NovelToon NovelToon
Meant To Be

Meant To Be

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Beda Usia / Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: nowitsrain

El Gracia Jovanka memang terkenal gila. Di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah melanglang buana di dunia malam. Banyak kelab telah dia datangi, untuk sekadar unjuk gigi—meliukkan badan di dance floor demi mendapat applause dari para pengunjung lain.

Moto hidupnya adalah 'I want it, I get it' yang mana hal tersebut membuatnya kerap kali nekat melakukan banyak hal demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan sejauh ini, dia belum pernah gagal.

Lalu, apa jadinya jika dia tiba-tiba menginginkan Azerya Karelino Gautama, yang hatinya masih tertinggal di masa lalu untuk menjadi pacarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hot Chocolate and the Little Sparks of Worries

...Bagian 3:...

...Hot Chocolate and the Little Sparks of Worries...

...💫💫💫💫💫...

Owner kafe gila mana yang lebih memilih berjaga di belakang meja kasir, pada hari Minggu, ketika hari sedang mendung, di saat dia bisa saja tinggal di rumah dan bermalas-malasan? Jovanka yakin jawabannya hanya Karel. Padahal lelaki itu punya cukup karyawan untuk meng-handle semua pekerjaan, kenapa masih repot-repot harus turun tangan?

Usai menghabiskan beberapa detik mematung di tengah pintu kafe, Jovanka akhirnya melangkah masuk dengan enggan. Matanya melirik ke sembarang arah, berusaha menghindari kontak mata dengan Karel yang tengah sibuk mengelap area counter.

"Satu es Americano, triple shot," ucapnya.

Lelaki di hadapannya berhenti mengelap, menaikkan pandangan, lalu perlahan meletakkan barista cloth di depan mesin kopi. Normalnya, akan muncul pertanyaan "Ada lagi tambahannya, Kak?" setelah lelaki itu berdiri di depan komputer untuk menginput pesanan. Namun, kali ini yang dilakukannya adalah bergerak ke sisi kanan, menjauhi layar komputer, menuju rak penyimpanan beraneka ukuran cup kopi.

Jovanka ingin memprotes, tetapi suaranya tidak keluar sama sekali. Sebagai gantinya, dia hanya bisa menghela napas panjang ketika Karel kembali ke hadapannya membawa satu cup hot chocolate ukuran large dan dua keping butter croissant.

"The bill's on me," kata lelaki itu.

"Gue pesan es Americano triple shot, bukan cokelat panas sama butter croissant." Jovanka menaikkan dagu, menatap kesal, sementara Karel tampak tidak peduli.

Segala pesanan yang sudah dibuat, diletakkan saja di hadapan Jovanka, lalu Karel melenggang pergi sambil melepas ikatan apron dari pinggangnya.

"Wan, tolong kasirin bentar, saya mau ke toilet." Karel menyerahkan apron cokelat tua itu pada Irwan, salah satu karyawan kafe, lalu dalam sekejap sudah hilang dari pandangan Jovanka.

"Ada lagi yang bisa dibantu, Kak?" Itu suara Irwan.

Jovanka menoleh pada pemuda berusia awal 20-an itu, tersenyum kecut, lalu menggelengkan kepala. "Makasih," ucapnya, lantas bergegas pergi membawa hot chocolate dan butter croissant pemberian Karel.

Ketika pintu kafe terbuka, hujan mulai turun. Rintiknya jatuh tanpa ragu, deras disertai sapuan angin dingin yang lumayan membuat tubuh Jovanka merinding.

"Oke, sekarang apa lagi?" gerutunya.

Niatnya, dia mau langsung pulang ke apartemen yang jaraknya cuma beberapa puluh meter dan bisa ditempuh jalan kaki. Tapi karena hujan turun tanpa permisi, Jovanka terpaksa mengurungkan niat dan segera balik kanan.

