Novel Keduabelas 🩶
Namaku Jennaira. Kisah ini adalah tentang aku yang menikah dengan seorang pria sempurna. Bertahun-tahun aku menganggapnya seperti itu, sempurna. Namun setelah menikahinya, semua berubah. Penilaianku terhadapnya yang asalnya selalu berada di angka 100, terus berubah ke arah angka 0.
Benar kata pepatah, dont judge a book by its cover. Penampilannya dan segala kemampuannya berhasil menghipnotisku, namun nyatanya hatinya tak seindah parasnya dan aku terlambat menyadarinya.
Unofficial Sound Track: Pupus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Aku pun Sadar
Ketika itu aku baru saja pulang sekolah. Aku turun dari angkot yang biasa aku tumpangi di depan kompleks perumahan. Saat tiba di depan pagar rumah, Om Haikal memanggilku, "Ra, baru pulang?"
Aku pun menoleh dan melihat Om Haikal sedang mencuci mobilnya. Aku pun menghampirinya dan bermaksud untuk menyalaminya. Namun Om Haikal memperlihatkan tangannya yang basah dan penuh busa. "Maaf tangan Om basah," ucapnya.
"Iya Om, gak apa-apa," sahutku.
"Sebentar." Kemudian Om Haikal berjalan ke arah teras rumah dan membawa sebuah keresek berlogo sebuah toko roti terkenal dan memberikannya kepadaku. "Ini buat kamu. Dimakan ya sambil nanti belajar buat ujian."
"Om, gak usah repot-repot," tolakku sungkan.
"Gak apa-apa, Ra. Ambil ya," pinta Om Haikal. Akhirnya aku pun menerimanya. "Kamu udah sering kasih masakan kamu buat Om sama Gaga. Ini cuma roti. Kebetulan tadi Om mampir ke toko roti itu."
"Makasih, Om. Jadi repot Om nya," ujarku masih merasa tak enak. Pasalnya roti yang Om Haikal berikan cukup banyak dan bervariasi. Harganya pasti cukup mahal.
"Gak sama sekali, kok. Oh iya, gimana nanti kuliahnya mau lanjut ke mana, Ra? Ke Ekadanta pasti ya biar ada ayah di sana?" Om Haikal kembali mencuci mobilnya.
Iya ke Ekadanta, tapi bukan karena ada ayahku di sana bekerja sebagai dosen, melainkan karena Gaga. Mengingat Gaga yang akan masuk ke Ekadanta juga, aku pun sudah memutuskan akan masuk ke Universitas ternama itu. Kabar itu ku dapatkan dari ayahku bahwa Gaga akan kuliah di Ekadanta, jurusan hukum. Ia akan mewujudkan mimpinya menjadi seorang pengacara.
"Iya, kayaknya Om," ujarku malu-malu.
"Wah, semangat ya. Gaga juga mau masuk ke Ekadanta. Mau ambil jurusan hukum katanya," ungkap Om Haikal. Aku hanya mengangguk-angguk paham. Padahal aku sudah tahu tentang itu.
"Alleta juga katanya mau ke Ekadanta." Tiba-tiba saja Om Haikal menyinggung kekasih Gaga itu. Kabar itu membuatku sedih dan cemburu untuk ke sekian kalinya. "Mau ambil jurusan manajemen bisnis katanya. Gaga sama Alleta itu memang suka kompakan. Om sebenernya gak nyangka mereka bisa pacaran seserius itu. Padahal masih SMA, sampai janjian mau masuk kampus yang sama."
Hatiku semakin terasa pegal mendengarnya.
Om Haikal terus bercerita mengenai Gaga dan Alleta. Masa pacaran mereka yang sudah berlangsung satu tahun lebih, Alleta yang sering ke rumah dan mengobrol banyak hal dengannya. Alleta yang ceria, baik hati, dan humoris. Juga Om Haikal bercerita bagaimana Gaga pun sudah dekat dengan keluarga Alleta.
"Om," potongku akhirnya setelah mendapat kesempatan untuk bicara. "Aku masuk dulu, makasih rotinya."
Lalu aku pun meninggalkan Om Haikal yang masih sibuk mencuci mobilnya. Aku sudah tidak tahan dengan rasa cemburu yang aku rasakan. Tiba di kamar, ku biarkan air mataku tumpah. Entahlah, mendengar Om Haikal yang begitu mendukung hubungan Gaga dan Alleta, membuatku sadar, kesempatan kecil yang mungkin aku miliki untuk bersama dengan Gaga, ternyata tidak pernah ada.
Selama ini aku selalu senang jika mengobrol dengan Om Haikal. Karena walaupun tidak bisa mengobrol dengan Gaga, mengobrol dengan ayahnya, membuat aku menjadi merasa dekat dengan Gaga. Om Haikal juga sangat ramah dan baik terhadapku, tidak seperti anaknya yang bahkan tak pernah menyapaku. Sekalipun.
Ya. Sekalipun.
Bahkan jika hari raya, atau acara apapun, ia menyapaku hanya karena sedang bersama ayahnya. Jika tidak, maka aku seakan tembus pandang baginya. Jika berpapasan Di sekolah atau di rumah, tak pernah ia menganggapku ada.
Teman-temanku yang mengetahui perasaanku terhadap Gaga sering berkata, apa sebenarnya yang aku lihat dari seorang Gaga. Gaga memang layak untuk ditaksir, diidolakan, tapi jika ia tak pernah ramah padaku padahal kami bertetangga, bukankah melupakannya adalah sesuatu yang sangat bijak? Dirimu sendiri butuh dihargai. Dirimu sendiri berhak dicintai. Kenapa masih memikirkan seseorang yang bahkan tak pernah notice dengan keberadaan kita?
Akhirnya setelah nyaris delapan tahun menyukainya, aku memutuskan untuk melepaskannya. Benar-benar akan berusaha untuk melepaskannya. Jika Gaga bisa berpacaran selama itu dengan Alleta, bahkan orang tua mereka masing-masing sudah mendukung hubungan mereka, lalu mereka pun akan berkuliah di kampus yang sama, maka hanya tinggal menunggu waktu menyatukan mereka dalam hubungan yang lebih serius.
Lalu untuk apa aku masih menatap ke arah Gaga? Kesempatanku sedari dulu memang tak pernah ada. Dan aku pun tak pernah mengharapkannya. Lalu untuk apa aku masih di sini? Berada di sudut gelap yang tak pernah sama sekali Gaga lihat.
Aku pun sadar. Sudah cukup. Aku harus melanjutkan hidupku tanpa rasaku terhadap Gaga. Dan untuk pertama kalinya aku bertekad, aku pun memutuskan, mulai detik ini perjuanganku bukan agar Gaga menyadari keberadaanku, tapi perjuanganku sekarang adalah untuk menghapus Gaga dari dalam hatiku.