🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Kamu masih mencintainya?
Sejenak Aini terpaku. Alergi udang? Kenapa wanita dihadapannya ini seperti tau banyak tentang suaminya, apakah mereka pernah memiliki hubungan yang spesial sebelumnya? Namun ekspresi wajah Daffa seperti biasa-biasa saja saat melihatnya, seperti tidak ada apa-apa. Atau memang dia yang sudah melewatkan sesuatu sejak tadi?
"Tidak apa-apa, aku makan yang lain saja." Daffa mengambil alih mangkuk ditangan Aini dan meletakkannya kembali diatas meja. "Apa kamu ingin makan sesuatu yang lain? Biar aku pesankan,"
Ada rasa sakit yang menusuk, kecil, dan mulai menggores pelan-pelan, namun cukup dalam. Kelopak matanya terasa berat untuk mengangkat, untuk menjawab tidak saja tenggorokannya seperti tercekat, seperti ada sesuatu yang menahan suaranya untuk tidak keluar.
"Ai, kamu mau aku pesankan sesuatu?" tanya Daffa sekali lagi, diusapnya pelan punggung sang istri yang dia ketahui mulai tidak baik-baik saja.
Aini menggeleng pelan, tersenyum samar, "Nggak usah, Mas. Ini aja udah cukup kok,"
Celine meletakkan sendok dan garpunya diatas piring, tatapannya masih fokus ke wajah Aini yang terlihat sudah mulai sedikit memucat, "Mungkin lain kali kamu harus lebih hati-hati memberikan makanan untuk suamimu ini, Aini. Daffa itu..."
"Cukup, Celine!" Daffa menoleh, tatapannya begitu tajam, seperti belati yang siap menggores, "Sebaiknya kamu tutup mulutmu, jangan bersikap seolah kamu sangat memahamiku."
Ketegangan menguasai, Dion jelas merasa tidak enak hati karena dia yang memang sengaja mengajak Celine untuk ikut makan siang disana atas perintah istrinya. Harusnya tadi dia tidak perlu mengikuti kemauan Fera yang memintanya untuk mengajak Daffa dan Aini untuk makan siang bersama.
"Mas, kamu jangan seperti ini. Celine benar, mungkin memang aku yang belum cukup memahami tentang kamu. Maaf..." Aini berusaha untuk tersenyum, meskipun jujur hatinya sakit saat melihat ada wanita lain yang terlihat sangat memahami suaminya. Padahal mereka cuma teman, tapi Celine seperti sangat mengenal Daffa begitu dalam.
Dia tau situasinya sudah tidak nyaman sejak awal mereka datang tadi. Meskipun istrinya ini tetap berusaha tersenyum untuk menutupinya, Daffa tau Aini pasti terluka atas sikap yang ditunjukkan oleh Fera dan Celine.
"Dion, kami duluan ya? Jam istirahat istriku sudah hampir mau habis, aku harus mengantarkannya ke tempat kerjanya lagi sekarang,"
Dion tidak ingin memperburuk keadaan, dia menganggukkan kepalanya sebagai bentuk setuju sebelum situasinya semakin genting, "Hati-hati dijalan ya Daf, Aini. Mungkin lain kali kita bisa makan siang bersama lagi, berempat."
Ada kata penekanan dalam kata berempat, entah itu sindiran yang ditunjukkan untuk Celine ataupun untuk Fera, istrinya. Yang pasti dua wanita itu memang sengaja ingin mempermalukan Aini dihadapan Daffa dan semuanya.
Tak ada penolakan karena jam istirahatnya memang sudah hampir habis, Aini hanya tersenyum hambar sembari mengangguk kecil pada ketiga teman suaminya saat Daffa pamit dan membawanya pergi meninggalkan tempat tersebut.
Hingga saat sudah masuk didalam mobil dan mobil sudah melaju meninggalkan area restaurant, Aini masih tetap memilih untuk diam. Dia mengarahkan pandangannya keluar jendela, matanya menyapu seluruh pemandangan disana, namun sayangnya hatinya tidak ikut menikmatinya. Seperti ada sesuatu yang terus menggerogoti hatinya, secara perlahan tapi pasti, Aini tau jika hatinya terluka. Dan Daffa pun bisa melihat semua itu meskipun Aini tidak mengatakan apapun.
Masih cukup jauh perjalanan ke pabrik, dan Daffa sengaja menghentikan mobilnya mendadak di tempat yang cukup sepi, didekat pepohonan yang ada di pinggiran jalan. Hal itu jelas memicu atensi Aini untuk menoleh ke arahnya.
