Pernikahan yang terjadi karena hamil duluan saat masih SMA, membuat usia pernikahan Ara dan Semeru tidak berjalan lama. Usia yang belum matang dan ego yang masih sama-sama tinggi di tambah kesalah pahaman, membuat Semeru menjatuhkan talak.
Setelah 7 tahun berpisah, Ara kembali bertemu dengan Semeru dan anaknya. Namun karena kesalah fahaman di masa lalu yang membuat ia diceraikan, Semeru tak mengizinkan Ara mengaku di depan Lala jika ia adalah ibu kandungnya. Namun hal itu tak membuat Ara putus asa, ia terus berusaha untuk dekat dengan Lala, bahkan secara terang-terangan, mengajak Semeru rujuk, meski hal itu terkesan memalukan dan mudahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKU GAK NGIZININ KAMU
Yang terjadi sekarang ini, sangat berbanding terbalik. Ara begitu bahagia karena merasa jalannya untuk mewujudkan impian sang ayah, telah terbuka. Sementara Meru, laki-laki itu sampai tak bisa berkata-kata, syok, tak menyangka jika Ara memilih kampus yang ada di luar kota.
Tak ada obrolan diantara mereka soal ini, ia juga tak pernah bertanya. Terlalu percaya diri, mengira jika Ara bakal memilih kampus yang sama dengannya. Universitas nomor satu di Jakarta, dimana tak sembarang orang bisa masuk ke sana, makanya Ara sampai belajar begitu giat. Tapi ternyata ia salah.
"Kenapa kamu gak bilang ke aku soal universitas pilihan kamu ini?" Meru menatap Ara.
"Maksud kamu?"
"Kamu gak pernah bilang ke aku, kalau mau kuliah di Jogja."
"Gak pernah bilang gimana? Ru, kamu tahu dari dulu kan, kalau aku pengen kuliah di Jogja. Kita gak hanya sekali dua kali bahas soal universitas impian kita, soal cita-cita, soal apa saja hal yang ingin kita raih di masa depan. Semua itu sudah sering kita bahas sejak masih pacaran. Sekarang bisa-bisanya kamu bilang jika aku gak ngobrolin tentang ini."
Meru berdecak sambil meraup wajah dengan kedua telapak tangan. Entah bodoh, lalai, atau terlalu percaya diri kata-kata yang tepat untuknya saat ini. Kalau ditanya apa ia tahu universitas impian Ara, jawabannya, ya, ia tahu. Namun ia fikir, Ara tak akan mungkin menjadikan kampus tersebut pilihannya saat mendaftar SNBT karena sebentar lagi wanita itu akan menjadi seorang ibu.
"Aku sudah sering cerita, gak mungkin kamu gak tahu," Ara fikir, Meru sudah tahu soal ini dan tidak mempermasalahkan sama sekali, namun melihat ekspresi pria itu, sepertinya tidak demikian.
Meru menghela nafas panjang, memegang kedua bahu Ara sambil menatap kedua matanya. "Kamu tahukan, sebentar lagi kamu akan melahirkan, akan jadi ibu."
Ara mengangguk cepat. "Sudah pasti aku tahu, aku yang sedang mengandung," pertanyaan Meru membuat dia tak habis fikir. "Aku akan melahirkan bulan depan, sedang awal tahun ajaran baru, masih bulan depannya lagi, masih ada waktu."
Meru berdecak, Ara tak paham arah pembicaraannya. "Bukan masalah waktunya Ra, tapi bayinya. Anak kita butuh kamu, butuh ibunya selalu ada di dekatnya."
"Maksud kamu apa, Ru?" Ara faham arah pembicaraan Meru. Dugaannya benar, suaminya tersebut kurang setuju ia kuliah di Jogja. "Ingat Ru, sebelum dulu saat aku minta izin untuk lanjut kuliah, kamu sudah mengizinkan."
"Tapi gak di luar kota juga, Ra. Ada banyak universitas di Jakarta yang gak kalah bagus dari universitas pilihan kamu."
Ara menepis tangan Meru yang ada di bahunya. "Ini bukan hanya masalah bagus tidaknya suatu universitas, tapi ini menyangkut mimpi. Mimpi seorang ayah yang ingin melihat putrinya bisa kuliah di tempat dulu dia terpaksa mengubur mimpinya. Aku sudah terlalu dalam mengecewakan almarhum ayahku. Setidaknya biarkan aku mewujudkan mimpinya untuk mengurangi rasa bersalahku."
