Bima Pratama bukan sekadar anak SMK biasa.
Di sekolah, namanya jadi legenda. Satu lawan banyak? Gaspol. Tawuran antar sekolah? Dia yang mimpin. Udah banyak sekolah di wilayahnya yang “jatuh” di tangannya. Semua orang kenal dia sebagai Jawara.
Tapi di rumah… dia bukan siapa-siapa. Buat orang tuanya, Bima cuma anak cowok yang masih suka disuruh ke warung, dan buat adiknya, Nayla, dia cuma kakak yang kadang ngeselin. Gak ada yang tahu sisi gelapnya di jalan.
Hidup Bima berjalan di dua dunia: keras dan penuh darah di luar, hangat dan penuh tawa di dalam rumah.
Sampai akhirnya, dua dunia itu mulai saling mendekat… dan rahasia yang selama ini ia simpan terancam terbongkar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aanirji R., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
War Tanpa Jawara
Ruangan UKS lama mendadak senyap. Andre baru aja ngelempar kabar kalau SMK Kolombus ngajak duel eksekutif, dan semua tatapan langsung mantul ke Dodi.
Raka ngedengus sambil nyandar di kursi reyot.
“Udah jelas lah kita nggak bisa nanggepin, Dod. Bima aja belum nongol. Lagian Garuda juga masih jadi ancaman, salah langkah bisa abis kita.”
Anak-anak lain langsung angguk-angguk. Itu yang paling masuk akal—bertahan, diem, jangan bikin gerakan dulu. Semua ngira Dodi bakal ngomong hal yang sama.
Tapi tiba-tiba, cowok itu malah senyum tipis. Senyum yang bikin satu ruangan tambah tegang.
“Duelnya diterima,” ucap Dodi santai.
“HAH?!”
Serentak semua kaget. Raka langsung tegak, matanya melotot.
“Lu serius, Dod? Gila aja! Lu kan biasanya paling adem kalo ada tantangan begini. Kok sekarang malah—”
Dodi ngangkat tangan, ngasih kode biar mereka diem.
“Gue tahu apa yang lu pikirin. Gue juga tahu kalo tanpa Bima kita keliatan rapuh. Tapi justru karena itu gue harus nunjukin kalo kita nggak lemah.”
Andre masih ragu. “Tapi Dod… Garuda gimana? Kalau mereka nyerang tiba-tiba pas kita sibuk sama Kolombus?”
Di situlah Dodi ngeluarin kartu as-nya.
“Semalem gue udah ngobrol sama salah satu eksekutif Garuda. Kita sepakat, nggak ada serangan sampai pemimpin masing-masing balik lagi. Mereka takut diserang sama kita, sama kayak kita takut diserang sama mereka. Jadi aman.”
Suasana langsung berubah. Anak-anak yang tadi panik malah bengong. Raka yang biasanya paling banyak bacot cuma bisa ngedumel kecil, “Gila, lu mikir sejauh itu…”
Dodi nyender santai, ngelirik mereka satu-satu.
“Justru ini kesempatan. Kolombus nganggep kita bakal mundur, tapi nggak. Kita kasih mereka pelajaran, biar semua sekolah tahu: SMK Bima Sakti nggak goyah cuma gara-gara pemimpinnya lagi absen.”
Semua terdiam, saling pandang, sebelum akhirnya satu per satu senyum muncul. Ada rasa kagum bercampur deg-degan. Jarang banget mereka liat Dodi kayak gini—tenang, tapi langkahnya berani dan penuh hitungan.
“Anjir, Dod… gue makin respect sama lu sekarang,” gumam Andre sambil ketawa kecil.
“Ya udah, kalo gitu… kapan kita ketemu Kolombus?” tanya Raka, masih setengah nggak percaya.
Dodi narik nafas panjang, lalu jawab datar:
“Secepatnya. Biar mereka tahu, kita masih berdiri.”
***
Malam itu, kamar Dodi remang-remang hanya diterangi layar laptop dan beberapa kertas catatan yang berserakan di meja belajar. Dari siang tadi ia sudah punya rencana, tapi tidak ada yang nyangka kalau malam ini hampir semua informasi tentang SMK Kolombus sudah berhasil ia kumpulin. Cepat, rapi, dan detail. Data soal siapa ketua mereka, kebiasaan para eksekutifnya, sampai kelemahan masing-masing sudah terpetakan jelas di kepala Dodi.
