Jia dan Liel tidak pernah menyangka, bahwa dimulai dari sekotak rokok, pertemuan konyol di masa SMA akan menarik mereka ke dalam kisah penuh rahasia, luka, dan perjuangan.
Kisah yang seharusnya manis, justru menemukan kenyataan pahit. Cinta mereka yang penuh rintangan, rahasia keluarga, dan tekanan dari orang berpengaruh, membuat mereka kehilangan harapan.
Mampukah Jia dan Liel bertahan pada badai yang tidak pernah mereka minta? Atau justru cinta mereka harus tumbang, sebelum sempat benar-benar tumbuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Avalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Telepon dan Penolakan
Sejak kejadian di kantin kemarin, sikap Liel berubah drastis. Dulu, dia memang dingin, tapi beberapa minggu belakangan sikapnya lebih lunak. Sekarang, dia bahkan nyaris tidak bicara, baik di kelas, di lorong, bahkan saat mereka saling berpapasan di parkiran.
Jia menggigit bibir bawahnya dengan pelan dan duduk di bangkunya, mencoba mengingat perlakuan Liel kepadanya.
“Aku tidak merasa ada yang salah, tidak seharusnya Ia bersikap dingin padaku,” ucap Jia dalam hati.
Kemudian Jia tersadar bahwa jam pelajaran telah berakhir, tanpa disimak dengan baik. Segera jia memasukan beberapa buku yang ada di meja, dengan tergesa-gesa, namun karena terlalu cepat, tidak sengaja dia menjatuhkan beberapa buku dengan “hardcover” yang tebal ke lantai.
Saat Jia hendak mengambilnya, Liel lebih dulu mengambilkan buku tersebut. Jari jemari yang lebar dan kokoh itu, dengan mudahnya mengangkat beberapa buku, yang menurut Jia cukup berat jika harus menggunakan satu tangan.
“Ini, ambillah. Jangan sampai buku-buku ini meremukkan kakimu.”
“Ah, iya, terima ka—“
Liel segera pergi, mengabaikannya. Biasanya, dia akan menawarkan diri untuk mengantar Jia pulang. Namun, hari ini berbeda. Jia yang dengan penuh keraguan akhirnya dengan berani menanyakan kepergiannya.
Jia menahan langkahnya. “Liel, tunggu sebentar?”
Liel menghentikan langkahnya, berbalik dan mendatangi Jia. “Apa?”
“Kamu sudah mau pulang?”
“Mengapa aku harus memberitahumu?” balas Liel dengan sorot mata yang tajam.
“Kamu kenapa? Aku merasa ini bukan kamu.”
“Aku? Aku masih aku.” sahut Liel cepat, matanya tajam namun berusaha netral.
Nada pasrah itu justru membuat dada Jia semakin panas. “Tetapi kamu tidak bisa tiba-tiba berubah, terus pergi seperti tidak terjadi apa-apa.”
Liel hanya menatapnya datar, lalu berkata singkat, “Aku tidak suka drama, Jia. Maaf.”
Jia terkejut saat mendengar ucapannya. Lalu, Liel menatap Nata. Dia meminta tolong kepada untuk menemani Jia sampai mang ceceng datang.
“Tidak perlu, aku bisa sendiri, mari kita semua berpisah disini.” Sahut Jia seraya melangkah kan kakinya, meninggalkan mereka.
Jia terlanjur kesal dengan sikap Liel. Namun, sayup-sayup terdengar Nata memanggilnya. Suara napas nya tersengal-sengal karena berlarian mengejar dirinya.
“Jia, aku tidak akan ikut campur dengan apa yang terjadi, namun, jika butuh teman cerita, aku siap, kapanpun itu.”
Jia menatap Nata, mencoba berpikir cepat. “Ayo ke rumahku, sepertinya banyak yang ingin kuceritakan padamu.”
“Apa? Sekarang?? Ah, baiklah.”
Mang Ceceng pun tiba, mereka masuk ke dalam mobil. Terlihat Liel mendahului mobil Jia, melaju kencang dengan motor sport hitamnya. Nata menatap Jia, lalu menepuk ringan pundaknya, tanpa berkata apapun.
...****************...
Sore harinya, Jia tengah duduk lesu di sofa ruang santai, sambil memeluk bantal. Nata duduk bersimpuh di atas karpet, menyeruput coklat panas yang dibuatkan oleh Bi Inah, pembantu rumah tangga Jia.
Nata yang tidak sengaja melihat foto keluarga, akhirnya bertanya tentang keluarganya. Jia menjelaskan semuanya dengan detail. Jia tahu, pada saat dia membawa seseorang ke rumah, Jia harus siap dengan pertanyaan semacam ini.
Mereka saling bertukar cerita perihal keluarga dan kehidupan pribadi satu sama lain. Jia tidak menyangka bahwa dirinya bisa dengan bebas bercerita pada Nata. Setelah sebelumnya selalu menutup diri, apalagi terkait dengan keluarga.
“Jia, aku tidak menyangka kamu bisa sekuat ini, aku harap kamu dan ibumu bisa akrab seperti dulu lagi ya?” pungkas Nata, sambil menahan tangis.
“Mengapa ingin menangis? Padahal bukan kamu yang mengalaminya.”
Nata berpura-pura tegar dan mengalihkan topik pembicaraan. “Ah sudahlah, bagaimana dengan Liel?!”
“Kita harus membahas semua topik agar aku tidak pulang terlalu malam Jia. Jadi, bagai—”
“YA, AKU TERTARIK! KUKATAKAN AKU TERTARIK PADANYA, PUAS!! Wajahnya memerah seraya ingin melempar bantal sofa ke arah Nata.
