Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09. Rumah sakit
Pagi itu cahaya matahari menyelinap melalui tirai kamar hotel, namun Arunika sudah bersiap dengan langkah hati-hati. Rafael masih terlelap di ranjang, napasnya teratur. Ia sempat menoleh sekali, menatap wajah pria itu dalam diam. Ada desir asing di dadanya, tapi segera ditepisnya.
'Belum, aku belum siap jatuh ke pelukanmu. Dan aku belum siap mengandung bayimu.'
Tanpa membangunkan Rafael, Arunika bergegas keluar dari kamar hotel, menahan rasa tak menentu yang mendera. Mobil sewa membawanya ke rumah sakit swasta di pusat kota. Dengan wajah tegas, ia mendaftarkan diri ke bagian kandungan.
“Obat kontrasepsi darurat,” ucapnya singkat pada dokter, menahan gejolak hati. Ia tak ingin Rafael tahu. Setidaknya, untuk saat ini ia belum siap menanggung ikatan lebih jauh dengannya.
Selesai pemeriksaan, Arunika melangkah keluar ruang dokter. Tangannya menggenggam erat resep dan hasil cek kesehatan. Ia bernapas lega, namun langkahnya terhenti mendadak.
Di ujung koridor, ia melihat sepasang wajah yang membuat darahnya mendidih.
Ardian bersama dengan Shila, sahabat yang menusuknya dari belakang. Keduanya tampak mesra, Shila merangkul lengan Andrian dengan senyum puas. Dari berkas yang dibawa perawat, jelas mereka datang untuk memeriksa kehamilan Shila.
“Arunika?” suara Shila terdengar, namun lebih seperti ejekan.
Andrian meliriknya, lalu tertawa sinis. “Tak ku sangka kita bertemu di sini. Apa kau juga periksa kandungan? Oops, aku lupa kau kan mandul," ejek Shila , "Atau kau ingin pura-pura hamil biar bisa mengikat Rafael?”
Arunika mengepalkan tangannya, darah di kepalanya mendidih. Andrian melangkah mendekat, menatapnya dari atas ke bawah dengan pandangan meremehkan.
"Heh?! Apa kau yakin itu anak Andrian?" cibir Arunika balik.
“Sembarangan! Dulu aku memang tidak ingin punya anak. Bukan karena aku tidak bisa. Aku hanya tidak mau punya anak denganmu, Arunika. Gadis desa sepertimu hanya akan melahirkan beban.”
Arunika tertegun, hatinya perih. Tetapi yang membuatnya lebih marah adalah kalimat berikutnya.
“Lihat Shila, dia pilihan yang tepat. Nona muda dari keluarga Arummuda, terhormat, darah biru. Dia pantas melahirkan penerusku. Bukan kau.”
Arunika membeku, koridor rumah sakit yang biasanya tenang berubah jadi panggung pertarungan emosional. Beberapa pasien dan perawat sudah menoleh, memperhatikan pertengkaran kecil itu.
"Dia berbohong," cibir Arunika sembari memainkan kukunya di depan keduanya.
Shila berusaha tersenyum anggun meski wajahnya menegang.
“Apa maksudmu, Arunika? Jangan asal bicara. Semua orang tahu aku adalah Nona dari keluarga Arummuda ...”
Arunika menepuk berkas medis di tangannya ke dada Shila, membuat berkas itu terjatuh berserakan di lantai.
“Jangan bohong di depanku. Aku tahu siapa keluarga itu. Aku juga tau siapa Nona muda dari keluarga Arummuda. Dan kau, Shila … kau cuma pecundang yang mengemis sisa cinta suamiku dulu. Aku juga tak sudi lagi memungut sampah,"
Wajah Shila memucat, bibirnya gemetar. Andrian buru-buru menarik lengannya, menatap Arunika dengan mata penuh kebencian.
“Cukup! Kau pikir dengan bersandar pada Rafael kau bisa merasa tinggi? Tanpa dia, kau tetap perempuan hina yang ku usir dari rumahku!”
Arunika menahan napas, dadanya naik turun. Tapi bukannya menangis, ia justru tersenyum getir.
“Terima kasih, Andrian. Kau benar, Aku memang perempuan yang dulu kau hina. Tapi lihatlah sekarang ... aku berdiri di sisiku sendiri, dan aku punya kekuatan untuk menghancurkanmu. Bahkan tanpa Rafael sekalipun. Kau hanya sampah," tunjuk Arunika tepat ke wajah Ardian.
Andrian mendengus, hendak menjawab, namun Shila menahannya. Tatapan Shila penuh kepanikan, jelas takut kebohongannya terbongkar di depan publik.
“Sudahlah, Sayang. Jangan hiraukan dia. Orang seperti dia hanya iri.” Shila berkata sembari tersenyum. Arunika mendekat, berdiri begitu dekat hingga Shila bisa merasakan napasnya.
"Jangan salah, Shila. Aku tidak iri, aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk membuka semua topengmu. Ingat baik-baik ... sekarang kau mungkin merasa menang karena mengandung anaknya. Tapi percayalah, saat aku mulai bergerak, kalian berdua akan kehilangan segalanya.”
