Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 29.
Daniel duduk di meja yang sudah dipesan, membuka map dan menyiapkan presentasi sederhana untuk klien Jepang yang sebentar lagi datang. Namun dari sudut matanya, ia merasa ada tatapan yang terus menancap ke arahnya.
Naluri lamanya sebagai pengawal membuat tubuhnya sedikit menegang. Ia menoleh sekilas dan saat itu matanya bersibobrok dengan seorang wanita asing di pojok ruangan. Wajahnya memang berbeda, lebih tirus dan matanya lebih dingin. Namun sorot mata itu… sorot mata yang dulu pernah ia jaga dengan segenap jiwanya.
Saat di pesta pernikahan Arsyi dan Rendra, Daniel hanya melihat sepintas karena wanita itu berlalu pergi.
Tapi kini...
Daniel membeku. Raisa?
Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia takut meja di depannya bisa mendengar. Sesaat ia ingin berdiri, berniat menghampiri demi memastikan sendiri. Namun, logika menahannya. Jika itu benar Raisa, maka wanita itu sedang bersembunyi. Dan jika ia gegabah… ia bisa menghancurkan alasan Raisa menghilang.
Daniel menurunkan pandangan, berpura-pura fokus pada map di depannya. Jemarinya sedikit gemetar, tapi wajahnya tetap tenang. Hanya senyum tipis yang tersungging samar, senyum lega sekaligus getir.
“Jadi… kau masih hidup, Raisa.” bisiknya nyaris tak terdengar.
Di sudut ruangan, Raisa panik. Tubuhnya kaku, wajahnya berusaha tetap datar, tapi hatinya kacau.
'Tidak mungkin… Daniel tidak mungkin mengenaliku dengan wajah ini. Mustahil!'
Namun... saat Daniel melirik lagi sekilas, mata mereka bertemu untuk kedua kalinya. Raisa buru-buru menunduk, meraih cangkir kopi di depannya untuk menutupi kegugupannya.
Daniel menutup map, lalu bersandar tenang di kursinya. Dari luar, ia tampak seperti eksekutif biasa yang menunggu klien. Namun dalam pikirannya, perang berkecamuk.
Baiklah, Raisa… kalau kau ingin berpura-pura tak ingin aku kenali, maka aku akan ikut permainanmu. Tapi… aku akan selalu ada di dekatmu, sampai kau sendiri yang mengaku.
Ketika klien Jepang masuk dan menyapanya, Daniel berdiri dengan senyum profesional. Ia mulai berbicara dalam bahasa Inggris fasih, berperilaku seolah-olah tidak ada apapun yang mengganggunya.
Sementara itu, Raisa tak bisa mengalihkan pandangannya. Ia mendengar suara Daniel yang begitu tenang, percaya diri dan penuh wibawa. Berbeda jauh dari sosok pengawal yang selalu ada di sisinya, begitu sederhana.
Kenapa dia bisa jadi sehebat ini sekarang? Batin Raisa namun ada kebanggaan dalam hatinya.
Saat pertemuan berlangsung, Daniel beberapa kali sengaja membelakangi Raisa. Namun sekali waktu, ia menoleh ke kaca yang memantulkan bayangan wanita itu di belakangnya. Ia bisa melihat Raisa masih duduk di sana, berusaha keras tetap terlihat biasa.
Senyum tipis tersungging di wajah Daniel.
Raisa, aku yakin itu... kau. Dan aku akan menunggumu datang padaku dengan keinginanmu sendiri.
Pertemuan berakhir.
Klien pamit, Daniel menoleh ke arah Raisa. Tatapan pria itu hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat Raisa merasakan tusukan dalam di dadanya.
Raisa menggenggam sendok di tangannya erat-erat hingga jemarinya memutih. Nafasnya tersengal, dadanya sesak.
“Daniel… aku mohon, jangan cari aku.” Lirihnya.
Raisa tidak boleh gegabah. Kehadirannya di restoran itu hanyalah kebetulan, tapi bisa menjadi bencana kalau Daniel benar-benar yakin siapa dirinya. Segera ia meraih tasnya dan berdiri, melangkah cepat menuju pintu keluar dengan wajah pura-pura tenang.
Daniel tidak bergerak terburu-buru. Ia tetap duduk di kursi, pura-pura sibuk membuka map hasil rapat. Tapi matanya tak lepas sedikitpun dari arah Raisa yang melangkah keluar. Saat wanita itu menghilang di balik pintu restoran, Daniel berdiri perlahan seakan hanya ke kamar kecil lalu menyusul dengan jarak aman.
