Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2 : Anjing yang tak pantas.
Entah sudah pagi atau malam, Lian Hua tak tahu. Waktu seakan kehilangan maknanya di dalam kegelapan pekat yang menelannya. Tubuhnya tetap terbaring di lantai dingin, tanpa sedikit pun cahaya yang bisa menembus ruang ini.
Ia terjaga ketika mendengar suara langkah kaki di balik pintu. Suara itu berat, berirama pelan namun pasti, mendekat ke arahnya. Setitik harapan menyusup ke hatinya. Mungkin… seseorang datang untuk membantunya. Mungkin ia akan tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Pintu kayu itu terbuka dengan hentakan keras, membuat kusennya bergetar. Cahaya lampu minyak menerobos masuk, menusuk matanya yang belum terbiasa dengan terang.
Di ambang pintu berdiri seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Kulitnya kusam, tatapannya dingin. Namun yang paling menarik perhatian Lian Hua adalah pakaian yang dikenakannya, model yang asing, kain panjang dan berlapis, bukan busana modern yang pernah ia lihat. Pakaian itu… seperti berasal dari zaman kuno.
Pikirannya belum sempat menyusun kepingan jawaban, ketika wanita itu tiba-tiba melempar sebuah mangkuk ke arahnya. Benda itu, terbuat dari batok kelapa yang dihaluskan, menghantam kepalanya dengan bunyi tumpul.
Lian Hua mengerjap, menatap isi mangkuk itu, sepotong roti keras, nyaris membusuk. Ia mengangkat kepalanya, mencoba memandang ke arah wanita itu.
Kesempatan itu dibalas dengan sebuah tendangan keras di pipinya. Sakitnya membuat jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak. Ujung sepatu wanita itu nyaris menembus kulit wajahnya. Lian Hua meringis, darah terasa mengalir di sudut bibirnya.
Wanita itu menunduk sedikit, menunjuk ke arahnya dengan tatapan penuh jijik.
"Jangan pernah menatapku dengan mata itu," ucapnya tajam. "Kalau kau berani, akan kucungkil bola matamu. Mata menjijikkan itu tak pantas menatapku.”
“Kau perlu ingat. Anjing sepertimu… harus tahu tempatnya!"
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada rasa sakit di tubuhnya. Anjing? Ia disebut anjing yang tak pantas menatap seorang manusia?
Wanita itu kembali menegakkan tubuhnya, lalu meludah ke lantai. "Makan itu. Kalau kau mati di sini, tak ada yang sudi menguburkanmu." Setelah itu, ia berbalik, melangkah keluar, dan menutup pintu dengan hentakan keras.
Hening kembali memenuhi ruangan. Lian Hua tetap menatap pintu yang kini tertutup rapat, dadanya naik-turun. Di balik rasa sakit dan penghinaan, pikirannya hanya memutar satu pertanyaan…
‘siapa sebenarnya wanita itu?’
Lian Hua menatap mangkuk itu, tergeletak sedikit jauh dari jangkauannya. Ia mencoba menggerakkan tangan, namun luka yang terkelupas membuat setiap gerakan terasa seperti kulitnya sedang disayat kembali. Urat-urat di lengannya menegang, napasnya tercekat, dan rasa perih membakar sampai ke tulang.
Giginya terkatup rapat. Selama hidupnya, ia tak pernah merasa seberguna ini—terperangkap dalam tubuh sendiri, bahkan untuk sekadar mengulurkan tangan pun tak sanggup. Perasaan itu menusuk lebih dalam daripada rasa sakit.
Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang kacau. Dalam gumaman nyaris tak terdengar, ia berkata pada dirinya sendiri,
"Sekali… harus sekali tarikan napas."
Tak peduli seberapa sakitnya nanti, ia harus mencoba. Jika ia tetap terbaring di lantai batu yang menusuk dingin ini, tubuhnya akan membeku sebelum fajar, atau sebelum kesempatan untuk bertahan hilang sepenuhnya.
Lian Hua menyeret tangannya di atas lantai dingin, gerakannya lambat dan penuh penderitaan, hingga posisi itu sejajar dengan bahunya. Setiap tarikan membuat luka terbuka kembali, perihnya memanjat dari kulit ke tulang. Giginya bergemeletuk, bukan hanya karena dingin, tapi karena menahan teriakan yang nyaris pecah dari tenggorokannya.
Ia memusatkan sisa tenaga pada telapak tangan itu, satu-satunya tumpuan yang bisa ia gunakan untuk mendorong tubuhnya bangun. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun cepat. Ia menarik udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, mencoba menenangkan gemetar di seluruh tubuhnya.
Tatapannya jatuh pada lantai tepat di bawah dagunya, dingin dan kotor, seolah menantangnya untuk tetap rebah. Dengan suara yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri, ia bergumam lagi, pelan namun penuh tekad,
"Sekali tarikan napas… Kumohon hanya sekali."
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