carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Anton langsung pergi dari situ tanpa berkata apa-apa. Setelah masuk ke mobil, Anton meminta sekretarisnya untuk mencari tahu motif dari Fitri yang selalu berusaha dekat dengannya.
> “Coba kamu cari tahu tentang guru anak saya. Saya bingung sama dia. Kenapa dia selalu mencoba dekat dengan saya? Saya sendiri tidak tahu ada apa dengan dia, tapi dia malah berusaha mendekat.”
“Kalau menurut saya, mungkin memang guru anak Bapak suka sama Bapak. Tapi dia tidak mau memberi tahu karena takut Bapak menjauh,” jawab sekretarisnya.
Anton yang mendengar itu merasa terganggu dan tidak bisa berkata apa-apa. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya, sambil berpikir kenapa guru anaknya bisa menyukainya.
Ia merasa pria seperti dirinya tidak layak dicintai siapa pun. Bahkan orang tuanya saja tidak menyukainya. Namun, bagi Anton, dibenci orang lain tidak apa-apa — asal jangan dibenci oleh anaknya sendiri.
Tidak lama kemudian, mama Anton menelepon. Anton bingung, harus menjawab atau tidak. Akhirnya, ia mengangkat telepon itu, karena sudah lama tidak mendengar kabar dari mamanya.
> “Anton…”
“Iya, Ma. Ada apa, Ma?”
Mama yang mendengar suara Anton hanya terdiam, menahan tangis.
> “Ada apa, Ma? Bicara saja kalau Mama mau bicara.”
“Kamu apa kabar, sayang? Mama terharu kamu mau jawab telepon Mama.”
“Baik. Mama sendiri apa kabar? Mama tahu dari mana nomor aku, Ma?”
“Tidak penting Mama tahu dari mana nomor kamu. Baguslah kalau kamu sehat-sehat saja. Mama senang dengarnya.”
Anton tidak ingin memikirkan dari mana mamanya mendapat nomor teleponnya. Mendengar kabar dari mamanya saja sudah cukup membuatnya bahagia.
> “Papa apa kabar, Ma?”
“Papa kamu lagi nggak baik-baik saja. Dia lagi sakit-sakitan, dan Mama juga bingung harus bagaimana menanggungnya.”
Anton yang mendengar itu merasa sedih dan ingin menjumpai kedua orang tuanya, meski mungkin akan ditolak. Setidaknya, ia sudah berusaha menemui mereka. Ditolak orang tua tidak apa-apa, dibanding menyesal di kemudian hari — karena penyesalan tidak akan bisa diulang.
> “Mama tinggal di mana sekarang? Aku mau ketemu Mama sama Papa, kalau boleh.”
“Mama dan Papa sekarang ngontrak, sayang. Rumah kemarin sudah dijual karena Papa kamu sakit. Makanya sekarang kami ngontrak.”
Anton tidak menyangka kalau orang tuanya sedang mengalami kondisi seburuk itu. Ia merasa sangat tidak berguna sebagai anak karena tidak bisa membantu mereka.
> “Maafin Anton ya, Ma, karena nggak berguna buat Mama dan Papa. Mungkin gara-gara melahirkan Anton yang nggak berguna ini, Mama dan Papa jadi nggak bisa bahagia.”
“Kamu nggak boleh bicara begitu, sayang. Mama dan Papa bangga kok sama kamu. Sekarang kamu sudah jadi CEO terkenal di dunia.”
“Makasih, Ma. Mama tahu dari mana kalau aku jadi CEO?”
“Di semua tempat banyak muka kamu. Mama bangga melihat kamu. Ternyata kamu benar-benar anak yang membanggakan, bukan anak yang tidak berguna. Maafkan Mama dan Papa dulu ya, sudah membuang kamu. Mungkin tidak seharusnya dimaafkan, tapi Mama berharap kamu selalu bahagia bersama anak angkat kamu itu.”
Anton mendengar itu dengan hati yang campur aduk. Ia tidak tahu harus menangis atau tidak. Ia merasa bersalah karena dulu tidak bisa menjadi anak yang baik. Seharusnya, saat orang tuanya mengusirnya, ia tetap tinggal dan mendengarkan mereka, bukan malah pergi.
Saat itu, Anton masih kuliah, tapi ia memilih berhenti. Sampai akhirnya, setelah memiliki cukup uang, ia melanjutkan kuliah kembali. Walau telat, tapi semua sudah ia lalui. Anton bersyukur hidupnya kini berkecukupan dan tidak pernah kekurangan, walau dulu sempat dibuang. Ia tidak pernah menyusahkan orang tuanya sedikit pun.
