Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.
Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.
Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.
Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.
Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.
Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.
📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.
Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Neraka Dua Atap
“Perkenalkan. Ini Keira, istri saya.”
Suara Leo terdengar tenang, tapi dinginnya menusuk seperti besi beku.
Tatapan para karyawan langsung saling bertukar, seperti gelombang kecil yang beriak diam-diam. Beberapa menyipitkan mata, mencoba menilai; yang lain menahan gumaman tidak percaya di bibir, takut suara mereka terdengar.
“Tapi kalian tidak perlu sopan atau menganggap dia istimewa hanya karena status itu.”
Nada Leo datar, namun tiap kata meluncur seperti cambuk yang menghantam kulit.
“Perlakukan saja dia seperti OB lainnya.”
Seketika ruangan membeku. Bahkan suara pendingin ruangan terdengar terlalu jelas.
Semua mata menatap Keira. Ada yang penuh iba, ada yang menilai, tapi sebagian besar dingin—seolah Keira hanyalah sampah yang kebetulan masih bernapas.
“Ini hukuman…” Leo menambahkan pelan, nyaris seperti bisikan maut yang justru lebih menakutkan daripada teriakan. “Untuk seorang istri yang berselingkuh di belakang suaminya sendiri.”
Hening. Hening yang memekakkan telinga.
Seorang OB senior, perempuan setengah baya dengan wajah penuh kerutan, mendekat pelan. Tangannya menyentuh siku Keira, memberi isyarat untuk keluar dari ruangan. Sentuhan itu ringan, tapi terasa seperti tarikan yang memaksa.
Namun Kayla tidak langsung melangkah. Tubuhnya kaku, punggungnya sedikit membungkuk. Kepalanya menunduk seperti mayat yang dipaksa berdiri.
Lalu perlahan, dia menoleh.
Di sudut ruangan, berdiri sosok yang membuat dadanya langsung menggigil.
Revan.
Mata Revan membelalak, bibirnya sedikit terbuka tanpa suara. Wajahnya penuh tanda tanya—dan di baliknya, ada luka lama yang seakan tersayat kembali.
"Keira?"
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
Setelah keluar dari rumah sakit, Revan mencarinya. Tapi Keira menghilang tanpa jejak. Kamar yang dulu ditempati Keira kosong, terlalu rapi, terlalu sunyi—seakan Keira tak pernah ada di sana. Sekarang, wanita itu berdiri di depannya… berseragam abu kusam, sepatu kotor, wajahnya tak sanggup menatap siapa pun.
OB senior itu menarik Keira keluar.
Sementara Revan berdiri mematung. Seperti arwah yang tak pernah dimakamkan.
—
Revan baru saja melangkah keluar dari ruangannya ketika matanya kembali menangkap sosok itu di lobi kantor.
Langkahnya terhenti. Napas tercekat.
“Keira?”
Dia melangkah cepat, hampir berlari.
“Gue nggak ngerti,” ucapnya tergesa, nada suaranya campuran gugup dan bingung. “Kenapa lo bisa ada di sini? Kenapa lo kerja di kantor Leo? Jadi OB pula…”
Kayla menatapnya sekilas. Bibirnya melengkung tipis, tapi tanpa hangat—senyum yang getir dan penuh luka.
“Ternyata lo masih peduli, ya?”
Kening Revan berkerut. “Ini bukan soal peduli atau nggak… Tapi setelah semua yang terjadi, lo—”
“Setelah lo ngajak gue kerja sama, terus lo sendiri yang mundur cuma gara-gara rumor konyol itu?” potong Kayla, nadanya tajam, seperti pisau yang mengiris tipis-tipis.
Revan spontan meraih lengannya, genggaman itu kencang, seolah takut Keira kembali menghilang.
“Kei, waktu itu kita sepakat buat jaga jarak dulu. Tapi gue nggak pernah bilang kita batal kerja sama.” Napasnya terdengar berat. “Gue… masih di rumah sakit setelah kejadian itu. Begitu gue keluar, lo udah nggak ada di rumah.”
