Evan adalah seorang pemuda miskin yang membangkitkan kekuatan mata api di dalam dirinya. Mata api ini memiliki kemampuan yang luar biasa, mampu menembus pandang, kekuatan medis legendaris, ahli beladiri tidak tanding.
Kehidupan Evan juga seketika mulai berubah, dari yang sebelumnya begitu di remehkan, kini orang yang paling di idamkan.
Istri yang dia nikahi secara tiba-tiba, secara perlahan juga jatuh hati kepadanya dan bahkan banyak gadis-gadis cantik yang mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agus budianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 16 PERTANDINGAN
Yang tidak pernah Junaidi sangka bahwa anak muda di hadapannya ini akan mempermalukan dirinya hari ini.
"Jika aku kalah, aku akan menggonggong seperti anjing di hadapan semua orang," ujar Junaidi.
Junaidi berani mempertaruhkan martabatnya karena begitu yakin dapat menang dan tidak akan mungkin kalah.
"Evan, seberapa besar keyakinan mu untuk menang?" tanya Lisa sambil berbisik.
"Aku pasti menang," jawab Evan dengan yakin.
Lisa juga pernah melihat kemampuan Evan sebelumnya bersama dengan kakeknya. Itu sebabnya kakeknya meminta Evan untuk menemaninya hari ini.
Pertandingan kali ini juga sudah tidak bisa di elakan. Lisa hanya bisa menghela nafasnya dan menerimanya.
"Baik, aku terima tantangan pertandingan ini," ujar Lisa.
"Hehe... kalau begitu kita mulai pertandingannya," balas Junaidi.
Pertandingan judi batu antara Junaidi dan Evan yang mewakili Lisa sudah di mulai. Peraturan pertandingan ini, siapa yang mendapat giok dengan kualitas terbaik dan memiliki harga termahal, dialah yang akan menjadi pemenangnya.
Junaidi mulai berjalan pergi untuk mencari batu, begitu juga dengan Evan. Lisa juga berjalan di belakang Evan mengikutinya.
Evan mulai melihat satu batu ke batu yang lainnya dengan begitu cepat. Evan hanya melihat sekilas tanpa mencoba untuk lebih teliti melihatnya. Tampak sekali Evan seperti orang yang baru pertama kali berjudi batu.
Lisa hanya bisa menghela nafasnya dan ada sedikit penyesalan di dalam dirinya karena menerima tantangan ini.
Melihat tingkah Evan ini, jelas sangat meragukan sekali dia dapat menemukan giok di dalam batu. Hal yang terjadi tempo hari di rumahnya, di mana dia mendapatkan giok, jelas itu hanya sebuah kebetulan saja.
"Memilih batu, pertama hal yang harus di lihat adalah kristalisasi dari batu," ujar Lisa kepada Evan.
"Kedua harus melihat tampilan luarnya, kristalisasi banyak dengan sedikit retakan kemungkinan berisi giok di dalamnya," sambung Lisa.
"Oh seperti itu ya," balas Evan dengan santai.
"Lalu warna dan giok jenis apa yang paling mahal?" sambung Evan bertanya.
Mendengar pertanyaan ini, seketika Lisa merasa mau muntah. Bagaimana mungkin berani bertanding judi batu, tapi tidak tahu warna dan giok apa yang paling bernilai, jadi bagaimana bisa menang, pikirnya.
"Bocah ini hanya besar gaya saja dan tidak tahu apapun," ujar seseorang mengatai Evan.
"Bagaimana bisa dia menjadi menantu tuan besar Darmawan, aku jauh lebih baik darinya," ujar orang yang lain.
"Hasilnya sudah bisa di pastikan, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah," ujar orang yang lain lagi.
Lisa juga terlihat kesal terhadap Evan, tampaknya dia terlalu gegabah membiarkan Evan untuk bertanding, pikirnya.
"Kamu bahkan tidak mengerti hal seperti ini, tapi kamu berani bertanding," ujar Lisa kepada Evan.
"Kamu beri tahu saja, maka kita akan menang," balas Evan.
Walaupun kesal, akhirnya Lisa juga mulai menjelaskan kepada Evan tentang warna giok dan jenis-jenis giok yang paling berharga dan bernilai tinggi.
Dari awal mencari batu sebenarnya Evan telah menggunakan kekuatan mata apinya. Dengan kemampuan tembus pandangnya, Evan dapat dengan mudah menembus ke dalam bongkahan-bongkahan batu di sana.
Evan dapat melihat giok di dalam batu dengan sangat jelas, namun dia tidak tahu mana yang paling berharga, jadi bertanya kepada Lisa.
Setelah mendapatkan penjelasan dari Lisa tentang giok, Evan langsung menuju ke sebuah bongkahan batu.
Sedangkan Lisa sendiri merasa Evan tidak bisa di andalkan dan berniat untuk dirinya sendiri yang mencari giok. Setidaknya masih ada harapan untuk dapat menang walaupun sedikit, pikirnya.
"Ini dia, aku sudah dapat," ujar Evan di depan sebuah bongkahan batu.