“HAHAHAH TEBAKANKU BENAR! AKU TURUT BAHAGIA UNTUKMU!! Balas Nata tertawa kegirangan.
Di saat mereka tengah berdua saling bercanda tentang Liel, dering ponselnya berbunyi, nama yang muncul membuat jantungnya tercekat.
“Mengapa dia menelponmu? Hm, angkat saja, jangan lupa “loudspeaker”, supaya aku bisa mendengarnya.” ucap Nata penasaran.
Jia mengangguk dan mengangkat telepon dari Den.
“Halo Jia, bagaimana coklat dan import snack yang kuberikan padamu kemarin? Enak bukan?”
Seketika Jia menatap Nata yang memakan semua pemberian Den. Begitu pula dengan mata Nata yang melebar, saat tahu semua snack yang dimakannya berasal dari Den.
Alis Jia bertautan. “Ah … Iya, rasanya enak!”
“Hei, di depan rumahmu, ada sebuah tas dan beberapa gantungan kunci, kuharap kamu mau memakainya di kemudian hari.”
“Apa??? Dengar Den, kamu tidak boleh terus menerus memberikan hal semacam ini, aku merasa tidak nyaman.”
“Hei, selama itu untukmu, aku tidak apa-apa Jia.”
“Lalu, apa yang membuatmu menelponku?”
Den terdiam untuk beberapa saat. “Jia, maaf jika aku harus mengatakan ini.”
“Hah? Minta maaf? Apa maksudmu? Ayolah, jangan bertele-tele, langsung saja ke intinya.”
“Aku menyukaimu, setelah masa orientasi kita berakhir, aku ingin kamu menjadi kekasihku.”
“WHAT!!!” Ucap Jia tanpa suara. Nata pun menutup mulutnya dengan bantal sofa, kemudian mendekatkan telinganya ke handphone Jia.
“Halo, Jia, apa kamu mendengarku?”
“Ah, ya aku mendengarmu. A–aku hanya terkejut. Bukankah kita tidak cukup dekat secara personal, bagaimana bisa kamu menyukaiku?”
“Entahlah, apakah harus ada alasan untuk menyukaimu?” sahut Den.
“Bukan begitu Den, hanya saja, aku tidak bisa, karena aku tidak memiliki perasaan untukmu, sekali lagi aku minta maaf,” ucap Jia dengan lembut namun tegas.
Den segera menutup teleponnya usai Jia menolak pernyataan cintanya. Jia berharap Den bisa menerima jawabannya. Kemudian Jia kembali duduk dan bersandar di sofa. Kepalanya terasa pusing mengingat semua peristiwa yang terjadi hari ini.
“Kamu benar-benar primadona Jia. Bagaimana bisa dua orang lelaki menginginkan mu? Ah, bahkan yang seorang lagi sedang kesal serta cemburu terhadapmu,” Ledek Nata dengan senyumannya yang lebar.
“Kesal dan marah? Liel?” ucap Jia sembari menaikkan alisnya.
“Yeah.” Balas Nata singkat.
Jia tertawa kembali seraya memukul bantal dengan pelan. “Bukankah aku terlihat aneh?”
“Haha, tidak ada yang aneh jika sedang kasmaran Jia! Lihatlah bocah ini, bisa aku pastikan bahwa hanya ada Liel dihatimu. Apa kamu suka sekali padanya?”
“Aku tidak tahu, akan tetapi sekarang aku yakin, setelah sebelumnya aku selalu menyangkal perasaanku sendiri. Sekarang, aku sedih mengapa dia kesal dan kembali bersikap dingin padaku.” balas Jia dengan penuh keraguan.
“Lebih baik kamu bertanya padanya, alih-alih bertanya padaku. Baiklah, aku harus segera pulang sebelum ibuku mengomel padaku.”
Nata pun beranjak pergi, saat Jia meminta Mang Ceceng untuk mengantarkan Nata pulang ke rumahnya. Semoga saja dia tidak dimarahi ibunya.
Namun, sudah satu jam berlalu, tidak ada kabar dari mang Ceceng. Apakah dia sudah mengantar Nata sampai ke rumah.
Hingga beberapa menit kemudian, Jia menerima telepon dari mang Ceceng menelpon Jia. Dia pun segera mengangkat teleponnya.
“Halo Neng Jia, maaf baru memberi kabar, macet di jalan. Neng Nata teh aman, sudah saya antarkan ke rumah dengan selamat, tapi..,”
“Tapi kenapa mang?”
“Saya mendengar seorang pria menelponnya, mungkin kakak laki-lakinya kali ya neng?”
Matanya melebar. Seingat Jia, saat mereka bercerita tadi, Nata mengatakan dia adalah anak tunggal, bahkan tidak memiliki pacar.
“Yeeee mang Ceceng nguping yaaaa? Tidak boleh begitu mang. Eh, tapi si Nata ada menyebutkan nama laki-lakinya tidak?”
“Yeee si neng penasaran juga. Tadi neng Nata teh cuma sebut nama Liel, selebihnya mang Ceceng tidak mendengar, soalnya di jalanan ribut, bunyi klakson ada dimana-mana neng.” seru mang ceceng.
Jia menutup telepon mang Ceceng setelah menyuruhnya berhati-hati saat mengendarai mobil di jalan. Jia terdiam mematung, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
“Sejak kapan Nata dan Liel akrab sampai harus saling menelepon?” ucapnya dalam hati.
Entah mengapa hatinya gelisah malam ini. Jia tidak ingin kecewa pada Nata, karena menurut Jia, hanya Nata teman terbaiknya, untuk saat ini.
,, suka deh puny sahabat macam Nata