Inilah kenapa Bima selalu percaya sama dia kalau urusan nyari info. Dodi bukan cuma jago teknik dan strategi, tapi juga punya cara buat gali informasi secepat kilat. Semua orang bisa lihat Bima sebagai “otot” geng, tapi di balik itu ada Dodi yang jadi “otak” dari semua langkah mereka.
Saat ia lagi fokus baca catatan tentang salah satu eksekutif Kolombus, ponselnya berdering. Nama Bima muncul di layar. Seketika Dodi ngeh kalau ini bisa jadi ribet. Kalau Bima tahu soal tantangan Kolombus, pasti langsung kepancing, padahal kondisi badannya masih jauh dari pulih.
Dodi tarik napas sebentar, angkat telpon itu. Suara Bima terdengar—berat, masih agak serak karena sakit, tapi jelas penuh khawatir. Ia nanyain gimana kondisi sekolah, apa Garuda udah gerak, dan apakah ada masalah lain.
Dodi jawab tenang. Nggak ada apa-apa, semua aman. Garuda nggak ada tanda-tanda nyerang. Ia bener-bener nutupin soal Kolombus, nggak kasih celah sedikit pun biar Bima kepikiran. Dari nada suaranya, Dodi berhasil bikin Bima percaya.
Setelah telpon ditutup, Dodi bersandar di kursinya. Ada sedikit rasa bersalah karena nutupin hal segede ini dari Bima. Tapi ia tahu, kalau Bima sampai tahu, bisa kacau. Fokus mereka sekarang harus jelas: Bima pulih dulu, sisanya biar dia yang atur.
Matanya kembali jatuh ke kertas catatan. Nama-nama Kolombus tertera jelas, lengkap dengan garis merah kecil di bawah yang artinya “lemah tapi berbahaya kalau disepelekan”. Dodi tersenyum tipis. Strategi sudah mulai terbentuk di kepalanya.
Besok, semua akan jalan sesuai rencananya.
***
Pagi itu SMK Bima Sakti udah rame kayak biasa. Dari gerbang sampe lapangan, suara anak-anak bercanda, teriak-teriakan main futsal sebelum masuk kelas, sampe suara motor-motor telat parkir di halaman belakang bikin suasana jadi khas banget. Beberapa anak nongkrong sambil ngopi saset, ada juga yang udah buru-buru ngerjain PR di bangku depan kelas.
Dodi jalan masuk sekolah dengan muka tenang, padahal semalem dia begadang baca semua info soal eksekutif Kolombus. Mata agak merah, tapi tetap cool. Beberapa anak nyapa dia, ada yang cuma ngangguk, ada yang teriak nama, tapi Dodi balas seadanya. Yang tau-tau aja kalau dalam kepalanya sekarang udah penuh strategi.
Bel pelajaran bunyi, aktivitas jalan normal. Kelas rame, guru masuk keluar, anak-anak ada yang bener-bener belajar, ada juga yang setengah tidur. Dari luar keliatan kayak sekolah biasa, padahal di balik itu ada perang gede yang lagi disiapin.
Sampai akhirnya, bel istirahat bunyi. Suara kursi diseret, anak-anak lari ke kantin, ada yang langsung ke lapangan. Tapi Dodi dan beberapa eksekutif nggak ikutan keramaian. Mereka jalan santai ke arah belakang, ke ruangan bekas UKS lama—markas kecil yang udah jadi tempat kumpul mereka.
Pintu ditutup rapat. Suasana langsung beda. Dari luar mungkin keliatan kayak ruangan kosong, tapi di dalamnya udah kayak ruang rapat mafia. Meja tua di tengah, kursi seadanya, tembok berdebu, tapi justru itu yang bikin tempat itu kerasa jadi markas rahasia mereka.
Andre datang belakangan, bawa gorengan sama teh gelas, langsung nyelip duduk di pojok. “Kalo ada yang liat kita dari luar, fix dikira lagi bikin geng motor baru,” celetuknya bikin anak-anak ketawa kecil.
Tapi ketawa mereka cepet ilang pas Dodi buka obrolan serius. Dia ngeluarin catatan hasil info semalem, tatapannya fokus, bikin semua langsung diam.
“Waktunya kita bahas Kolombus,” ucapnya singkat.