Tatapan Kayla kosong. Matanya redup, seperti lampu yang hampir padam.
“Lo pengin tahu kenapa gue bisa berakhir di sini? Di kantor Leo? Jadi OB yang tiap hari disuruh pel sama anak buahnya sendiri? Lo pengin tahu gue ke mana selama ini?” Dia melangkah setengah maju, wajahnya nyaris menempel dengan wajah Revan. Ucapannya seperti racun yang mengalir perlahan. “Gue hampir mati, Van. Gue dikurung Leo di gudang bawah tanah. Hari-hari gue isinya cuma gelap, dingin, dan bau besi karatan.”
Revan terpaku. Bibirnya bergetar, tapi tak ada kata keluar.
“Sekarang lo puas?” bisik Kayla. “Udah cukup rasa ingin tahu lo?”
“Gue nggak tahu… Gue—”
“Lo datang, ngajak gue kerja sama, lalu mundur karena takut omongan orang.” Suaranya serak, tapi mantap. “Padahal gue udah pasrah kehilangan segalanya waktu itu. Tapi lo… malah mundur.”
“Kei, gue serius. Gue masih pengin bantu lo menjatuhkan Leo. Gue masih mau kerja sama sama lo. Tapi—”
“Cukup, Van.” Kayla menepis tangannya dari genggaman Revan. Gerakan itu tegas, seperti memutus tali yang sudah usang. “Gue nggak bisa lagi percaya sama lo. Sekali cukup.”
Tanpa menoleh lagi, Kayla melangkah pergi. Sepatunya berdecit di lantai lobi yang mengkilap.
Revan tetap berdiri di sana—diam, kaku, matanya mengikuti punggung Kayla yang menjauh. Luka di wajahnya jelas, tapi Kayla sudah terlalu remuk untuk peduli.
$$$$
Kayla pikir, dengan jadi OB di kantor Leo, ia bisa sedikit bernapas dari neraka rumah tangganya. Setidaknya, ada dinding yang memisahkan antara rumah dan dirinya.
Tapi ternyata… neraka itu ikut masuk ke kantor—dengan bentuk yang berbeda, tapi rasa yang sama.
Setiap pagi, sebelum jarum jam menunjuk angka sembilan, yang terdengar bukan sapaan ramah, melainkan bisik-bisik yang menusuk telinga.
“Itu tuh… yang katanya selingkuh sama Revan, karyawan magang di sini…” Suara seorang staf perempuan di dekat mesin kopi terdengar seperti bisikan, tapi sengaja dibuat cukup keras. Tangannya sibuk mengaduk cappuccino, tapi matanya melirik ke arah Kayla.
“Kasihan Pak Leo, istrinya nggak tahu diri banget.” Seorang pria di sebelahnya meneguk kopi sambil geleng-geleng kepala. Bibirnya tersenyum miring, bukan karena lucu, tapi puas.
“Padahal nggak cantik-cantik amat, tapi semua diembat,” sambung yang lain, menyandarkan tubuh ke meja pantry, nada suaranya penuh sindir.
“Dan sekarang mereka malah kerja di satu tempat, mesranya terang-terangan lagi,” gumam seorang sekretaris sambil menekan layar ponselnya. Jarinya lincah mengetik, entah menyebarkan apa.
“Kayaknya istri Pak Leo emang nggak punya malu,” kata suara lain dari arah lorong. Ada yang pura-pura menutup mulut dengan map, tapi matanya menyipit penuh penilaian.
“Gue kasian banget sama Pak Leo… orang sebaik itu bisa-bisanya dapet istri kayak gitu.”
Seolah semua orang sudah sepakat: Keira adalah bahan gosip yang sah untuk dikuliti kapan saja.
Beberapa staf sengaja menumpahkan kopi panas di lantai yang baru saja Kayla pel. Cairan kecokelatan itu mengalir pelan di ubin, meninggalkan noda yang harus ia bersihkan lagi. Ada juga yang menyuruhnya bolak-balik mengangkat tumpukan berkas tebal dari lantai tiga ke lantai satu, padahal jelas bukan tugasnya.