Meru tersenyum kecut. "Dan meninggalkan bayi yang baru lahir, kamu gak merasa bersalah? Bayi tidak serta merta lahir langsung bisa makan, langsung bisa bicara dan berjalan. Bayi butuh asi. Bayi butuh cinta dan kasih sayang ibunya," nada suara Meru mulai tinggi.
"Aku tidak meninggalkannya," Ara sedikit berteriak, mengimbangi suara Meru. "Jangan mengambil kesimpulan yang membuat aku seperti ibu yang jahat. Asi bisa diganti sufor. Ada kamu, ada Mami yang bisa merawatnya. Atau kalau perlu, kita cari baby sitter. Aku pergi untuk menuntut ilmu, bukan meninggalkannya. Ada ponsel yang bisa membuat kami akan terhubung setiap hari. Aku juga akan pulang setiap satu bulan sekali demi menciptakan bonding dengannya. Aku tidak meninggalkannya Ru, catat itu!" Ara menekan kalimatnya.
"Kenapa harus sufor jika ibunya bisa memberi asi? Kenapa harus Mami yang merawat atau baby sitter jika ia punya ibu?"
Ara tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca. "Jadi, kamu tak setuju aku kuliah di Jogja?"
"Ya, aku tidak setuju," jawab Meru lantang. "Aku tidak mengizinkan kamu kuliah di Jogja."
Ara tersenyum sekaligus menangis, menutup mulutnya dengan telapak tangan. Bukan mudah untuk bisa lolos ke Universitas tersebut, namun setelah usaha kerasnya, Meru malah dengan gampangnya menghancurkan apa yang telah dia usahakan secara mati-matian.
"Anak ini ada bukan hanya karena kesalahanku, Ru, tapi kesalahan kita berdua," menunjuk perutnya. "Apa adil jika kamu bisa kuliah di tempat impian kamu, sedang aku tidak? Apa adil, Ru? JAWAB!" teriak Ara. "Seperti kamu yang ingin meraih cita-cita dan membanggakan orang tua, aku juga, Ru," air matanya mulai turun. "Aku ingin membanggakan orang tuaku meski mereka sudah tidak ada," suaranya melemah, bercampur dengan isak tangis.
Meru terdiam, sadar jika apa yang dikatakan Ara benar. Anak itu ada karena kesalahan mereka berdua. Ada di saat yang tidak tepat, di saat kedua orang tuanya masih belum siap menjadi orang tua, namun lebih pada ingin menggapai mimpi, meraih cita-cita.
"Aku ingin ayah di atas sana tersenyum melihat aku memakai toga, menjadi wisudawan, lulusan universitas impiannya. Aku mohon Semeru, izinkan aku melanjutkan kuliah di Jogja." Sambil berderai air mata, Ara mengatupkan kedua telapak tangan di dada.
Meru menggeleng, keputusannya sudah bulat. Merasa jika apa yang ia lakukan, adalah benar. "Aku gak bisa ngizinin kamu kuliah ke Jogja."
"Egois kamu, Ru, egois!" teriak Ara, memukul-mukul dada Meru. "Kamu tahu seberapa keras perjuanganku untuk bisa masuk ke universitas tersebut, tapi sekarang, kamu membuat semua usaha kerasku itu sia-sia. Kamu gak bisa seperti ini, Ru, gak bisa. Jangan hancurkan mimpiku, aku mohon. Aku mohon izinkan aku kuliah ke Jogja."
Meru tersenyum getir melihat Ara terus memohon. "Kalau meraih impian jauh lebih penting daripada anak dalam kandungan kamu, kenapa dulu kamu menolak saat aku meminta kamu menggugurkannya?"
"Karena itu tidak benar. Aku tidak mau menjadi pembunuh, anak ini tidak salah apa-apa. Aku sayang padanya."
"Sayang?" Meru tertawa sekaligus pengen nangis.
"Kalau sayang, kamu gak akan ninggalin dia."
"Sekali lagi, aku gak ninggalin dia, Ru. Aku hanya pergi untuk meraih cita-cita. Aku yakin, dia akan faham itu. Aku mohon Ru, beri aku izin. Aku sudah berusaha mati-matian, jangan buat usahaku sia-sia."
"Aku tetap gak bisa, Ra."
Sebenarnya bukan hanya soal anak yang jadi pertimbangan Meru, ini soal dia juga. Ia tak mau berjauhan dengan Ara. Baginya, lebih baik terus bersama, sama-sama meraih cita-cita, kuliah di Jakarta
kapokmu kapan?
pinternya si lala....
terus seperti itu lala biar papamu nyadar diri..../Chuckle//Chuckle/
seperti itulah dulu ara,saat kau tuduh dn kau sudutkan....
sakit,apalagi sampai kau sebut wanita murahan.....