"Kamu sudah selesai?" ujar Lisa sedikit terkejut.
"Coba aku lihat," sambung Lisa.
Lisa juga mulai maju untuk melihat bongkahan batu yang di pilih Evan, namun yang terjadi selanjutnya, Lisa justru kaget Evan memilih batu yang seperti itu.
"Tidak ada kristalisasi sama sekali, bahkan hampir seluruh bagiannya retak," ujar Lisa.
Terlihat oleh Lisa bongkahan batu yang telah Evan pilih sebesar bola futsal.
"Harganya hanya 1 juta saja," Lisa terkejut melihat label harga pada batu tersebut.
"Bagaimana, harganya murah dan bagus bukan?" ujar Evan dengan penuh percaya diri.
"Benda apa yang kamu pilih ini, jika di dalam batu ini mengeluarkan giok, itu baru aneh," balas Lisa dengan emosi.
Menurut pengalaman dan pengetahuan yang Lisa miliki, jelas sekali batu pilihan Evan ini hanyalah batu tidak berharga. Di tambah lagi harganya hanya 1 juta saja, jadi mana mungkin ada giok di dalamnya.
"Bocah ini memang tidak memiliki pengetahuan, dia malah memilih sebuah batu tidak berguna," ujar salah seorang di sana mengatai Evan.
"Batu ini sudah di pajang hampir 1 tahun di sini, tidak ada orang yang membelinya, makanya harganya bisa serendah itu," ujar orang yang lain.
"Lebih baik mengaku kalah saja, dari pada mempermalukan diri sendiri," ujar orang yang lain lagi.
Semua orang terus mengatai Evan, tapi Evan sama sekali tidak perduli dan membawa batu pilihannya. Bagi Evan, mereka semua lah orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.
Junaidi juga terlihat telah selesai dengan membawa batu yang telah dia pilih. Tampak wajah Junaidi yang santai, namun penuh dengan rasa percaya diri.
"Bocah, kamu sudah selesai memilih, kalau begitu kita langsung potong saja," ujar Junaidi kepada Evan.
"Tunggu... kami mau ganti..." sela Lisa dengan panik.
"Bukankah kamu sudah percaya kepada ku, jadi biarkan aku yang menyelesaikan nya," ujar Evan kepada Lisa.
"Tapi..." belum selesai Lisa berkata Evan langsung memotongnya.
"Tenang saja, jika memang aku kalah, kamu boleh melakukan apa saja kepadaku," potong Evan.
"Aku di sini hanya menjalankan tugasku sebagai suamimu untuk melindungi mu," sambung Evan.
"Eh..." Lisa juga langsung terdiam.
"Brengsek, bisa-bisanya dia berkata seperti itu di depan semua orang," ucap Lisa dalam hati.
"Jika mau menyerah, menyerah saja dan akui kekalahan, tapi aku yakin kalian pasti kalah, jadi jangan banyak drama," ujar Junaidi.
"Langsung saja berikan hadiah kemenangan ku," sambung Junaidi.
"Orang yang akan kalah itu adalah kamu," balas Evan.
"Dari mana datangnya kepercayaan diri bocah ini?" ujar salah seorang di sana mengatai Evan.
"Kedua batu ini bila di sejajarkan, dalam sekejap saja juga sudah tahu mana yang akan menang," ujar orang yang lain.
Kemudian seseorang petugas dengan membawa berbagai macam alat pemotong batu tiba di sana untuk memotong batu. Petugas batu itu juga telah bersiap untuk memotong batu dari Junaidi.
"Hati-hati memotongnya, di dalamnya ada giok, jangan sampai merusaknya!" ujar Junaidi kepada petugas pemotong batu.
"Master Junaidi tenang saja, saya begitu profesional dan memiliki banyak alat canggih serta lengkap," balas petugas pemotong.
Petugas pemotong batu juga mulai membelah batu milik Junaidi secara perlahan dan hati-hati.
"Sudah mulai terlihat, warna hijau," ujar petugas pemotong batu itu.
"Haha... lanjutkan memotongnya, aku pasti akan memenangkan pertandingan ini," ujar Junaidi dengan penuh rasa percaya diri.
Tidak lama kemudian petugas pemotong batu juga telah menyelesaikan tugasnya. Terlihat sebuah giok berwarna hijau berukuran bola kasti hasil dari batu pilihan Junaidi.
"Dengan ukuran sebesar ini setidaknya bisa membuat 3 sampai 5 perhiasan, aku bersedia membelinya 2 milyar," ujar salah seorang di sana terhadap giok milik Junaidi.
"Master Junaidi, aku bersedia membelinya dengan harga 2 milyar 500 juta," ujar orang yang lain.
"Aku bayar 4 milyar," ujar orang yang lain lagi.
Orang-orang mulai berebut menawar untuk mendapatkan giok milik Junaidi. Junaidi sendiri tampak begitu puas sekali dengan ini. Dengan penawaran harga yang di berikan oleh orang-orang, Junaidi yakin sekali menang.