 
                            Senja merasa menderita dengan pernikahan yang terpaksa ia jalani bersama seorang CEO bernama Arsaka Bumantara.  Pria yang menikahinya itu selalu membuatnya merasa terhina, hingga kehilangan kepercayaan diri. Namun sebuah kejadian membuat dunia berbalik seratus delapan puluh derajat.  Bagaimana kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meylani Putri Putti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23
Senja duduk perlahan di kursinya, sementara Saka menuangkan sop ke mangkuknya dengan gerakan kaku tapi hati-hati.
Suasana meja makan terasa sunyi, hanya suara sendok beradu pelan dengan piring yang terdengar di antara mereka.
Mereka makan tanpa banyak bicara.
Sesekali Senja mencuri pandang, memperhatikan wajah suaminya yang tampak lebih tenang malam ini, meski sorot matanya tetap sulit ditebak.
“Masakanmu enak,” ucap Senja akhirnya, memecah keheningan. “Aku nggak nyangka kamu bisa masak seenak ini. Aku aja kalah jauh.”
Saka menatap sekilas lalu mengalihkan pandang ke piring. “Aku beli,” jawabnya singkat.
“Oh gitu.” Senja mengangguk sambil tersenyum tipis, berusaha mencairkan suasana.
Saka mendongak sedikit, memicingkan mata. “Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu.”
Senja mengernyit, matanya antusias. “Apa?”
“Minggu depan, Riko menikah.”
“Aku udah tahu,” sahut Senja cepat.
Saka menatapnya tajam. “Kau tahu dari mana? Mama yang kasih tahu?”
“Ah nggak. Aku tahu karena mereka cetak undangan dan souvenir di tempat kerjaku.”
“Tempat kerjamu ada percetakan?”
Senja memutar bola matanya. “Ada. Suaminya Tante Rere punya percetakan, rukonya di sebelah salon.”
“Gak penting!” celetuk Saka ketus.
Senja menunduk, bibirnya menekuk. “Yang nanya kamu, lho! Aku kan cuma jawab.”
“Sudahlah,” potong Saka cepat. “Kembali ke intinya. Nanti di pernikahan Riko, kamu harus bersikap baik.”
“Baik?” Senja menaikkan alisnya. “Baik yang seperti apa?”
“Jaga attitude kamu. Bersikaplah layaknya keluarga Atmajaya.”
Senja terkekeh kecil. “Kalau aku gak bisa?” tanyanya enteng.
“Ya harus bisa!” bentak Saka spontan.
Senja terlonjak kaget. “Apaan sih, Mas! Bisa nggak ngomongnya santai aja?” gerutunya, menyuap nasi dengan wajah kesal.
“Yang bikin aku nggak bisa santai itu kamu!” balas Saka dengan nada meninggi. “Pokoknya kamu harus ikut perkataanku. Perilakumu bisa memengaruhi penilaian orang terhadapku!”
Senja mengangkat wajahnya, menatap Saka dengan pandangan getir. “Kenapa harus aku? Kenapa nggak pacar kamu aja yang kamu ajak?” suaranya terdengar dingin tapi menusuk.
Saka menarik napas panjang, menahan kesal. “Seandainya saja semua aset Oma sudah atas namaku, aku gak akan butuh kamu!”
Kata-kata itu menampar Senja begitu keras.
Matanya terbelalak, namun ia berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Bibirnya bergetar, tapi ia tersenyum miris.
“Oh… jadi kamu masih pertahankan aku cuma karena warisan Oma belum jatuh ke tanganmu?” suaranya bergetar tipis. Tangannya menggenggam sendok erat, berusaha menahan perih yang tiba-tiba mengoyak.
“Iya,” jawab Saka tanpa ragu. “Sekarang aku memang pemimpin perusahaan, menggantikan Papa. Tapi semua aset belum sepenuhnya jadi milikku. Karena itu aku butuh penilaian baik dari keluarga. Setelah itu, terserah kamu mau jadi apa. Aku gak peduli.”
Saka bersandar santai di kursinya. “Untuk itu, aku mau kamu tunda dulu karirmu. Aku akan bayar kamu lima puluh juta per dua minggu.”
Senja terdiam. Dunia seolah berhenti sejenak.
Ucapannya terdengar ringan di telinga, tapi menusuk jantung.