Kepalanya menoleh ke seluruh sudut, memindai bangku-bangku kosong untuk memilih spot mana yang bisa dia gunakan untuk duduk. Yang jauh dari keramaian, yang terpencil, dan kalau bisa, jauh sekali dari jangkauan pandang seseorang di belakang meja kasir.

Beberapa lama memindai, pilihan Jovanka jatuh pada meja paling ujung sebelah kiri, dekat jendela kaca. Di situ terdapat sekat patahan yang membuat akses pandang ke meja kasir terhalang sama sekali. Nilai plus lainnya, dia bisa duduk di sofa empuk, alih-alih kursi besi.

Tanpa berpikir lebih lama, Jovanka berjalan menuju spot incarannya. Bokongnya serasa diserap begitu menyentuh permukaan sofa, seakan ada tangan-tangan yang menariknya kuat, memintanya betah berlama-lama di sana.

Di luar, hujan turun semakin deras. Tampiasnya membuat kaca bening di sebelah kanan Jovanka berembun, mengaburkan bayangan wajahnya yang murung.

Ah, alangkah indahnya jika embun-embun itu juga bisa mengaburkan perasaannya pada Karel dan membuatnya perlahan-lahan musnah. Jadi Jovanka tidak perlu merana lama-lama. Tidak perlu nelangsa menangisi laki-laki yang 12 tahun lebih tua darinya itu.

Jovanka meraih cup hot chocolate di hadapannya, mengangkatnya perlahan, merasakan kehangatan yang menjalar dari telapak tangannya. Uap tipis mengepul dari permukaan cairan cokelat pekat, membawa aroma manis yang familier. Aroma yang sama seperti malam itu.

"Di sini bukan tempat buat nangis. Kalau mau, gue bisa bawa lo ke tempat yang lebih aman."

Malam itu, hari juga berhujan. Di depan lobi apartemen yang sepi, Jovanka berjongkok sendirian, menangis tersedu-sedu seperti tidak ada hari esok untuk menumpahkan lagi air matanya. Jovanka pikir akan menghabiskan malamnya di sana, menuntaskan tangis sampai suaranya habis dan tenggorokannya kering kerontang.

Namun, seorang pria berhoodie hitam tiba-tiba saja muncul di depannya, mengajak bicara seperti mereka sudah saling mengenal untuk waktu yang lama. Entah apa yang ada di kepala Jovanka waktu itu sampai dengan mudahnya mengiakan tawarannya. Begitu polos mengikuti langkah kaki si pria yang membawanya naik ke lantai paling atas gedung apartemen, menuntunnya menjelajah area rooftop untuk tiba pada sebuah ruangan.

Pencahayaan di sana remang, hanya ada satu lampu kemuning menggantung di atap, tepat di tengah-tengah ruangan. Ada satu sofa beludru panjang yang muat empat orang, satu meja kaca bundar di depannya, dan satu lemari kayu yang lapisan catnya masih mengilap seperti baru.

Di sana, Jovanka kemudian melanjutkan tangisnya, di atas sofa, memeluk kedua lutut dan membenamkan wajah di antara kedua lututnya. Sementara pria berhoodie yang membawanya ke sana menunggu dengan sabar di dekat pintu, berdiri anteng tanpa berkomentar apa-apa, hanya sibuk mengunyah permen karet rasa anggur yang aromanya sampai di hidung Jovanka meski lendir-lendir bening sudah mulai memenuhi rongga hidungnya.

Jovanka tidak ingat betul berapa lama dia menangis malam itu. Yang dia ingat hanya sensasi lega yang dirasakan setelah selesai menangis, juga rasa hangat yang perlahan-lahan menjalar sampai ke hatinya. Untuk kali pertama setelah sekian lama, ada seseorang yang peduli padanya.

Satu hal lain yang Jovanka ingat adalah, seusai tangisnya reda, Karel meninggalkannya sebentar di rooftop. Untuk kembali tak lama kemudian, membawa satu cup cokelat panas dan sandwich ayam. Dia meletakkannya di meja kaca, lalu kembali menepi ke sisi pintu setelah berkata,

"Minum. Nggak akan bikin masalah lo hilang, tapi setidaknya bisa bantu memperbaiki suasana hati dan perasaan lo."

