Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam di Langit Jogja
Malam itu, langit Surabaya sedikit mendung, namun halaman pesantren keluarga Haji Ibrahim tampak hangat.
Lampu-lampu taman menyala remang, menambah nuansa haru di malam pernikahan yang syar’i namun tetap menguras hati.
Di bawah pohon ketapang yang rindang,
kursi dan meja tamu bersusun dan beberapa hidangan sederhana disusun rapi. Tak ada dekorasi mewah, tak ada kamera profesional. Hanya keluarga dekat dan beberapa sahabat yang hadir. Acara akat hari itu berlangsung tenang dan sakral.
Azam duduk bersimpuh, wajahnya tenang tapi matanya menyimpan gelombang. Di hadapannya, Haji Ibrahim, Ustazah Maryam, dan Humairah dengan balutan kerudung putih gading yang lembut. Tak jauh di samping, duduk Nayla, mendampingi Azam. Matanya menerawang, senyumnya tetap terukir, tapi tangannya menggenggam erat kain gamisnya sendiri. Ia tengah berperang dengan dirinya sendiri.
Di antara tamu-tamu yang hadir dengan pakaian sederhana namun rapi, Azam duduk dengan gamis putih dan sorban ringan di bahu. Wajahnya tenang, tetapi matanya terlihat sedikit berkabut.
Di sisi lain, Humairah duduk anggun, mengenakan gamis krem muda dan jilbab senada. Wajahnya teduh, sesekali menunduk malu. Nayla duduk tak jauh dari sana. Ia tersenyum dan menyapa tamu, menyambut hari ini seperti seorang kakak yang menikahkan adiknya.
Haji Ibrahim membuka akad dengan khutbah nikah. Suaranya mantap, lantang namun menyejukkan. Setelah itu, saksi diminta bersiap. Salah satu dari dua saksi adalah Nayla sendiri—duduk dengan gamis biru tua, wajahnya teduh,namun dalam dadanya bergemuruh.
Saat Azam menjabat tangan ayah si wanita dan menarik napas panjang. Suaranya tegas,
"Qobiltu nikahaha..."hingga seluruh saksi mengucap kata "SAH"
Tamu-tamu mengucap takbir dan doa serempak. Suara "Allahu Akbar" terdengar bersahutan. Humairah meneteskan air mata syukur. Nayla pun mengalihkan pandangan, menyeka ujung matanya diam-diam.
Selesai ijab kabul, Azam menghampiri Humairah. Ia menunduk rendah dan mencium tangan gadis itu, sebagai bentuk penghormatan dan tanggung jawab. Lalu, Azam berjalan pelan ke arah Nayla.
Tak satu kata pun keluar, hanya genggaman tangan Azam yang singkat namun dalam—seolah mengatakan “Terima kasih karena telah begitu kuat.”
Nayla menunduk dan membalas lirih, “Bersyukurlah, Mas Azam. Allah menjawab rindumu dengan cara terbaik.”
Langit di Surabaya seketika mendung seolah memahami hati Nayla yang tenang di luar, namun bergetar di dalam.
Sehari setelah acara pernikahan Azam yang kedua. Mereka kembali bertolak ke Jogja, karena baik Ajam maupun Nayla harus bekerja karena meteka tak mengajukan cuti. Hanya izin bebetapa hari di kampusnya.
Rumah baru untuk Azam dan Humairah
Rumah itu berdiri anggun,masih satu hamparan tanah, tak jauh dari rumah utama Nayla dan Azam, hanya berjarak tiga puluh meter. Rumah mungil nan hangat, yang Nayla siapkan dengan tangannya sendiri untuk menyambut istri kedua suaminya.
Di depan pintu rumah itu, Nayla berdiri bersama Humairah. Gadis itu tampak gugup, menggenggam ujung jilbabnya erat. Malam ini, untuk pertama kalinya ia akan menjalani hidup sebagai seorang istri.