> “Ya sudah, kalau begitu Mama akhiri teleponnya ya. Mama nggak mau ganggu waktu kamu. Anak Mama sekarang sudah sibuk.”
“Nggak apa-apa, Ma. Nggak ganggu kok. Aku malah mau ketemu Mama dan Papa, kalau boleh.”
“Tempat Mama kecil, Nak. Nanti kamu malah menjatuhkan pamor kamu sendiri. Mendingan nggak usah, deh. Mama juga malu kalau kasih tahu kamu alamatnya.”
“Nggak apa-apa, Ma. Mama tetap orang tuaku. Aku nggak peduli seberapa kecil rumah itu, karena buatku, itu rumah terhangat yang Mama miliki sekarang.”
Mamanya yang mendengar itu menangis. Ia sadar, dulu dirinya dan suaminya terlalu tega membuang anak semata wayang. Harusnya mereka bisa berbicara baik-baik, tapi sifat papanya yang keras kepala membuat segalanya berantakan.
Sejak kehilangan Anton, mamanya jadi pelupa. Namun, ia tidak pernah lupa wajah anaknya. Walau Anton tidak pernah berkunjung, Mama selalu mengikuti kabar dan perkembangan anaknya dari jauh. Ia bangga punya anak seperti Anton — anak yang kuat dan tidak banyak mengeluh.
Akhirnya, Mama memberi tahu alamat rumahnya sekarang.
> “Aku akan segera ke sana ya, Ma. Tunggu aku.”
“Oke, Mama tunggu.”
Dalam perjalanan, Anton membawa banyak makanan dan minuman untuk orang tuanya. Sesampainya di depan rumah, ia tertegun. Rumah besar yang dulu mereka miliki kini berubah menjadi rumah kecil, bahkan tanpa toilet dalam — hanya toilet umum di luar.
Anton mengetuk pintu, berharap itu salah alamat. Tapi begitu pintu terbuka, air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Mamanya langsung memeluk Anton erat, seperti sudah menahan rindu bertahun-tahun.
> “Mama apa kabar?”
“Baik, sayang. Kamu sendiri apa kabar?”
“Aku baik-baik saja, Ma. Ini aku bawa makanan kecil untuk Mama dan Papa.”
Mama mempersilakan Anton masuk, walau merasa tidak enak karena rumahnya sempit dan sederhana.
> “Mama udah berapa lama tinggal di sini?”
“Sekitar dua tahun.”
Anton terdiam. Ia menghampiri papanya yang terbaring lemah di tempat tidur. Air matanya nyaris jatuh, tapi ia tahan. Ia berharap papanya bisa sembuh agar bisa menemani Mama sampai tua.
Mamanya berusaha tegar, meski merasa bersalah. Ia tahu dulu pernah membuang anaknya, lalu sekarang justru membutuhkan anak itu. Tapi rasa rindunya lebih besar dari rasa malu.
Melihat anaknya berdiri di depannya, Mama merasa seperti mimpi. Apalagi Anton kini sudah dikenal banyak orang, wajahnya terpampang di berbagai tempat.
> “Kamu sudah dewasa ya sekarang. Bagaimana dengan calon istri kamu? Kamu sudah punya?”
“Aku belum, Ma. Aku masih fokus kerja. Aku nggak berpikir untuk mencari istri dulu.”
“Kenapa begitu? Kamu tampan. Emangnya nggak ada wanita yang mencintai kamu seutuhnya, seperti kamu mencintai anak kamu itu?”
Anton terdiam. Ia tahu, Mama lebih memahami dirinya daripada siapa pun.
> “Dia sudah besar sekarang, Ma. Sudah SMA. Aku benar-benar menganggap dia seperti anak kandungku sendiri.”
“Baguslah. Mama senang dengarnya. Kamu sekarang lebih dewasa. Mama malu... Mama yang melahirkan kamu sembilan bulan, tapi gagal jadi orang tua yang baik. Maafin Mama, ya, Nak. Mungkin Mama bukan orang yang baik, apalagi Papa kamu. Tapi Mama selalu berharap yang terbaik buat kamu. Semoga nanti kamu dapat pasangan yang baik. Jangan seperti Mama, ya — yang dulu tidak bisa mempertahankan anak satu-satunya sendiri.”