Jovanka mengikuti sarannya. Cairan cokelat hangat itu terasa seperti pelukan yang tidak pernah lagi dia terima dari siapa pun. Manis, hangat, menenangkan. Sejak saat itu, hot chocolate jadi minuman andalan Jovanka setiap kali dia butuh kenyamanan. Setiap kali dunia terasa terlalu berat untuk dipikul sendirian.

Dan Karel tahu itu.

Jovanka membawa cup itu ke bibirnya, menyeruputnya pelan. Rasanya persis seperti apa yang dia ingat. Tidak terlalu manis, tidak juga terlalu pahit.

Di luar jendela, petir menyambar, diikuti gemuruh guntur yang terdengar cukup dekat. Jovanka sedikit tersentak, jari-jarinya mencengkeram cup lebih erat.

Memulai kehidupan baru di kota asing ternyata tidak semudah kelihatannya. Jovanka masih sesekali merindukan ibunya, meski ketika mereka masih tinggal serumah, lebih banyak pertengkaran yang terjadi daripada interaksi menyenangkan layaknya keluarga.

Kehadiran Karel malam itu membuat Jovanka merasa eksistensinya terlihat. Kesepian yang hampir membuatnya sekarat, perlahan-lahan membaik, dan dia jadi punya keinginan untuk hidup lebih lama agar punya waktu mencari apa yang disebut orang-orang sebagai bahagia.

Karel membukakan gerbangnya, sekaligus menjadi seseorang yang membangun tembok begitu tinggi agar Jovanka tidak menerobos terlalu jauh.

"Oh shit!"

Bersambung.....

1
Zenun
Emak ama baba nya mah nyantuy🤭
Zenun
Udah mulai buka apartemen, nanti buka hati😁
Zenun
Kamu banyak takutnya Karel, mungkin Jovanka mah udah berserah diri😁
Zenun
asam lambungnya kumat
Zenun
Mingkin Jovanka pingsan di dalam
Zenun
Ayah harus minta maaf sama penyihir🤭
Zenun
Ntar kalo Elliana gede, kamu nikahin lagi
nowitsrain: Takut bgtttt
total 3 replies
Zenun
laaa.. kan ada babe Gavin😁
nowitsrain: Ya gapapa
total 1 replies
Zenun
iya betul Rel, harusnya dia anu ya
Zenun
dirimu minta maaf, malah tambah ngambek😁
Zenun
kayanya lebih ke arah ini😁
nowitsrain: Ssssttt tidak boleh suudzon
total 1 replies
Zenun
Coba jangan dipadamin, biar nanti berkobar api asmara
nowitsrain: Gosong, gosong deh tuh semua
total 1 replies
Zenun
Kan ada kamu, Karel🤭
nowitsrain: Harusnya ditinggal aja ya tuh si nakal
total 1 replies
Zenun
iya tu, tanggung jawab laaa
nowitsrain: Karel be like: coy, ini namanya pura-pura coy
total 1 replies
Zenun
Taklukin anaknya dulu coba😁
nowitsrain: Anaknya Masya Allah begitu 😌😌
total 1 replies
Zenun
Minimal move dulu, Karel🤭
nowitsrain: Udah move on tauu
total 1 replies
Zenun
kau harus menyiapkan seribu satu cara, kalau emang mau lanjut ama perasaan itu
nowitsrain: Awww ide bagussss
total 3 replies
Zenun
Dia santuy begitu karena Gavin sama kaya Karel, belum kelar sama masa lalu🏃‍♀️🏃‍♀️
nowitsrain: Stttt 🤫🤫
total 1 replies
Zenun
Kalo diramahin nanti kebawa perasaan😁
nowitsrain: 😌😌😌😌😌
total 1 replies
Zenun
Minta pijit Kalea enak kali ya
Zenun: hehehe
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!