BANGKITNYA MATA API MEMBARA
Pada suatu malam di sebuah bukit perkemahan yang berada di pinggiran kota. Sedang ada acara camping bersama seluruh mahasiswa dan mahasiswi salah satu kampus di kota itu. Acara camping ini sudah berlangsung selama 4 hari dan 4 malam.
Malam itu begitu cerah dengan di hiasi oleh gemerlapnya bintang-bintang di langit. Para mahasiswa dan mahasiswi telah selesai melaksanakan acara bakar-bakar dan telah kembali ke tenda mereka masing-masing.
Di salah satu tenda terlihat dua orang mahasiswa yang sedang mengobrol dengan sangat serius.
"Evan, apa kamu sudah memikirkannya dengan matang untuk mengungkapkan perasaan mu terhadap Lidia?" tanya seorang mahasiswa bernama Juno kepada rekan satu tendanya yang bernama Evan.
"Aku lihat Lidia ini sepertinya sama sekali tidak pernah suka terhadapmu, aku merasa dia hanya memanfaatkan mu saja," sambung Juno.
Juno adalah sahabat baik dari Evan, melihat Evan ingin mengungkapkan cintanya, Juno mencoba untuk menasehatinya.
Juno mengingat Evan selalu membantu Lidia mengerjakan semua tugasnya, bahkan Evan juga dengan senang hati mengerjakan tugas teman Lidia jika Lidia memintanya. Bahkan Evan juga selalu menuruti apa yang di perintahkan oleh Lidia dengan senang hati.
Juno di sini dapat melihat bahwa Lidia hanya ingin memanfaatkan Evan saja, tapi sepertinya Evan tidak berpikir demikian.
Sedangkan Lidia adalah wanita tercantik dan modis di kelas mereka.
Rambutnya yang panjang bergelombang membuatnya tampil mempesona dengan di topang oleh kaki yang jenjang membuatnya begitu sempurna.
"Apa yang kamu katakan, selama ini aku sudah mengejarnya dan Lidia pasti juga suka kepada ku," balas Evan dengan penuh rasa percaya diri.
Evan membayangkan bagaimana Lidia selalu tersenyum terhadapnya setelah dia melakukan apa yang di perintahkan oleh Lidia. Evan menganggap senyuman Lidia itu bahwa Lidia juga suka terhadapnya.
Evan sendiri merupakan seorang mahasiswa dengan penampilan biasa saja dengan wajah yang lumayan tampan.
Sejak kecil Evan telah di tinggalkan begitu saja oleh kedua orang tuanya, sehingga dia harus berjuang sendiri untuk dapat hidup dan dapat berkuliah seperti sekarang.
Evan juga mulai mengambil sebuah kotak kecil dari dalam tas miliknya. Kotak itu berisi sebuah cincin kecil yang belum lama dia beli.
Setelah bekerja paruh waktu sambil berkuliah selama beberapa bulan, akhirnya Evan berhasil membeli cincin tersebut. Evan berencana memberikan cincin itu untuk Lidia sambil mengutarakan perasaannya.
Evan juga mulai keluar dari tendanya dengan penuh bersemangat. Juno yang melihatnya juga hanya bisa menghela nafasnya dan memutuskan untuk mengikutinya.
Di perjalanan menuju ke tenda tempat Lidia berada terasa begitu aneh. Di mana tenda-tenda yang mereka lewati tampak sepi sekali dan hening.
Sesaat kemudian tampak cahaya terang yang berasal dari tenda tempat Lidia berada. Cahaya itu berasal dari ponsel-ponsel milik para mahasiswa dan mahasiswi yang menyalakan senternya. Senter ponsel itu di arahkan tepat ke depan tenda Lidia, sehingga membuatnya begitu terang.
Evan dan Juno yang penasaran juga segera mendekat sambil menyelinap di sela-sela orang untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.
Begitu terkejutnya mereka berdua mendapati seorang pria berlutut di hadapan seorang wanita yang di mana wanita itu adalah Lidia.
"Lidia mau kah kamu menjadi pacarku dan bersama denganku?" tanya pria yang berlutut tersebut sambil mengeluarkan sebuah cincin berlian yang besar.
Pria tersebut adalah Samuel yang merupakan seorang kapten basket di kampus mereka. Walaupun tidak setampan Evan, tapi popularitas Samuel adalah yang nomor satu di kampus tersebut.
Selain jago dalam bermain basket, Samuel juga merupakan putra dari pengusaha kaya raya, sehingga banyak wanita yang tergila-gila terhadapnya.
"Tentu saja aku mau," jawab Lidia dengan cepat.
Samuel juga langsung memakaikan cincin berlian ke jari tangan dari Lidia dan kemudian mereka langsung berpelukan.
Tepuk tangan yang meriah seketika terdengar dari mahasiswa dan mahasiswi yang menyaksikan itu semua.
Sementara itu, seketika Evan tidak bisa menerimanya dan langsung maju menghampiri mereka.