"Kok berhenti, Mas?"
"Habis kamu ngelihatnya kesana terus, Mas jadi ngerasa kayak supir kamu deh," sengaja Daffa berkata seperti itu dengan tujuan untuk menghibur Aini, dan sepertinya itu cukup berhasil.
"Ma-maaf, Mas... Bukan maksud untuk..."
"Tidak apa-apa." Daffa mencondongkan tubuhnya mendekat, mengusap wajah Aini dengan lembut. "Maaf,"
"Untuk apa kamu minta maaf, Mas? Kamu tidak melakukan kesalahan apapun, jadi kamu tidak perlu meminta maaf padaku,"
Daffa tersenyum tipis, tangannya tak berhenti memegangi wajah sang istri, "Maaf karena aku sudah tidak jujur, Ai. Ini tentang Celine, sebenarnya Celine adalah..."
"Mantan istri kamu,"
Ada sedikit rasa sesak saat mengatakannya. Padahal Aini hanya menebak saja, tapi sepertinya tebakannya benar. Terbukti dari ekspresi wajah Daffa yang terlihat cukup terkejut saat mendengar, pria itu bahkan sampai menurunkan tangannya dari wajahnya dan menjauhkan tubuhnya, kembali duduk dengan benar meski posisi duduknya masih tetap menghadap ke arahnya.
"Aku cuma nebak aja, Mas. Tapi sepertinya tebakan aku benar ya?"
Kepalanya mengangguk pelan, tapi tatapannya tak beralih sedikit saja dari tatapan istrinya. "Kamu benar, wanita itu adalah Celine. Dia yang pernah hadir memberikan kebahagiaan, sekaligus memberikan luka dihidupku."
Ada sedikit rasa lega, sekaligus rasa sesak saat mendengar kejujuran suaminya, " Kamu masih mencintainya?"
Sejenak terdiam, Daffa meraih tangan Aini yang ada diatas pangkuan dan menggenggamnya erat-erat, "Jika aku masih mencintainya, tidak mungkin aku ada disamping kamu sekarang, Nur Aini."
Perasaan lega menyelimuti hati, meskipun tak begitu sepenuhnya. Apalagi saat melihat perhatian yang ditunjukkan oleh Celine tadi, dan dari tatapannya saja Aini sudah bisa menyimpulkan sesuatu, jika perasaan cinta itu masih ada didalam diri Celine.
"Tadi kamu belum makan banyak, kita cari tempat untuk lanjut makan dulu, bagaimana?"
Sebenarnya Aini ingin, tapi jam istirahatnya sudah hampir habis, "Nggak usah kayaknya deh, Mas, soalnya ini udah hampir jam satu juga. Kamu juga harus balik ke kantor kan,"
"Yakin nggak mau? Nanti kamu kelaparan gimana?"
"Nggak, Mas. Aku tadi udah makan cukup banyak kok dan udah kenyang," jawabnya yakin, supaya suaminya tidak khawatir. "Oya Mas, nanti sore aku pulangnya mampir ke rumah Ayah dulu ya? Nggak apa-apa kan?"
"Aku suruh supir buat jemput kamu ya, soalnya hari ini sepertinya aku pulang agak malaman."
"Nggak usah, Mas.. Nanti aku nebeng sama Hana aja sekalian, katanya dia juga mau sekalian jenguk ayah." jawab Aini jujur, karena tadi pagi Hana memang bilang begitu.
"Kamu yakin?" bukannya tidak percaya, hanya saja dia memang khawatir, apalagi istrinya akan pergi dengan naik motor.
Bukannya menjawab, Aini malah tertawa melihat wajah suaminya yang nampak begitu serius, "Kamu kenapa sih Mas kayak nggak yakin begitu? Lagian kenapa emang kalau naik motor? Malah bisa lebih cepat jalannya, bisa nyalip-nyalip begitu,"
Melihat tawa itu hatinya merasa lega, ketegangan yang sempat terjadi sebelumnya kini berangsur hilang dan tergantikan oleh suasana hangat yang terjadi diantara mereka berdua.
"Nyalip-nyalip apanya, nggak ada nyalip-nyalip. Sini kasih nomor telefon teman kamu itu sama, Mas." Daffa merogoh ponselnya dari balik jasnya dan menyodorkannya pada Aini.
Keningnya sedikit berkerut, Aini heran saja kenapa Daffa sampai harus minta nomor Hana segala, "Tapi buat apa ya, Mas?"
"Buat ngatur kecepatan motornya. Kamu boleh pergi naik motor, tapi kecepatannya Mas yang atur!"
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