"Harusnya dulu aku sadar diri, bahwa aku sama sekali nggak pantas untuk kamu. Dengan begitu, mungkin aku nggak akan terluka seperti sekarang ini" ~Anindhiya Salsabila
Tindakan bodoh yang Anin lakukan satu tahun yang lalu adalah menerima lamaran dari cowok populer di sekolahnya begitu saja. Padahal mereka sama sekali tidak pernah dekat, dan mungkin bisa dikatakan tidak saling mengenal.
Anin bahkan tidak memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya. Hingga cowok dingin itu sama sekali tidak pernah mengajak Anin berbicara setelah meminta Anin untuk menjadi istrinya. Mereka hanya seperti orang asing yang tinggal di atap yang sama.
--------------------------------------------------------------------------
Bagaimana mungkin aku hidup satu atap dengan seorang pria yang bahkan tidak pernah mengajakku berbicara? Bagaimana mungkin aku hidup dengan seorang suami yang bahkan tidak pernah menganggapku ada?
Ya, aku adalah seorang gadis yang tidak dicintai oleh suamiku. Seorang gadis yang masih berusia sembilan belas tahun. Aku bahkan tidak tau, kenapa dulu dia melamarku, menjadikan aku istrinya, kemudian mengabaikanku begitu saja.
Terkadang aku lelah, aku ingin menyerah. Tapi entah kenapa seuatu hal memaksaku untuk bertahan. Aku bahkan tidak tau, sampai kapan semua ini akan menimpaku. Aku tidak tau, sampai kapan ini semua akan berakhir.
~ Anindhiya Salsabila~
Mau tau gimana kisah Anindhiya? Yuk cuss baca.
Jangan lupa like, komen dan vote ya. Jangan lupa follow ig Author juga @Afrialusiana
Makasih :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afria Lusiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16
Sekitar tiga puluh menit di perjalanan, Mobil Stevan tiba-tiba berhenti di pinggir jalan yang menampaki banyaknya penjual makanan lesehan di pinggir jalan. Pandangan Anin terfokus ke arah sekitar.
"Turun!" Ucap Stevan singkat.
Anin menoleh ke arah Stevan bingung, kemudian memperhatikan tempat tersebut seksama.
"Ngapain kita kesini Stev?" Tanya Anin.
"Razia" sahut Stevan songong.
"Razia apaan?" Beo Anin bertanya polos.
"Ya makan lah, mau apa lagi coba?" Sambung Stevan kemudian.
Anin kaget. "Disini?" Tanya Anin.
"Enggak, di laut. Kalo nanya yang berbobot dikit kenapa sih?"
"Hm. Ya, maksud aku emangnya kamu mau makan di tempat kaya gini. Di pinggir jalan? soalnya kamu kan orang kaya dan udah terbiasa hidup mewah. Siapa tau nggak mau makan di tempat kaya gini..."
"Nggak usah banyak omong. Cepetan keluar. Gue laper!" Stevan membuka pintu mobil dan berlalu keluar dari sana. Detik kemudian, Anin mengikuti.
"Lo tunggu di sana. Biar gue yang mesan"
Anin mengangguk, kemudian ia berjalan menuju tempat duduk lesehan yang sudah tersedia di sana. Setelah tidak terlalu lama menunggu, Stevan datang dengan membawa dua piring nasi goreng di tangannya.
"Nih." Ucap Stevan menaruh piring tersebut di meja yang ada di depan Anin.
Anin tak banyak bicara. Tangan Anin meraih nasi goreng tersebut dan menaruh di depannya. Tangannya menyendok nasi goreng tersebut dan melahapnya seperti orang kelaparan. Karena sejujurnya, Anin memang merasa lapar. Pasalnya, dia memang belum makan dari tadi siang.
"Enak?" tanya Stevan yang ternyata sedari tadi memperhatikan Anin.
Anin mengangkat pandangannya. Pandangan gadis itu sejenak terkunci ke arah Stevan, sebelum Anin kembali melanjutkan makannya.
"Enak!" Jawab Anin singkat.
Namun, kening Stevan tertaut saat tidak sengaja memperhatikan pergelangan tangan kanan Anin yang merah seperti bekas cengkraman. Stevan hanya diam tidak bertanya, tapi tatapannya tampak berfikir.
Saat sedang sibuk menyantap makanannya, bunyi letusan kembang api yang melayang di udara kini menyita perhatian Anin. Gadis itu menghentikan aktifitasnya sejenak.
Mata Anin menatap langit yang menampaki kembang api yang kini melayang indah di udara. Kembang api yang menyala, meredup, dan kemudian selesai.
Tanpa Anin sadari, bibir gadis itu melengkung. Anin tersenyum. Entahlah, rasanya Anin bahagia. Sudah lama Anin tidak keluar dan menikmati pemandangan seperti ini.
"Jangan kaya anak kecil. Liat gitu aja sampe nggak fokus makan. Abisin makanan lo, sayang uang gue!"
Senyuman Anin menipis saat mendengar ucapan Stevan. Kemudian Anin memilih untuk melanjutkan makannya kembali.
***
Setelah selesai membayar makanan, Stevan dan Anin kembali masuk ke dalam mobil. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Stevan menancap gas mobilnya untuk segera pergi dari sana. Hingga mobil sport berwarna biru itu kini berhenti tepat di depan sebuah apotek.
Stevan turun begitu saja tampa mengajak Anin. Dari kejauahan, Anin hanya memperhatikan gerak gerik Stevan yang sedang membeli sesuatu.
Beberapa saat kemudian, Stevan kembali berjalan menuju mobil, masuk ke dalam mobil, Stevan kemudian kembali melanjutkan mobilnya untuk pergi dari sana.
"Kamu beli apa Stev?" Tanya Anin ragu, tapi penasaran. Namun, tak ada sahutan sama sekali dari Stevan.
Anin hanya bisa menghembusakan nafas, kemudian memfokuskan pandangan ke jalanan.
"Lo mau kemana lagi?" Suara itu terdengar dari mulut Stevan setelah terjadi keheningan beberapa saat.
"Pulang" Sahut Anin singkat tanpa ingin menoleh ke arah Stevan.
Anin sungguh lelah, matanya mengantuk. Hati dan fikirannya capek. Gadis itu sekarang benar benar butuh istrirahat. Yang Anin inginkan saat ini hanya cepat sampai ke rumah dan segera tidur.
tinggalin saja laki kek gt, harga diri lah.. terlalu lemah
boleh tanya kah mbak gimana buat novel biar cepet dan konsisiten