"Lidia, apa maksudnya ini?" tanya Evan.
"Kamu tidak boleh menerimanya," sambung Evan.
Lidia dan Samuel tampak terkejut dengan kehadiran Evan ini dan langsung melepaskan pelukan mereka.
"Evan..." ujar Lidia.
"Lidia cepat lepaskan cincin dari nya!" ujar Evan.
Evan meraih tangan Lidia dan hendak melepaskan cicin yang di pakainya, namun Lidia langsung menepis tangannya.
"Apa yang kamu lakukan?" ujar Lidia dengan nada marah.
"Bagaimana jika kamu merusaknya?" sambung Lidia.
Evan tampak terkejut dengan sikap Lidia ini, biasanya Lidia selalu bersikap ramah dan tersenyum kepadanya.
Evan kemudian mulai mengeluarkan cincin yang telah dia siapkan sebelumnya dari kotak kayu.
"Aku juga mau memberikan mu cincin, aku juga suka kepadamu, aku mau kamu jadi pacarku," ujar Evan.
Semua orang yang berada di sana dapat melihat cicin yang di keluarkan oleh Evan begitu sangat kecil sekali.
"Evan ini apa tidak tahu malu sekali, menyatakan perasaan dengan cincin kecil seperti itu, mungkin harganya hanya satu juta saja," ujar salah seorang di sana.
"Lidia adalah wanita tercantik di kelas, banyak sekali pria yang suka terhadapnya, di sukai oleh pria kere seperti Evan, bukankah itu sama saja sial," ujar orang yang lain.
"Di bandingkan dengan cincin berlian dari Samuel, jelas bagaimana langit dan bumi, Lidia juga tahu siapa yang harus di pilih," ujar orang yang lain lagi.
Semua orang juga mulai mengatai Evan dan menghinanya. Walaupun cincin itu murah, tapi bagi Evan, dia memerlukan beberapa bulan menabung untuk dapat membelinya.
Ekspresi Lidia sendiri juga terlihat sangat kesal sekali. Tindakan Evan ini sama saja telah mempermalukannya di hadapan semua orang.
Lidia mengambil cincin Evan dan langsung melemparkannya jauh ke dalam semak-semak.
"Lidia, apa yang kamu lakukan?" tentu saja Evan terkejut.
"Kenapa kamu membuang cincinnya?" sambung Evan bertanya.
"Cincin murahan seperti itu memang selayaknya di buang," jawab Lidia.
"Bukankah selama ini kamu selalu tersenyum kepadaku karena juga suka terhadapku?" tanya Evan.
"Suka... apa kamu pikir aku buta?" balas Lidia.
"Kamu lihat penampilanmu itu, apa mungkin wanita secantik diriku bisa suka kepadamu?" sambung Lidia.
Lidia kembali mengatakan bahwa dirinya tersenyum kepada Evan hanya karena ingin memanfaatkan nya saja. Evan cukup pintar sehingga dapat membantunya mengerjakan tugas dan jika dirinya sedang mager ia bisa menyuruh-nyuruh Evan melakukan apa saja.
Evan yang mendengarnya seketika hatinya langsung hancur berkeping-keping. Tidak di sangka wanita yang telah di sukai selama ini begitu tega terhadapnya.
Selama ini dirinya di mata Lidia hanyalah seorang pria pesuruh yang tidak berarti sedikitpun baginya.
"Evan, apa kamu pikir pria kere sepertimu bisa mendapatkan Lidia, kamu terlalu banyak mengkhayal," ujar Samuel kepada Evan.
Evan tampak terdiam dengan mata yang memerah. Hatinya begitu sakit dan dadanya terasa sesak. Selama ini kebaikannya ternyata telah di manfaatkan.
"Lidia, malam ini aku menginap lagi di tendamu ya," ujar Samuel kepada Lidia.
"Tentu saja, seperti 2 malam sebelumnya, apapun yang kamu lakukan juga boleh," balas Lidia.
Mendengar itu Evan juga langsung paham maksud dari perkataan mereka. Evan tidak pernah menyangka bahwa bahkan Lidia telah tidur satu tenda dengan Samuel selama beberapa malam ini.
Samuel dan Lidia juga langsung masuk ke tenda dan semua orang juga mulai membubarkan diri.
Evan tampak diam berdiri membatu dengan mata yang merah dan hati yang sangat terluka. Sekilas cahaya api terlintas di kedua mata Evan dan langsung menghilang dengan cepat.
Kilauan cahaya api itu muncul akibat reaksi rasa sakit yang di terima Evan, tapi tidak ada yang bisa melihatnya.
Juno sahabat Evan juga mulai menghampirinya yang terlihat begitu lesu dan sedih.
"Evan sudahlah, wanita seperti Lidia tidak cocok untukmu," ujar Juno mencoba menenangkan Evan.
"Kamu seorang pria yang baik, kelak pasti akan mendapatkan wanita yang baik juga," sambung Juno.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments