Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Api yang Membentuk Sayap:
Langit menjadi kelam. Awan-awan hitam berputar di atas hutan tua. RAV'ZAKH mengaum, suaranya menggetarkan bumi. Setiap langkahnya membakar tanah, dan matanya menyala merah seperti dua bara neraka.
Jiang Hao melayang di udara, diselimuti aura hitam bercampur cahaya perak dari kecapi Ying’er. Tangannya—tangan iblis itu—berubah menjadi bentuk baru: seperti sayap patah yang bersinar. Seolah api neraka dan cahaya surgawi bertarung dalam tubuhnya.
“Jangan biarkan dia menyentuh tanah!” teriak Mu Zhen di bawah, menebas roh-roh jahat yang terus bermunculan dari tanah.
Lan Qi mengaktifkan formasi pelindung, menahan kabut iblis agar tidak menelan Ying’er.
Tapi Ying’er tidak takut. Jari-jarinya memainkan nada tinggi, menciptakan jalinan nada suci yang menembus kegelapan.
Cahaya menyelimuti Jiang Hao.
Dengan satu teriakan, ia meluncur ke arah RAV'ZAKH, menghantam dada makhluk itu. Ledakan dahsyat terjadi, membuat pepohonan tumbang dan kabut tersedot ke udara.
Namun RAV'ZAKH tidak mati. Ia membuka enam lengannya, memukul udara dengan kekuatan dahsyat. Jiang Hao terpental, darah menyembur dari mulutnya. Tapi ia tidak menyerah. Dalam luka, matanya justru semakin tajam.
“Ini bukan hanya tentang aku lagi… ini tentang semua yang kau sakiti!”
Ia mengangkat tangan kanannya ke langit. Untuk sesaat, dunia membeku. Suara kecapi Ying’er berubah—dari melodi lembut menjadi irama perang yang agung. Nada itu membangkitkan sesuatu dari dalam diri Jiang Hao: cahaya putih keemasan mulai keluar dari dadanya, membentuk sayap cahaya di belakang punggungnya.
Ibu Kegelapan di langit melotot, “TIDAK MUNGKIN! Itu… ajian Cahaya Terakhir!”
Jiang Hao terbang, melewati api dan asap, menghantam kepala RAV'ZAKH dengan kekuatan penuh. Sayap cahayanya menebas enam lengan makhluk itu, mematahkan tanduknya, hingga tubuh raksasa itu roboh seperti gunung yang runtuh.
Suasana sunyi. Tanah terbakar, kabut tersingkir. Di tengah kawah yang terbentuk, Jiang Hao berdiri, napasnya terengah. Namun ia masih hidup.
Ibu Kegelapan menatap dari langit dengan mata nyala penuh kebencian. Tapi ia tidak turun. Ia menghilang, meninggalkan kutukan di udara.
“Aku akan kembali, anakku. Dan saat itu tiba… kau akan memilih antara darahmu… atau kekasihmu.”
Ying’er berlari, meraba jalan hingga menemukan Jiang Hao. Tangannya menggenggam wajah lelaki itu yang penuh luka.
“Kau melawan takdirmu sendiri… dan menang.”
Jiang Hao memejamkan mata. “Belum… karena takdir itu belum selesai.”
Ia menatap jauh ke arah langit yang perlahan cerah.
____
Langit pagi diselimuti abu yang perlahan turun seperti salju kelabu. Di atas reruntuhan hutan tempat Rav'Zakh tumbang, angin membawa aroma kematian dan kemenangan yang pahit. Tapi kedamaian ini hanyalah permukaan tipis—karena di baliknya, bahaya baru mulai menyusun langkah.
Di ruang pemulihan Sekte Cahaya Selatan, Ying’er duduk di samping ranjang Jiang Hao yang masih tak sadarkan diri. Tangannya menggenggam tangan lelaki itu yang dingin namun kokoh, masih memancarkan denyut samar dari kekuatan iblis di dalam dirinya.
Mu Zhen berdiri di dekat jendela, memandang langit kelabu. Di belakangnya, seorang lelaki tua berjubah putih bersulam lambang naga bercahaya masuk perlahan. Ia membawa gulungan kuno berwarna emas dan tatapan berat penuh beban sejarah.
“Ying’er,” kata lelaki tua itu. “Sudah saatnya kau tahu.”
Ying’er menoleh, alisnya bertaut. “Tahu apa?”
“Siapa kau sebenarnya.”
Ia membuka gulungan itu. Di dalamnya terlukis silsilah yang terhapus sebagian oleh api. Namun ada satu nama yang tetap terlihat: Ying Lian—putri terakhir dari klan suci yang dahulu mampu menyegel iblis paling tua dalam sejarah negeri.
“Namamu… berasal dari dia. Ibunda kandungmu. Kau adalah pewaris kekuatan suci tertinggi.”
Ying’er mengguncang kepalanya pelan. “Aku… hanya gadis buta dari desa utara.”
Lelaki tua itu mendekat, lalu menyentuh dahinya dengan dua jari. Sebuah cahaya samar mengalir, dan dalam benaknya, Ying’er melihat kilasan masa kecil—ibunya tersenyum, lalu terbakar dalam upaya menyelamatkannya dari pasukan kegelapan.
