Arshaka Beyazid Aksara, pemuda taat agama yang harus merelakan hatinya melepas Ning Nadheera Adzillatul Ilma, cinta pertamanya, calon istrinya, putri pimpinan pondok pesantren tempat ia menimba ilmu. Mengikhlaskan hati untuk menerima takdir yang digariskan olehNya. Berkali-kali merestock kesabaran yang luar biasa untuk mendidik Sandra, istri nakalnya tersebut yang kerap kali meminta cerai.
Prinsipnya yang berdiri tegak bahwa pernikahan adalah hal yang sakral, sekeras Sandra meminta cerai, sekeras dia mempertahankan pernikahannya.
Namun bagaimana jika Sandra sengaja menyeleweng dengan lelaki lain hanya untuk bercerai dengan Arshaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Flou, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KAU TULI?
[Assalamualaikum, Kak Arshaka. Abah dan Umi menanyakan kabar Antum. Akhir pekan nanti bisa datang ke As-Shobirin jika tidak sibuk? Ada sesuatu yang ingin mereka diskusikan dengan Antum.]
Begitulah pesan yang tak sengaja Sandra baca dari pop up ponsel Arshaka. Sandra terdiam membaca pesan dari kontak bernama 'Ning Nadheera' tersebut.
Ia menoleh ke arah kamar mandi, Arshaka sedang bersemedi di sana. Nekat, Sandra buka pesan tersebut dan membaca story chat keduanya. Bukan chat pribadi, melainkan chat grup.
“Mereka punya hubungan kah?” Dahinya mengernyit samar.
“Tidak sopan!”
Ia terkejut ketika ponsel Arshaka di tangannya melayang, si pemilik benda tersebut keluar dari kamar mandi tanpa ia tahu dan langsung merebut ponsel miliknya.
“Bisa untuk lebih menjaga sikap?!” Arshaka mendesis tajam.
“Maaf, aku nggak sengaja baca pesan masuk di ponselmu. Lagian punya ponsel tuh di password, jangan los dol gitu aja!”
Perempuan mana ada yang mau disalahkan walau dirinya salah. Bukan kaum hawa namanya jika tidak menyerang balik.
“Tahu diri, tahu tempat dan tau privasi! Jadi perempuan harus memiliki sikap yang membuat lelaki tertarik padamu!” Arshaka meninggalkan Sandra yang mencebikkan bibirnya dan menghentakkan kaki berkali-kali.
Taman adalah tempat yang Arshaka pilih. Terpasang earphone di telinganya. Sembari berjemur ia menghubungi seseorang melalui grup chat. Isinya hanya empat orang, ia, Arvhisa, Nadheera dan Ahmad.
[Arshaka: Assalamualaikum]
[Arshaka: @Ning Nadheera, InsyaaAllah hari libur nanti saya datang ke As-Shobirin memenuhi panggilan Abah dan Umi.]
[Gus Ahmad: Saya juga perlu bicara dengan kamu, Ka.]
[Arshaka: Baik, Gus. Semoga tidak ada halangan apapun.]
Arvhisa menghampiri Arshaka dan duduk di sampingnya dengan wajah cemas. “Gus Ahmad tahu?” tanyanya menggunakan bahasa isyarat.
Arshaka menggelengkan. “Bisa jadi iya bisa jadi tidak. Jangan diambil pusing. Ini urusanku dengan mereka.”
“Tapi Beliau pasti akan marah besar kalau benar-benar tahu hal ini. Tidak mau memberitahu Ayah dan Ibu?”
Menghela napas berat. Arshaka mengusap kepala sang adik sembari melayangkan senyum manis untuk menutupi kegusaran yang melanda jiwa. “Masuk. Siap-siap. Aku antar ke butik,” titahnya.
Arvhi menggelengkan kepala. “Kamu ke kampus dengan Sandra saja, Kak. Aku dengan Kak Arka, sekalian dia ....”
“Aku antar!”
“Baik.” Dia menghela napas pasrah. “Jadi imam yang baik seperti Ayah walau kakak tidak mencintai Sandra. Sebab setelah ijab qobul terucap, kamu menanggung hak dan kewajiban Sandra, pun sebaliknya, Kak. Terima dengan lapang dada, berusaha untuk ikhlas, lakukan semuanya karena Allah, Insya Allah seluruh jalanmu dipermudah olehNya.”
Arshaka menyenggut. “Dimengerti, Sayang. Gih masuk.”
***
“Kalian cuti selama satu pekan. Ayah sudah bicara dengan pihak kampus,” beritahu Narestha pada anak dan menantunya.
“Paman ... eh, A-ayah.” Sandra sontak mengganti panggilannya saat Narestha memicing tajam. “Aku tidak bisa libur. Ada tugas kelompok yang harus presentasi hari ini. Kasian yang lain kalau aku libur. Sebab aku ketua kelompoknya.”
“Aku sudah membicarakan dengan dosen yang mengajar hari ini. Presentasi kelompokmu diundur pekan depan.”
“Tapi, Yah ....” Sandra tidak melanjutkan kalimatnya.
“Tidak ada tapi-tapi!”
“Kak, bantulah aku bicara!” Sandra menyenggol-nyenggol kaki Arshaka yang duduk di sampingnya seraya berbisik pelan.
Arshaka meletakkan sendok dan garpu dari tangannya. Ia meraih tissu lalu mengelap sudut bibirnya sebelum mengambil segelas air yang ada di depannya dan ia tenggak sedikit.
“Baik. Terima kasih, Yah.”
Jawaban Arshaka diluar perkiraan Sandra yang mendelik tak terima. Ia terus menyenggol kaki dan lengan pemuda tersebut, berupaya agar Arshaka menarik ucapannya. Namun apa daya, Arshaka tetaplah Arshaka. Dia tidak akan menarik ucapannya.
Sandra gabut bukan main, pukul sepuluh rumah tersebut terasa sangat sepi. Hanya ada dirinya dan Arshaka juga asisten rumah tangga yang bekerja.
“Nggak ada hp, nggak ada laptop, nggak ada musik India. Haah, hampa hatiku kayak lagu Pasha Ungu!” Sandra melemaskan bahu. Ia merebahkan kepala pada bantal dengan posisi tengkurap di atas lantai dingin. “Aca sama Dita lagi apa ya? Mereka pasti lagi gibah dan nyariin gue.”
“Bangun, siap-siap dan ikut saya!”
Sandra terperanjat kecil ketika Arshaka tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Ia segera mendudukkan tubuh dan menatap pemuda tersebut.
“Kemana? Aku nggak bakal kamu jual kan, Kak?” tudingnya dengan mata memicing.
“Tidak akan laku!” balas Arshaka mempertahankan wajah daftarnya. Kemudian dia mengambil tas kecil, ia lingkarkan di pundak. Gayanya persis seperti mas mas santri. Pakai kemeja, sarung di atas mata kaki dan gelang hitam, hanya kurang kopyah serta sandal selop hitam saja.
“Buruan, Sri! Mau ambil ponsel dan laptop tidak? Saya tau kamu bosan!” ucapnya lagi saat Sandra bergeming.
“S-sri?!” Sandra gemetar mendengar panggilan tersebut. Hatinya tak terima. Buruk sekali nama Sri. Ini salah ibunya yang sengaja menyematkan Sri di tengah namanya padahal nama lahir dia Sandra Febiola.
“Sandra kepanjangan.”
“Namaku bukan Sri!”
“Saya tunggu sepuluh menit!” Abai, Arshaka turun ke bawah.
“Kurang ajar! Dia bener-bener nyebelin!” pekik Sandra melempar bantal ke arah kasur, tetapi benda tersebut melayang tak tepat hingga tidak sengaja menyenggol lampu tidur kristal alhasil benda tersebut jatuh ke lantai dan pecah.
Terbuka kembali daun pintu kamar tersebut begitu terdengar suara gaduh. Tatapan Arshaka kian menajam melihat benda miliknya rusak akibat Sandra yang mematung dengan wajah pucat pasi.
“Apa yang kamu lakukan, Sandra?!” seru Arshaka dengan nada rendah. Sandra meneguk ludah, gemetar tubuhnya melihat kemarahan Arshaka yang tampak lebih menyeramkan daripada di kelas kemarin.
Terkepal telapak tangan Arshaka. Dengan napas memburu ia melangkah lebar, berjongkok dan segera memunguti puing-puing pecahan benda tersebut dengan mata memerah dan berkaca-kaca. Benda itu sangat berharga untuknya.
“K-kak, a-aku minta maaf. Aku nggak sengaja, sungguh,” ucap Sandra memberanikan diri dengan terbata-bata. “Aku nggak bermaksud ....”
“Shut up! Go away!” titah Arshaka namun Sandra justru ikut berjongkok untuk membantu Arshaka.
Arshaka memejamkan mata. Gerakan tangannya yang gemetar itu terhenti. “Pergi Sandra! Pergi sebelum saya marah! Jangan membuat saya khilaf!”
Dia kembali memberi perintah, tetapi Sandra tetap pada tempatnya sebab dia merasa bersalah pada Arshaka. Masih bicara baik Arshaka menyuruh Sandra pergi hingga ia tak lagi bisa menahan diri.
“Saya bilang pergi, Sandra! Kau tuli kah ha?” bentaknya penuh emosi. Matanya menatap nyalang Sandra yang spontan menjauh darinya dengan wajah dan mata merah berkaca-kaca.
Ini novel pertama saya, semoga kalian suka ya. Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, Sayangku🥰