Shila menggenggam lengan Andrian lebih erat, pura-pura tenang, meski matanya tak bisa menyembunyikan ketakutan. Arunika berbalik meninggalkan mereka dengan langkah anggun. Suasana koridor masih riuh oleh bisikan orang-orang yang menyaksikan.
Sambil berjalan, Arunika menggenggam hasil pemeriksaannya erat-erat. Dalam hatinya ia berbisik.
'Jika mereka berani merampas hidupku, aku akan merebut lebih banyak dari mereka. Aku akan rebut cinta, harta, bahkan masa depan yang mereka banggakan.'
Arunika berjalan meninggalkan koridor rumah sakit dengan langkah tegas, tanpa menoleh sedikit pun. Suara Shila yang memanggil namanya, suara Andrian yang melontarkan caci maki, semuanya hanya terdengar seperti bisikan samar di telinganya.
Begitu keluar dari gedung, ia menarik napas panjang, menengadah pada langit yang mendung. Dulu, saat ia dicampakkan, ia menangis tanpa daya. Tapi kini, luka itu justru menjadi bara yang menguatkan dirinya.
'Jika kalian mengira aku akan jatuh sekali lagi … kalian salah besar.'
Senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum yang bukan lagi milik Arunika si gadis desa yang polos, melainkan senyum seorang perempuan yang siap berperang.
Di kejauhan, sebuah mobil hitam berhenti. Dari balik kaca, tatapan dingin Rafael terlihat, menyoroti Arunika tajam seolah tahu ada sesuatu yang baru saja terjadi.
Arunika melangkah masuk ke dalam mobil itu tanpa berkata sepatah pun. Suasana di dalam mobil terasa menyesakkan. Mesin menderu halus, tapi udara di dalam kabin dingin bagai ruang interogasi. Rafael duduk di samping Arunika dengan rahang mengeras, pandangan matanya lurus ke depan, penuh bara yang ditahan.
Arunika bisa merasakan jari-jari Rafael yang mencengkeram pahanya, tidak kasar, tapi cukup kuat untuk menunjukkan amarah yang mendidih.
“Berani sekali kau pergi tanpa izin dariku,” ucap Rafael rendah, namun setiap kata terdengar tajam menusuk.
Arunika menoleh pelan, menatap pria itu dengan ekspresi datar, seolah tidak peduli. “Aku hanya ingin menghirup udara pagi. Apa aku harus meminta izin juga untuk itu?”
Rafael menoleh tajam, matanya berkilat. “Udara pagi di rumah sakit, hm? Jangan bermain-main denganku, Arunika. Aku tahu persis ke mana kau pergi. Marco yang memberitahuku. Kalau bukan dia, mungkin aku sudah membalikkan seluruh kota ini untuk mencarimu.”
Di depan, Marco yang duduk di kursi kemudi menelan ludah, kedua tangannya menggenggam erat setir. Wajahnya pucat, masih terbayang bagaimana Rafael meledak marah begitu menyadari Arunika tak ada di kamar hotel. Meja kaca di ruang Rafael tadi pagi hancur akibat amukan itu.
Arunika menarik napas panjang, menatap keluar jendela.
“Kau tidak perlu khawatir, aku tidak lari. Aku hanya … ingin memastikan sesuatu untuk diriku sendiri.”
“Memastikan sesuatu?” Rafael menyeringai miring, lalu tiba-tiba mendekat, wajahnya nyaris menempel pada Arunika.
“Atau memastikan Andrian?” bisiknya penuh tuduhan.
Jantung Arunika berdegup kencang, tapi ia menolak terlihat terpojok. Ia justru tersenyum sinis.
“Andai benar aku bertemu dengannya, apa masalahnya? Bukankah kau sudah mendapatkanku sesuai perjanjian dengan ayahku?”
Rafael mendengus, lalu tiba-tiba mencengkeram dagu Arunika dan memaksanya menatap matanya.
“Jangan uji kesabaranku, sayang. Aku bisa memberimu dunia, tapi aku juga bisa membuatmu hancur kalau kau berani menyentuh masa lalumu lagi.”
Arunika menatap balik, tidak gentar. Senyum samar tersungging di bibirnya.
“Kalau begitu buktikan, Rafael. Buktikan kalau aku lebih berarti bagimu daripada sekadar hadiah perjanjian.”
Sesaat hening, hanya suara mesin mobil yang terdengar. Rafael menatapnya dalam, matanya berkilau tajam antara marah dan terpikat. Jari-jarinya melonggarkan genggaman, tapi ia tidak melepaskan Arunika. Marco di depan menahan napas, seolah tahu badai di belakangnya bisa meledak kapan saja.
Rafael akhirnya berbisik, nyaris seperti sebuah ancaman.
“Kau akan menyesal membuatku gila padamu, Arunika.”
Arunika tersenyum tipis, lalu bersandar santai di kursi seolah tak terusik.
'Itu memang tujuanku, Rafael.' batinnya.
'Jika aku bisa membuatmu gila, maka aku bisa menguasaimu. Dan melalui dirimu … aku akan menjatuhkan semua orang yang menghancurkanku.'
Salam sehat ttp semangat... 💪💪😘😘
Salam kenal Thor.. 🙏🏻
mikir nihh