Air matanya mengalir tanpa suara.
“Kau satu-satunya yang bisa memisahkan Jiang Hao dari kutukan darah iblis. Tapi untuk itu… kau harus membayar dengan sesuatu.”
Mu Zhen menoleh cepat. “Apa maksudnya?”
“Perjanjian Rahasia. Sebuah ritual kuno. Untuk menyelamatkan seseorang dari darah iblis… maka separuh jiwa yang mencintainya harus menghilang dari dunia.”
Ying’er menatap Jiang Hao. Dalam diam, ia menggenggam tangannya lebih erat.
“Kalau itu satu-satunya cara… aku rela.”
Mu Zhen menggertakkan gigi. “Tidak! Kau masih terlalu muda… Jangan korbankan hidupmu demi dia!”
Ying’er tersenyum pelan. “Aku tak pernah benar-benar hidup… sampai aku bertemu Jiang Hao. Jika aku harus kehilangan dunia ini untuk menyelamatkan dia… maka biarlah begitu.”
---
Namun, di ruang rahasia bawah tanah sekte, seseorang sedang mengawasi percakapan mereka lewat cermin air. Sosok berjubah gelap tersenyum licik, lalu berbicara ke arah bayangan besar di belakangnya.
“Mereka akan melakukan ritual itu… seperti yang kau harapkan, Guru. Dan saat Ying’er melepas jiwanya…”
“…kita rebut kekuatannya. Dan gunakan untuk membangkitkan Dia.”
Bayangan itu perlahan membuka mata. Dan dunia akan segera tahu: Rav’Zakh bukanlah musuh terakhir.
Udara terasa berat di ruang meditasi dalam tanah itu. Malam telah berganti, namun tidak ada keheningan dalam hati Ying’er. Ia duduk bersila di hadapan lingkaran simbol kuno, dikelilingi lilin-lilin yang bergetar cahayanya seperti ikut ragu.
Di tengah lingkaran itu, Jiang Hao masih tertidur. Tubuhnya dikelilingi semburat aura hitam kehijauan, menggeliat seperti asap dari neraka. Di dahi pria itu, lambang kutukan berdetak perlahan. Setiap denyutnya adalah tanda bahwa waktu semakin sempit.
Mu Zhen masuk sambil membawa kendi berisi air suci dari Puncak Tertinggi. “Setelah ritual ini dimulai, tidak akan ada jalan kembali,” katanya pelan. “Kalau kau ragu, katakan sekarang.”
Ying’er berdiri. Matanya yang buta menghadap tepat ke arah gurunya. Tak ada gemetar. Tak ada keraguan.
“Aku tak ingin hidup dalam dunia yang tak memiliki Jiang Hao.”
Mu Zhen menarik napas dalam. “Kalau begitu… kita mulai.”
Ia mulai membacakan mantra dari Kitab Segel Jiwa, dan aura suci mulai memenuhi ruangan. Simbol-simbol menyala di lantai. Lingkaran sihir aktif. Tubuh Jiang Hao mulai melayang perlahan.
Lalu… Ying’er melangkah masuk ke dalam lingkaran.
Cahaya menyilaukan meledak. Suara seperti retakan tulang dan jerit jiwa menggema dari dalam tanah. Dan di saat yang sama, ingatan demi ingatan mulai ditarik dari Ying’er: kenangan akan tawa Jiang Hao, momen-momen saat ia pertama kali mengenal cinta, harapan yang ia tanamkan diam-diam.
Semua… mulai hilang.
Tapi sebelum ingatan itu benar-benar pudar, tangan Jiang Hao tiba-tiba meraih tangan Ying’er. Matanya terbuka—merah bercampur hijau, liar namun jernih. Ia melihat Ying’er perlahan lenyap di hadapannya.
“YING’ER!! TIDAK!!!”
Aura kegelapan dari tubuhnya pecah, meledak keluar dan menabrak dinding ruang meditasi. Jiang Hao bangkit, mata membara.
“Kau… tak boleh berkorban untukku!”
Namun sudah terlambat.
Ying’er berdiri di hadapannya, tubuhnya mulai transparan. Ia tersenyum… tetapi tatapannya kosong.
“Siapa… kau?”
Jiang Hao terdiam. Jiwanya runtuh.
Ia memeluknya, tapi tubuh itu seperti kabut. Dan di tengah kesedihan itu—tiba-tiba suara tawa rendah menggema dari kejauhan.
“Hahahaha… sungguh kisah yang menyentuh.”
Sosok berjubah gelap melangkah keluar dari balik bayangan. Cermin kuno tergantung di lehernya. Di belakangnya, sebuah lubang hitam terbuka di udara, berdenyut dengan energi iblis purba.
“Terima kasih atas pengorbananmu, Ying’er. Sekarang… biarkan aku mengambil sisanya.”
Dari lubang hitam itu, makhluk bersayap delapan mulai menjulur keluar. Kaisar Kegelapan yang telah lama tersegel… mulai bangkit.
To be continued ✍️
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh