Safeea dan ibunya sudah lama hidup di desa. Setelah kematian ibunya, Safeea terpaksa merantau ke kota demi mencari kehidupan yang layak dan bekerja sebagai pelayan di hotel berbintang lima.
Ketika Safeea tengah menjalani pekerjaannya, ia dibawa masuk ke dalam kamar oleh William yang mabuk setelah diberi obat perangsang oleh rekan rekannya.
Karena malam itu, Safeea harus menanggung akibatnya ketika ia mengetahui dirinya hamil anak laki laki itu.
Dan ketika William mengetahui kebenaran itu, tanpa ragu ia menyatakan akan bertanggung jawab atas kehamilan Safeea.
Namun benarkah semua bisa diperbaiki hanya dengan "bertanggung jawab"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
William kemudian menghela napas pelan, sebelum mengajukan pertanyaan yang sejak tadi tertahan di dadanya.
“Safeea, maukah kau menikah denganku?”
Pertanyaan itu menggema di telinga Safeea. Ia menunduk, dan berusaha mencerna segala hal yang terjadi begitu cepat. Safeea memejamkan matanya sejenak, lalu mengingat kembali perjalanan pahit yang membawanya sampai pada titik ini—kesendirian, kehilangan, dikhianati takdir, hingga perasaan takut akan penilaian dunia terhadap dirinya.
Namun, saat ia membuka matanya kembali, tatapan William masih sama. Terlihat teguh dan tidak goyah pendiriannya. Seolah laki-laki itu bersumpah akan menggenggam tangannya, apa pun yang terjadi.
Butuh beberapa detik bagi Safeea untuk menemukan suaranya keluar dari bibirnya.
“Baiklah, Aku akan menikah denganmu, Pak William.” ucap safeea akhirnya, yang nyaris seperti bisikan.
Kedua mata William membelalak sesaat, sebelum bibirnya perlahan tertarik membentuk senyum lega. Ia nyaris tak percaya, namun itu nyata. Safeea akhirnya setuju untuk menikah dengannya.
"Terima kasih tuhan, terima kasih," gumam William lirih, seolah semua beban di pundaknya seketika runtuh hanya karena satu kalimat yang keluar dari bibir Safeea.
William lalu mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya merendah dengan penuh harap saat berbicara dengan Safeea.
“Nanti, setelah jam kerja selesai, temui aku di tempat parkir. Aku ingin membawamu ke suatu tempat. Hanya kita berdua. Tak ada yang lain. Aku ingin menunjukkan padamu bahwa apa yang aku katakan padamu mengenai semuanya adalah sungguh-sungguh.”
Safeea menatap mata William dengan lama. Ia ingin mencari keraguan di dalam diri William dan ia tidak menemukannya. Hanya ada kejujuran yang terdapat di sana.
Safeea pun mengangguk pelan.
“Baik, Pak William…”
Senyum William mengembang dengan tulus. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa tidak hanya didengarkan—tapi juga diberi kesempatan. Dan kesempatan itulah yang akan William genggam erat dengan seluruh kesungguhan hatinya.
Setelah mendengar jawaban dari Safeea, William yang tidak ingin membuat suasana semakin canggung, lalu melangkah mundur beberapa langkah untuk bersiap pergi meninggalkan kamar yang sedang dibersihkan oleh safeea.
“Aku akan pergi dulu. Kau lanjutkan pekerjaanmu seperti biasa dan jangan terlalu banyak berpikir. Aku akan menunggumu nanti di parkiran,” ucap William pelan namun tegas, lalu ia pun berbalik pergi dengan langkah mantap.
Safeea menatap kepergian William untuk beberapa saat. Napasnya mengalir pelan, mencoba menenangkan gejolak perasaannya yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Ia menyentuh perutnya yang masih rata, seolah menguatkan diri bahwa semua ini bukan mimpi—bahwa kenyataan telah benar-benar berubah.
Belum sempat safeea kembali fokus pada pekerjaannya, dua sosok familiar tiba-tiba muncul dari pintu masuk. Karin dan Lita, dua rekan kerja yang paling dekat dengannya, tampak bergegas mendekati Safeea dengan wajah penasaran.
"Safeea, apa pak William sudah pergi? Kami tidak menyangka kalau ia akan mendatangi kamu sekali lagi." seru Karin
"Iya Feea, pak William juga menanyakan kepada kami mengenai keberadaan kamu. Apa boleh kami tahu kenapa pak William menemui kamu? Kami benar benar sangat khawatir sama kamu Safeea." timpal Lita
Safeea tersentak kecil. Ia tak menyangka akan segera didekati, apalagi diserbu dengan pertanyaan seperti itu dari teman temannya. Ia buru-buru menunduk, untuk berusaha menata ekspresi dan nada suaranya sebelum menjawab pertanyaan Karin dan juga Lita.
Safeea menelan ludah. Ia tahu ini saat yang sulit. Ia tak bisa mengungkapkan kenyataan bahwa dirinya mengandung anak dari pria yang baru saja pergi. Ia tak siap melihat ekspresi kaget, takut, atau bahkan kecewa dari kedua sahabatnya. Maka satu-satunya jalan yang terpikirkan adalah berbohong.
....udah pasti kamu bakal hidup sangat berkecukupan.