Di luar, Raisa mempercepat langkah. Ia menoleh sekilas ke kaca toko di pinggir jalan, tidak ada tanda Daniel mengejarnya. Ia menghela napas lega, namun detik berikutnya instingnya berteriak. Ada bayangan bergerak rapi mengikuti langkahnya dari jauh.
“Daniel…” gumamnya lirih, bibirnya menegang.
Raisa menyingkir ke lorong sempit di antara dua gedung, mencoba memastikan. Begitu ia berhenti, langkah di belakang juga berhenti. Ia menggertakkan gigi, sadar bahwa ia tak bisa terus menghindar.
Sementara itu, Daniel sengaja menjaga jarak. Ia tidak mau Raisa sadar ia sedang dikuntit. Bukan karena ingin memata-matai, tapi karena ia mencium sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari sekadar pertemuan tak sengaja.
Dia masih berusaha memastikan, benarkah itu Raisa? Atau hanya wanita yang mirip?
Raisa berpikir cepat, ia tahu Daniel tidak akan diam jika curiga. Dan kalau Daniel benar-benar yakin, dia pasti akan terseret ke dalam dendam gelap yang sedang ia rancang. Itu tidak boleh terjadi, Daniel tidak boleh ikut hancur bersamanya. Satu kali cukup... Daniel pernah mengobarkan nyawa untuknya.
Maka Raisa mengambil langkah lain. Ia membuka ponselnya, mengetik pesan singkat dengan tangan gemetar.
Pesan itu dikirim ke sebuah nomor tak bernama, hanya kode di kontaknya "S"
[Hentikan pertemuan di restoran, ada orang yang bisa mengenaliku!]
Begitu pesan terkirim, ia memasukkan ponsel ke dalam tas dan menegakkan tubuhnya. Ia harus membuat Daniel menjauh dengan caranya sendiri.
Raisa keluar dari lorong sempit, pura-pura tidak peduli. Namun tatapannya sudah dingin, tegas dan penuh perhitungan. Ia sengaja menuju keramaian, agar Daniel kesulitan mengikutinya terlalu dekat.
Di sisi lain, Daniel justru semakin yakin. Wanita itu adalah Raisa. Tak peduli wajahnya berubah, tak peduli apa yang dia sembunyikan namun mata Raisa tak bisa berbohong.
Ia menghela napas dalam-dalam, lalu berbisik pada dirinya sendiri.
“Kalau kau memang Raisa… aku akan melindungimu, meskipun kau tak menginginkannya.”
Pertarungan sunyi pun dimulai.
Raisa berusaha menjauh agar Daniel tidak ikut tenggelam ke dalam kubangan dendamnya, sementara Daniel justru semakin dalam berusaha memastikan keselamatan wanita itu.
Dua orang yang pernah sehidup semati, kini bergerak di jalur berlawanan. Satu ingin melindungi, satu ingin menjauh.
Raisa tahu, langkah Daniel terlalu rapat. Ia bisa merasakan tatapan itu, seperti dulu ketika Daniel masih jadi pengawal yang selalu ada untuknya.
Ia menahan napas, lalu masuk ke sebuah pusat perbelanjaan yang ramai. Di sana, Raisa bergerak cepat. Menyelinap ke toko kosmetik, mengambil syal dan kacamata dari rak diskon lalu keluar dengan penampilan sedikit berbeda.
Namun itu belum cukup.
Dengan langkah tenang, Raisa menuju eskalator. Ketika naik, ia melirik ke belakang. Daniel mengikuti, tak menoleh ke kanan-kiri. Terlalu berbahaya kalau dibiarkan.
Raisa menunggu momen tepat. Di lantai tiga, ia sengaja menabrak seorang pria bertubuh besar yang sedang membawa kopi. Minuman itu tumpah, orang itu berteriak marah dan keributan kecil pun pecah.
Saat orang itu sibuk menyalahkan Daniel yang kebetulan lewat di belakang, Raisa melesat masuk ke lorong servis karyawan. Ia sudah hafal jalan pintas dan begitu keluar di parkiran belakang, ia langsung masuk ke mobil yang sudah menunggunya disana.
Mesin meraung, mobil melaju pergi.
Dari kejauhan, Raisa menatap kaca spion. Bibirnya tersenyum miris.
“Maaf, Daniel. Kau tidak boleh ikut masuk ke nerakaku... aku tidak mau kau ikut mati.”
Namun jauh di dalam hatinya, ada getar aneh. Entah mengapa ia merasa berat, meninggalkan pria itu begitu saja.
harusss lebih kuatttt
semangat
lanjuuut