“Rumah ini hadiah dariku,” ujar Nayla pelan, matanya menatap rumah berukuran sedang. “Semoga kau nyaman di dalamnya. Tempat ini akan menjadi saksi bagaimana kau membangun cinta dengan Mas Azam, dalam restu yang halal.”
Humairah menunduk, air matanya menetes diam-diam.
“Mbak Nayla… aku tak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Mbak…”
“Tak perlu dibalas, Humairah,” potong Nayla lembut, senyum tipisnya tersungging. “Cukup bahagiakan dia dengan caramu. Cintailah dia, bukan untuk merebut, tapi untuk membersamai.”
Nayla mendekat, menatap wajah Humairah yang kemerahan menahan malu dan haru.
“Humairah...”
Suaranya lembut. “Kamu sah menjadi istri dari laki-laki yang sangat aku cintai, dan aku tahu… kamu akan menjaganya sebaik yang aku lakukan.”
Humairah menunduk, matanya berkaca-kaca.
“Mbak Nayla… aku takut, aku belum layak.”
Nayla tersenyum kecil, menyentuh bahu adik barunya.
“Rasa takut itu justru tanda bahwa kamu akan menghargainya. Jadilah dirimu sendiri, dan jangan pernah takut mencintai Mas Azam. Ia memang tampak tegas, tapi hatinya luas.”
Lalu Nayla berdiri, perlahan membuka pintu rumah baru itu.
“Mas Azam,” panggilnya pelan.
Azam pun berdiri, lalu melangkah mendekat pada Nayla. Tatapannya sebentar bertemu. Ada ribuan kata yang tertahan, namun hanya satu yang akhirnya keluar dari mulut Nayla.
“Jagalah dia… seperti kamu menjagaku, Mas...”
Azam mengangguk, matanya merah.
Wajahnya tegas, namun matanya menyimpan semburat luka. Menatap Nayla adalah luka dan cinta dalam satu paket.
Nayla mengangguk. Ia menyerahkan tangan Humairah pada suaminya.
“Malam ini... aku titipkan adik baruku. Jagalah ia. Dan... jagalah hatimu juga, Mas Azam.”
Azam menatapnya dalam diam. Ada berjuta kata yang tak bisa ia ucapkan. Ia hanya menjawab dengan anggukan dalam, lalu menggenggam tangan Humairah, mengajaknya masuk ke rumah baru mereka.
Pintu tertutup.
Nayla memutar badan, berjalan kembali ke rumahnya seorang diri. Malam itu, bukan hanya kaki yang berat melangkah—hatinya pun demikian.
Namun seperti biasanya, Nayla sujud di sepertiga malam, mencari ketenangan di hadapan Rabb-nya.
Namun di atas sajadahnya, Nayla duduk bersimpuh.
“Ya Allah...
Jika malam ini adalah ujian keikhlasan, ajarkan aku mencintai tanpa menggenggam.
Jika ini bagian dari takdir-Mu, maka kuatkan lah hatiku agar tak tersesat oleh cemburu.
Aku ikhlas, ya Rabb.. karena aku tahu, tidak semua cinta harus dimiliki sepenuhnya.”
Air mata jatuh membasahi sajadah.
Namun di sana, di malam itu, ada dua perempuan yang sama-sama mencintai lelaki yang sama…
Dan keduanya memilih untuk saling menguatkan, bukan saling mengalahkan.
“Ya Allah...
Malam ini aku sendiri, tapi aku tidak merasa ditinggalkan.
Aku memilih ini bukan karena lemah, tapi karena cinta. Izinkan aku tetap mencintai-Mu di atas segalanya.
Dan jika harus menetes air mata, biarlah itu menjadi saksi bahwa aku sedang belajar ikhlas.”
Air mata terus jatuh.
Namun dalam isak yang tertahan, Nayla tidak menyesali keputusannya.
Karena ia tahu...
Cinta yang dipayungi iman, selalu punya cara untuk bertahan—meski tak selalu menjadi satu-satunya.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan