Tak ingin Ayahnya dipenjara, dan tak kuat membayar denda yang begitu banyak. Asyifa Humaira, gadis berusia 23 tahun itu akhirnya menjadikan dirinya sendiri sebagai penebus dosa yang tak disengaja dari ayahnya.
Bagas Nata Nugraha, 26 tahun. Seorang Pewaris dari sebuah perusahaan besar. Ia harus mengalami kecelakaan karena nyaris menabrak seorang tukang bakso yang sedang menyebrang ditengah jalan. Kecelakaan parah itu membuat seluruh tubuhnya lumpuh, bahkan sulit untuk berbicara.
Tapi karena status mereka yang beda Gender, dan Bagas harus dirawat 24 jam secara intensif. Akhirnya keluarga Bagas menikahkan mereka secara kontrak. Dengan catatan, Syifa harus sadar diri dengan status yang sebenarnya hanya perawat.
Bagaimana kisah mereka sebagai pasangan suami istri pasif?
Apakah akan tumbuh benih-benih cinta diantara mereka, setelah Bagas melihat ketulusan Syifa dalam merawatnya selama itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erna Surliandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mama rindu suaramu...
***
Pulang dari sekolahnya, Gibran mempir sebentar kesebuah toko buku. Setelah menabung beberapa minggu, Uangnya terkumpul dan dapat membeli buku yang Ia inginkan.
"Yess, dapet juga akhirnya. Nanti kasih tahu Kak Ifa ah, aku berhasil beli buku dengan tabungan sendiri. Pasti dia senang." ucapnya, lalu bergegas pulang dengan motornya.
Ia menyetir agak cepat, membuatnya oleng di persimpangan dan menabrak sebuah mobil yang terparkir di halaman sebuah kantor.
"Haduuh, ini gimana? Malah nabrak. Orangnya ngga ada lagi." Ia cemas, dan mengusap bagian yang lecet karena ulahnya.
Ia menunggu beberapa lama, hingga lelah dan begitu dahaga. Akhirnya, dikeluarkannya kertas dan sebuah pena, lalu menulis diatas mobil itu.
" Heh, bocil... Mau ngapain kamu?"
"Oh maaf. Apa, Kakak kenal pemilik mobil ini?" tanya Gibran, berusaha setenang mungkin.
"Kenapa? Nanti saya sampai kan pesan kamu pada dia."
"Begini, Kak. Tadi, saya nga sengaja banget nabrak badan depan mobilnya. Jadi lecet." ucap Gibran, dengan menunjuk bodi mobil itu.
"Lantas?"
"Saya nungguin daritadi, tapi orang nya ngga keluar. Saya mau bantu Ayah siapin jualan bakso. Jadi saya tulis dulu nama sama nomor Hp saya. Saya.... Akan berusaha ganti biaya perawatannya."
"Jangan ngawur... Ini mobil mahal loh. Biaya perbaikan ini, bisa sampai puluhan juta. Kamu masih sekolah, cari duit darimana?"
"Pu-puluhan juta? Astaghfirullah... Mahalnya." Gibran mengelus dada dengan semua kekagetannya. Ia menggaruk kepala, dan kebingungan harus menjawab apalagi pada pria tersebut.
"Mana nomor Hp kamu? Bila perlu, alamat kamu sekalian. Biar kamu ngga kabur nanti."
Gibran memberikan nomor Hpnya, yang belum sempat Ia catat di kertas itu. Meski dengan rasa yang aneh dan tak karuan, Ia berusaha tenang dan meyakinkan untuk sebuah pertanggung jawaban.
" Itu motor kamu? "
" Itu, motor Kakak saya. Kebetulan, dia udah menikah dan tinggal dirumah suaminya. Jadi, motornya saya pakai."
"Buat jaminan, boleh?"
"Ja-jangan, Kak. Itu kendaraan kami satu-satinya. Buat sekolah, dan kadang buat antar Ibu berobat. Tolong, jangan diambil."
"Oke... Nama saya Reza. Nanti saya akan hubungi kamu, dan kamu harus siap menjawab semua telepon saya. Kamu harus bertanggung jawab, bagaimana pun caranya."
Gibran tertunduk lemah, Ia sadar akan kesalahannya. Tapi, brgitu cemas ketika Reza menakut-nakuti akan biaya perbaikan mobil tersebut.
" Jualan bakso berapa lama dapet uang segitu?" gumam Gibran dalam hati.
Ia pun kemudian pergi atas perintah Reza. Dan kali ini menyetir motornya dengan begitu pelan.
"Gimana ini, Ya allah. Kok malah begini? Ada ada aja sih, nasib orang susah. Ngga mungkin bilang Kak Ifa, kasihan dia." keluh Gibran sepanjang perjalanan.
***
Syifa dan Bagas telah tiba di rumah. Mama Ayu pun menunggu mereka dengan duduk di sofa ruang tamu. Ia langsung menghampiri dan memeluk. Anak semata wayangnya itu dengan erat, di iringi tangisnya yang pecah.
"Mama tahu, meski kamu diam tapi kamu begitu sakit saat ini, sayang. Mama tahu, kamu begitu rapuh saat ini, tapi kamu berusaha tetap tenang di hadapan kami semua." ucapnya.
Bagas hanya menatapnya dengan tajam dan penuh tanda tanya.
"Mama tahu hasil tadi? Darimana? Apa Syifa memberi tahunya? Aish, dasar tukang lapor." gerutu Bagas dalam hati.
"Kenapa Bagas menolak memakai alat bantu bicaranya, Nak? Mama ingin mendengar Bagas bicara. Mama rindu semua ucapan Bagas yang menenangkan hati. Meski itu bukan suara asli Bagas, tapi setidaknya Bagas bicara dengan Mama."
"Ma... Mas Bagas ngga nyaman pakai alat itu, terlihat dari sorot matanya. Mama sabar, sebentar lagi akan Ifa buat Mas Bagas bisa bicara." ucap Syifa.
"Kamu... Seperti yang paling bisa? Jangan takabur, itu dosa." balas Mama Ayu pada Syifa dengan tatapan sinis.
"Kan, setidaknya berdoa juga, Ma."
"Yasudah, bawa Bagas masuk. Dia tampak lelah, harus istirahat. Jangan lupa, ganti pakaiannya dulu. Di rumah, dia lebih suka memakai kaos oblong."
"Iya, Ifa tahu kok." jawab Ifa, lalu mendorong kembali suaminya masuk ke dalam kamar.
