Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.
Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ritual di Tepian Sungai Memanggil Roh Kura-Kura Abadi
Kabut tipis masih membumbung rendah, menari-nari pelan di atas permukaan Sungai Bayangan. Gerakan lentur air tampak seolah menarik helaian kabut menjadi satu, membentuk tirai samar yang menutupi tepian. Cahaya gerhana bulan, pucat dan meredup, memantul di atas arus air, seakan ingin menyembunyikan diri dari pandangannya. Namun di balik tabir remang-remang itulah, Liang Feng dan Bai Xue berdiri tegap, hati mereka bergetar menunggu dimulainya ritual sakral.
Di antara mereka, dua pertapa berpakaian serba hitam, kerah jubahnya terbalut bordir naga perunggu, memegang lentera kristal. Kristal itu berdenyut lembut, seakan menyesuaikan irama napas mereka. Setiap kali angin menghembus, kilatan lembut menari-nari di tepinya, menciptakan bayangan-bayangan aneh di sekitarnya.
Liang Feng membuka jubahnya perlahan, memungut gulungan mantra usang dari dalam lipatan kain. Pergelangan tangannya yang ramping memegang gulungan itu dengan hati-hati, membuka kunci lilitan sutra merah tua. Halaman-halaman kertas berwarna kuning susu itu dihiasi aksara-aksara purba, garis-garis hitam membentuk baris mantra yang hanya sedikit orang mampu membacanya. Suaranya serak namun teguh.
“Aku mengingat urutannya. Dari timur ke barat, kelopak teratai, koin perunggu, kelopak mawar perunggu, setetes embun purnama.”
Bai Xue menatapnya dengan mata peraknya berpendar lembut, memantulkan kilauan bulan. Ia mengangguk perlahan, menyadari betapa pentingnya setiap langkah ritual ini. Desah nafasnya tertahan di tenggorokannya, seolah ia pun mendengar bisikan jiwa alam semesta.
“Pada saat cawan diangkat, aku menyalurkan cahaya suci ke dalamnya.” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, mengalun dalam benak Liang Feng.
Tanpa ragu, Liang Feng melangkah ke tepi-tepian sungai. Ia menancapkan tujuh kelopak teratai ungu, satu per satu, membentuk garis imajiner yang mengarah ke hulu. Setiap kelopak menancap di tanah berlumut dengan anggun, menandai awal pengorbanan bunga suci bagi roh yang terlelap di dasar sungai.
Aroma bunga teratai, manis dan menenangkan, tercampur dengan bau tanah basah. Gemericik air menyambutnya, mengalir tenang, membawa keheningan yang semakin sakral. Dua pertapa kemudian maju, masing-masing membawa koin perunggu tua yang merupakan warisan leluhur mereka dan menaruhnya di pusat tiap kelopak. Cahaya lentera menembus celah-celah di ujung koin, menciptakan lingkaran emas yang memudar dan muncul kembali dalam putaran.
Saat itulah Bai Xue mulai bergerak, mengitari lingkaran. Aura peraknya tumbuh, meluas menjadi selubung tipis yang menerangi koin sehingga berpendar hangat. Kilauan itu membentuk lingkaran cahaya, melingkupi sesajen sakral.
Kemudian, dengan gerakan terkontrol, Liang Feng mengeluarkan kelopak mawar berbalut debu perunggu dengan bunga langka yang hanya tumbuh di lereng Gunung Suicun. Ia meletakkannya berkelompok di tepian batu besar yang teralas lumut. Setiap kelopak yang jatuh menimbulkan getaran halus di udara, seperti nyanyian kuno yang berbisik.
Doa pelan terucap dari bibir para pertapa
“Air nan jernih, cahaya abadi, Panggillah jiwa kura-kura suci.”
Suara alunan itu menyatu dengan gesekan daun di pepohonan, menciptakan simfoni alam yang menghentak hati.
Liang Feng mengangkat cawan keramik kecil yang teralas kain sutra putih, kesucian yang kontras dengan kegelapan malam. Dengan gerakan yang sakral itu, ia menuangkan setetes embun purnama. Embun itu berkilauan, cahaya halus melingkupi tepi cawan, menunggu untaian ritual selanjutnya.
Tatkala cawan mencapai ketinggian dada, Liang Feng menatap bulan yang samar-samar terlihat. Ia melafalkan mantra inti, menekan simbol naga yang terukir di gagang cawan.
“Roh kuno penjaga arus, dengarkan suara kami. Bawalah cahaya suci pada kedalaman malam.”
Tubuh Liang Feng bergetar saat Tianlong Mark di dadanya, ini merupakan tanda kebesaran naga langit yang menyala hijau-perak. Sekejap cahaya memancar, lalu mereda, meninggalkan gema denyut magis.
Bai Xue meloncat ke atas batu datar, moncongnya menyentuh bibir cawan. Aura peraknya mengalir ke dalam air, menciptakan riak keperakan. Riak itu menyebar ke tepian sungai, seolah memanggil makhluk yang tertidur di dasarnya.