“Jadi dia cuma mau manfaatin aku…” batinnya getir.
“Bagaimana?” Saka menggebrak meja, membuat piring bergetar. “Mau, kan?”
Senja tersentak dari lamunannya. Ia menarik napas panjang, mencoba menegakkan kepala meski hatinya remuk.
“Demi kamu, apa sih yang nggak, Mas,” ujarnya sambil tersenyum palsu.
Saka tersenyum puas. “Bagus. Besok aku transfer uangnya.”
Senja menunduk, menatap makanannya yang sudah dingin. Senyum di wajahnya perlahan tertarik.
Setelah Saka selesai makan, ia berdiri tanpa banyak bicara. Kursi bergeser menimbulkan suara seret yang memecah keheningan. Kemudian berjalan menuju kamar tanpa menoleh.
Senja hanya menatap punggungnya hingga menghilang di balik pintu.
Suara pintu kamar tertutup pelan, tapi bagi Senja terdengar seperti sebuah garis pemisah,antara cinta yang dulu diimpikan, dan kenyataan pahit yang kini ia jalani.
Ia menatap meja makan yang masih berantakan. Sop sudah dingin, minyak dari udang dan ayam mulai membeku di permukaan. Dengan gerakan lambat, Senja membereskan satu per satu piring itu.
Tapi di tengah aktivitasnya, air matanya menetes begitu saja.
Tanpa suara, tanpa isak, hanya butiran bening yang jatuh ke piring, bercampur dengan sisa kuah sop.
“Kamu terlalu geer, Senja. Semua yang dia lakukan itu untuk dirinya, Saka gak berubah sedikitpun, kamu harus sadar itu,” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Tangannya gemetar saat mencuci piring. Bayangan wajah Saka terus muncul di pikirannya, ucapannya tadi berulang-ulang memantul di kepala seperti gema yang menyakitkan.
“Seandainya semua aset Oma sudah atas namaku, aku gak akan butuh kamu.”
Kalimat itu terasa lebih tajam dari pisau.
Ia tersenyum miris di antara isak yang tertahan. “Ternyata segitu murahnya aku di matamu, ya…”
Setelah dapur bersih, Senja kembali ke kamar bersandar pada pintu. Tiba-tiba terdengar suara panggilan dari handphonenya. Sontak pandangan tertuju pada handphone yang ada di atas nakas. Benda pipih itu tampak menyala, memaksanya untuk beranjak.
Sesampainya di sana, sering handphone mati. Namun itu hanya sesaat, setelah Senja hendak mengecek siapa yang memanggilnya.
Nama Zein tertera di layar. Jantung Senja berdegup kencang, ia ragu menyambut telpon itu, tapi juga penasaran dengan apa yang akan duda itu bicarakan padanya.
“Halo assalamualaikum.” Akhirnya ia memilih menyambut telepon tersebut
“Waalaikum salam, Senja kamu dimana?*
“Aku dirumah, Mas,” Jawabnya spontan. “Oh ya, ada apa ya, Mas?”
“Ah… gak ada yang penting sih, cuma aku mau bilang kamu cantik sekali di foto tadi siang.”
Bola mata Senja melebar, jantungnya berdebar tak karuan. Andai saja sanjungan itu datang dari suaminya, sudah pasti dia pasti sangat bahagia.
Zein melanjutkan tanpa menunggu reaksi Senja. “Tadi saat di supermarket aku mau bicara banyak sama kamu, tapi karena ada temanmu, aku jadi gak enak.”
Senja tersenyum canggung, handphone di tepi telinganya ikut bergetar halus. “Oh gitu ya, Mas. Ngomong ngomong, mas mau bicara apa?” tanyanya sambil berdebar debar.
“Ehmm, perusahaan ku mau launching produk terbaru, rencananya tim marketing akan membuat iklan videonya, dan jika kamu berkenan, kamu mau gak jadi model bintang iklannya?”
Seketika mata Senja terbelalak mendengar tawaran itu.
ku rasa jauh di banding kan senja
paling jg bobrok Kaya sampah
lah ini suami gemblung dulu nyuruh dekat sekarang malah kepanasan pakai ngecam pula
pls Thor bikin dia yg mati kutu Ding jangan senja
tapi jarang sih yg kaya gitu banyaknya gampang luluh cuma bilang i love you