jika ada yang memberinya julukan janda, karena itu memang fakta. Ia tidak malu sama sekali ketika ada yang mengenalnya dengan kata Nadira janda sebelah. Justru ia bangga dengan statusnya itu, karena meskipun ia janda, ia kaya dan memiliki banyak uang.
Sakit hati sedikit, obatnya tinggal menggesek kartu di bank, dan menarik uang dengan nominal yang cukup untuk membungkam mulut orang orang yang mengejeknya, walaupun itu tidak ia lakukan.
" Mama serius, kamu pun jangan bercanda dulu. "
" Aih ma, ga usah yang aneh aneh deh. " Diva mengibas ngibaskan tangannya di udara, menyanggah perkataan gila tak masuk akal mama nya.
" Mama mau ngelamar Gus Zindan buat diva? Kita kan bukan orang Minang ma. Buang buang duit aja. Lagian dari pada ngelamar Gus Zindan buat diva, mending ngelamar Gus Zindan buat mama aja. " Diva menarik sebelah alisnya ke atas.
" Gus Zindan itu lebih cocok diva panggil papa, dari pada mas..... Ooo mas.... " Diva yang memperagakan panggilan mas ketika memanggil Gus Zindan nanti, justru ia sendirian juga yang merasa kegelian, sampai tubuhnya menggelinjang seperti ulat bulu.
" Mana mungkin mama nikah sama Zindan, dia aja seumuran sama abangmu kok. Dia lebih cocok jadi menantu mama dari pada jadi suami mama. "
" Bilang ae mama masih cinta sama papa. Iyakan? Makanya Sampek sekarang mama ga mau nikah lagi setelah cerai dari papa. Mama cerai dari papa cuman buat cari kebebasan aja. Huuuu " diva mengacungkan jari jempolnya, ia mendengus kesal.
Nadira terdiam, karena ucapan diva ia malah jadi melamun, merenung memikirkan kebersamaan nya dengan mantan suaminya.
Melihat mama nya yang diam saja melamun, diva segera bangkit dari duduknya, meninggalkan sang mama sebelum mama nya tersadar dan kembali membahas hal gila dengannya.
**
" Gimana ini bang? Ternyata urusan kita selesai lebih cepat dari perkiraan kakek. Jadi malam ini kita langsung pulang ke pondok pesantren, atau nginap di rumah diva, sampai semingguan? "
Alip menatap Zindan yang sibuk dengan ponselnya di tangan. Akhir akhir ini Zindan memang memiliki kesibukan extra, menjelang acara maulid nabi. Ada banyak kota yang mengundangnya sebagai pengisi acara dengan memberikan ceramah. Makanya Zindan sendiri bingung, apakah ia bisa berbagi waktu atau tidak.
" Malam ini kita menginap dulu, besok pagi kita langsung pulang. Abang perlu bahas sesuatu sama kakek. "
" Bahas soal niat Abang yang mau ngelamar diva? "
Zindan menganggukkan kepalanya. Ia menarik nafas panjang, tatapan matanya tampak kosong sejenak walaupun ada ponsel di tangannya. Ia berharap tidak mengambil keputusan yang salah. Ia lebih ingin membahagiakan umi nya dari pada dirinya sendiri, apalagi sang umi memang jarang meminta sesuatu padanya..