Kayla hanya diam. Tubuhnya bergerak seperti mesin—memeras pel, mengangkat berkas, menunduk saat melewati orang. Senyum tipis selalu tersungging di bibirnya, meski matanya tak pernah ikut tersenyum.
Bukan karena lemah.
Tapi karena ia sedang menahan sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Sesuatu yang, kalau dibiarkan keluar, akan meledakkan segalanya.
___
Sampai siang itu.
Kayla baru saja selesai menyapu dan mengepel lantai lobi. Pekerjaan terakhirnya sebelum pulang.
Keringat masih mengalir di pelipis, menyusup ke leher. Lengan bajunya basah, menyerap air kotor dari kain pel yang ia peras berulang kali. Telapak tangannya perih, tapi ia tetap menggerakkan pel dengan ritme teratur.
Dua karyawan laki-laki melintas. Tawa mereka pecah, terlalu keras untuk ukuran jarak sedekat itu.
“Yah, OB kita lagi rajin, Bro,” ujar salah satu sambil pura-pura terpeleset. Ia memainkan keseimbangan tubuhnya berlebihan, membuat langkahnya terdengar keras di lantai yang baru saja mengilap.
Plek!
Bungkus makanan jatuh ke lantai, tepat di jalur pel Kayla.
Temannya menyusul, menggenggam botol minum plastik. Dengan senyum menyeringai, ia memiringkan botolnya—sisa air dingin menyiram kaki Kayla. Rasa dingin merembes cepat ke dalam sepatunya.
Darah Kayla mendidih. Ia menggenggam gagang pel begitu kencang hingga buku-buku jarinya memutih. Tapi bibirnya masih rapat.
“YAAAA!! SIALAN…!”
Suara Keira—nama yang kini melekat di telinga semua orang—menggelegar di lobi. Tatapannya menusuk, seperti bilah tipis yang siap menebas.
Keramaian mendadak terhenti. Semua kepala menoleh, menunggu apa yang akan terjadi.
Dua pria itu justru tertawa lebih keras, seakan menemukan panggungnya.
“Ambil lagi nggak?” suara Kayla pelan, tapi dingin, berat, dan berlapis ancaman.
“Yee, kan kerjaan lo, Bu OB. Bersihin dong,” jawab yang satu lagi, nada suaranya dibuat santai, tapi tatapan matanya merendahkan.
Kayla maju satu langkah. Tangannya hinggap di bahu si pria, menekan cukup keras untuk membuatnya berhenti tersenyum.
“Gue OB,” katanya, menahan tiap kata seolah ingin menelannya kembali. “Tapi bukan pembantu pribadi lo. Bukan budak yang bisa seenaknya lo perintah dan injak-injak. Bersihkan. Sekarang.”
Pria itu mendelik. “Jangan sok galak, deh! OB ya OB aja, jangan belagu!”
Lalu keluar kalimat yang membekukan udara di sekitarnya.
“Lagian… Pak Leo juga udah bilang kita bebas memperlakukan lo kayak apa aja. Lo itu cuma istri yang selingkuh. Dikasih hukuman, bukan simpati.”
Tawa mereka pecah.
Kayla merasa napasnya sesak, bukan karena malu, tapi karena amarah yang mengalir deras ke ujung jemarinya.
Tapi pria itu belum selesai.
“Kenapa? Mau nonjok gue? Atau… mau jadikan gue selingkuhan kedua lo? Di hotel mana? Gue yang bayar, tenang aja!”
Itu—adalah batas.
Kayla sudah menurunkan pusat gravitasinya, kuda-kuda siap, tumit sedikit terangkat untuk melesat. Tangannya mulai bergerak…
BUG!
Pukulan mendarat di wajah pria itu. Tubuhnya terpelanting, membentur lantai, botol airnya menggelinding hingga ke ujung lobi.
Revan.
Berdiri dengan napas terengah, bahunya naik-turun. Matanya penuh bara yang menyalak langsung ke arah pria itu.