Pada saat yang sama, dua pertapa memukul gong kecil berkali-kali. Suara nyaringnya memecah kesunyian, menuntun energi ritual mengalir bebas. Suara gong, dentumannya, menggetarkan tanah, membangunkan gema di dalam gua-gua terpencil.
Tiba-tiba, permukaan sungai beriak hebat. Arus seakan mengaduk kabut, menciptakan pusaran cahaya hijau keemasan di tengah air. Dalam sekejap, pusaran itu membesar, membentuk siluet cangkang raksasa yang menyembul perlahan.
Dua pertapa mundur sedikit, lentera mereka bergetar di tangan. Namun Liang Feng tetap di tempat, pedang naga tergenggam erat di ikat pinggang. Ia menatap sosok kura-kura raksasa yang muncul dengan cangkangnya terukir pola kuno seperti gulungan peta langit, ditumbuhi lumut lembut dan kerang mutiara. Matanya, dua butir zamrud tua, memancarkan kilauan kebijaksanaan abadi.
"Selamat datang, Penjaga dan Murid." gema suaranya menggema, terasa dalam, merambat di sela-sela benak mereka. Bukan sekadar kata yang terucap, melainkan gelombang resonansi jiwa.
Liang Feng membungkuk dalam, menundukkan kepala. Pedangnya sedikit menunduk, lambang penghormatan pada makhluk suci.
"Roh Kura-kura Abadi." sapanya rendah, "terimalah sesajen kami. Kami mohon petunjuk untuk menuntun Jiwa Bumi Tua yang terjerat kegelapan."
Kura-kura itu mengelilingi lingkar sesajen, membawa pusar air di punggungnya memancarkan gelombang lembut. Riak-riak kecil menyentuh setiap kelopak dan koin, seolah memeriksa kesucian persembahan.
"Energi Bumi kuno yang seharusnya suci tercemar oleh gelombang kegelapan yang merayapi nadi dunia." suaranya bergema. "Lima pilar naga di gua dasar bumi menjadi penjaga Inti Neraka Roh. Hancurkanlah pilar-pilar itu, agar Inti Neraka sirna. Namun hati kalian harus bersatu murni, tanpa keraguan sekecil apapun."
Nyala perak Bai Xue membesar, menekan aura suci ke dalam pusaran tenang. Cangkang kura-kura mengubah warnanya, memunculkan kilauan biru kehijauan. Sebuah selubung kabut tipis terbentuk, menari-nari melayang di sekitar Liang Feng.
"Apakah kau rela mengorbankan nyawa demi menutup celah Neraka Roh?" bisikan gema memanggil, menusuk ke dasar jiwa.
Keheningan menyelimuti. Liang Feng terdiam, bayangan Shen Wu, guru pelindungnya, menyeruak lewat kilatan petir. Sejenak keraguan merayap di hati. Namun ia menghela napas panjang, meneguhkan keyakinannya.
"Aku rela " jawabnya dengan mantap. "Demi keseimbangan dunia, demi manusia dan roh, demi persahabatan suci yang mengikatku pada sahabatku, Bai Xue."
Sesaat, kilatan hijau memecah selubung kabut, membelah gelap menjadi serpihan cahaya. Cangkang kura-kura berpendar semakin terang, merestui sumpah suci.
"Ikutilah alur Sungai Bayangan menuju hilir." suara baja sukma mengarahkan. "Di antara akar-akar pohon purba, tersembunyi pintu gua yang tertutup lumut abadi. Di dalamnya, kau akan menemukan lima pilar naga penjaga Inti Neraka Roh. Hancurkanlah dengan kerendahan hati dan keberanian suci."
Sosok kura-kura berbalik, menatap Liang Feng sekali lagi, seperti mengukir janji yang tak terucap. Kemudian ia menyatu kembali dengan pusaran cahaya, lalu lenyap ke dalam arus, meninggalkan permukaan air yang kembali tenang.
Angin malam berbisik lembut, membawa kabut tipis menutup bekas jejak ritual. Liang Feng menunduk sekali lagi, menahan haru yang memuncak.
"Terima kasih, Roh Kura-kura." bisiknya pelan dengan suara yang tenggelam di antara desir air.
Bai Xue terbang turun, mendarat di pundaknya dengan lembut. Ekor peraknya menyapu permukaan batu, seolah menyampaikan kebanggaan. Dua pertapa menunduk, merapalkan doa penutup, suara mereka bergema di antara pohon-pohon kering.
Liang Feng mengangkat pedang naga ke atas kepala, menghadapkan bilahnya ke bulan purnama yang kini utuh kembali muncul. Tanda Tianlong Mark menari-nari di udara, memancarkan kilauan hijau-perak seakan menegaskan tekad mereka.
"Besok pagi kita berangkat." katanya kepada kedua pertapa.
"Istirahatlah." tambah Bai Xue dengan suara lembut. "Satukan energi untuk ujian yang lebih besar di gua bawah tanah."
Esok, perjalanan menuju gua purba menanti tempat di mana pilar-pilar naga berteduh di bawah cahaya abadi kegelapan, menunggu untuk dihancurkan.