“Ini tempat kerja, bajingan. Lo harusnya jaga sikap,” ucapnya, suaranya rendah tapi bergemuruh.
Pria itu mengusap darah di bibirnya, matanya menyipit, lalu bangkit. “Kenapa? Cemburu selingkuhan lo mau gue embat? Lo cuma anak magang, jangan sok-sokan!”
Ia meludah ke lantai, tepat di dekat kaki Revan. “Dan jangan belagu karena udah tidur sama istri bos. Nggak berarti lo punya kuasa di sini. Bentar lagi lo juga out!”
Revan mendengus. Tawa kecilnya pelan tapi menyeramkan, seperti bunyi ranting patah di tengah hutan malam.
Dia maju. Langkahnya mantap, jarak wajahnya dengan lawan tinggal sejengkal. Tatapannya—tajam, dingin, dan berbahaya—menyapu wajah si pria.
“Lo nantang gue?” tanyanya datar. “Mau taruhan siapa yang bakal dikeluarin dari kantor ini duluan?”
Telunjuknya menekan dada si pria. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tiap tekanan memaksa lawannya mundur setapak demi setapak.
“Gue bukan sekadar magang, bro. Dan lo… terlalu kecil buat ngerti siapa yang lo ajak ribut.”
Keheningan yang tersisa bukanlah hening biasa, tapi hening yang menekan, membuat napas orang-orang di sekitar terasa lebih berat.
Pria itu melirik sekeliling, menyadari semua mata mengawasinya. Ia akhirnya menggerutu pelan, lalu pergi sambil melayangkan tatapan tajam terakhir ke arah Keira.
Lobi kembali dipenuhi bisik-bisik. Satu lagi bab dari drama Keira—yang di kantor ini, tak pernah benar-benar usai.
Revan memutar tubuhnya, menatap kerumunan.
“Apa?! BUBAR!”
Suaranya memantul di dinding kaca, membuat orang-orang tercekat lalu cepat-cepat berbalik, pura-pura kembali ke pekerjaan masing-masing.
Kayla berdiri kaku. Napasnya berat, bahunya naik-turun seolah baru saja menahan hujan amarah yang ingin tumpah. Jemarinya masih sedikit bergetar, menggenggam gagang pel yang kini hanya jadi penopang tubuhnya. Matanya basah, tapi tatapannya tetap tajam—seperti baja yang dipoles air mata.
Revan melangkah pelan mendekat. Sepatunya memecah keheningan lantai lobi. “Lo oke?” suaranya rendah, hati-hati, seperti sedang mengulurkan tangan di tengah kaca pecah.
Kayla hanya mengangguk pelan. Ia menarik napas dalam, menahan getar suara.
“Seharusnya gue udah kebal,” ucapnya lirih, bibirnya nyaris bergetar. “Tapi tetap aja… rasanya nggak adil.”
Revan menatap wajah Keira lama-lama. Ada bara dan kesedihan di matanya. “Lo nggak sendiri, Kei.”
Kayla menoleh cepat. Sorot matanya berubah—panas, penuh tusukan. “Tapi gue nggak pernah ngerasa berdua di sini.” Nadanya dingin, datar, tapi mengandung luka yang dalam. “Jadi nggak usah sok deket. Sok belain gue. Kerja sama dan kedekatan kita udah kandas sejak lo usir gue dari rumah sakit.”
Kata-kata itu menghantam seperti batu. Untuk pertama kalinya, Revan terdiam. Rahangnya mengeras. Suara-suara di lobi yang tadinya berbisik mulai menjauh, menyisakan ruang kosong di antara mereka yang terasa sesak.
Hening.
Lalu Revan berkata pelan, nyaris seperti janji yang hanya ingin ia ucapkan pada dirinya sendiri, “Kalau yang kemarin udah kandas… gue bakal bangun ulang. Sampai lo percaya lagi sama gue.”
Kayla mengangkat dagunya sedikit, menahan senyum sinis. “Lo pikir gue taman bermain yang bisa seenaknya lo datangi pas lo mau?” Tatapannya menusuk, bibirnya melengkung tipis tapi penuh sarkas.
“Jangan karena sekarang lo berlagak jadi pahlawan, gue bakal lunak. Nggak, Revan. Gue nggak bakal percaya lo lagi.”
Tatapan itu tajam sekali hingga Revan hampir terlihat mundur setengah langkah.
“Abang sama adik ternyata sama aja,” lanjut Kayla, suaranya getir. “Bedanya… lo masih punya hati. Tapi cuma sedikit. Nggak jauh lebih baik.”
Revan menahan napas sejenak, lalu tersenyum santai. Tapi senyum itu rapuh di ujung matanya. “Sedikit hati itu cukup buat gue ambil simpati lo.”
“Nggak lagi.”
Tegas. Dingin. Seperti pintu yang ditutup dan dikunci rapat.
Kayla memutar tubuh, melangkah pergi dengan punggung tegak. Rambutnya bergoyang ringan di setiap langkah, tapi aura dinginnya tetap tertinggal di udara.
Revan menatap punggung Keira sampai menghilang di sudut lorong. Ia mengangguk pelan, senyumnya kembali muncul—bukan lagi senyum santai, tapi senyum penuh keyakinan yang nyaris menantang takdir.
“Akan ada lagi, Keira,” gumamnya pelan. Suaranya tak lebih dari bisikan, tapi cukup untuk membuat hatinya sendiri berdegup lebih kencang.
____
Di balik layar.
Di ruangannya yang sejuk, aroma kayu manis dari lilin aroma terapi samar memenuhi udara. Hening, hanya suara kipas AC yang berputar pelan di atas kepala.
Leo duduk di kursi kerjanya yang empuk, tubuh sedikit condong ke depan. Tatapannya terpaku pada layar CCTV yang memenuhi separuh monitor. Jari telunjuknya mengetuk dagu pelan, ritmis, seperti sedang menghitung langkah berikutnya.
Wajahnya datar—terlalu datar—namun ada garis tipis di sudut bibir yang menandakan pikirannya sedang bekerja.
“Ternyata semua tekanan ini…” suaranya rendah, nyaris seperti gumaman, “…belum cukup untuk memisahkan mereka.”
Mata Leo menyipit, sorotnya dingin saat bibirnya membentuk satu nama.
“Revan…”
Nama itu meluncur dari mulutnya seperti racun yang ingin diludahi.
Di sebelahnya, Arga—sekretaris pribadinya—berdiri tegap dengan kedua tangan di belakang punggung. Tatapannya lurus, menunggu perintah, meski ada sedikit kilatan ambisi di matanya.
Leo menoleh setengah, sorotnya tajam menusuk. “Menurut kamu, apa yang harus kita lakukan biar dia mengerti… kalau dia bukan siapa-siapa di kantor ini?”
Arga sedikit membungkuk, lalu melangkah setengah maju. Ia menundukkan kepala, berbisik pelan di dekat telinga Leo. Kata demi kata mengalir licin, rapi, seperti jaring laba-laba yang disusun untuk memerangkap mangsanya.
Setiap detil rencana disampaikan tanpa tergesa. Ada nada puas di ujung suaranya, seakan sudah membayangkan hasil akhirnya.
Leo mendengarkan tanpa memotong. Semakin lama, senyumnya mulai merekah—lebar, penuh kemenangan. Matanya menyala, bukan oleh kebahagiaan, tapi oleh rasa puas yang gelap.
“Saya suka… dengan rencana kamu.”
Tangan kirinya meraih mouse di meja, mencengkeramnya erat hingga sendi jarinya menegang. Klik kecil terdengar, namun matanya tak lepas dari layar.
Di sana, Revan tampak berdiri tegap di tengah lobi, sorot mata penuh keberanian.
Leo memiringkan kepala sedikit, senyumnya menipis kembali menjadi garis dingin.
“Dan sebentar lagi… semua itu akan hilang.”
.
.
.
Bersambung.
Makanya jadi suami yang normal-normal aja😂