Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.
Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.
Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Kaelen berdiri di tepi jurang, jubahnya berkibar tertiup angin dingin dari lembah bawah Aeskar. Matanya menatap kosong ke kejauhan, ke tempat di mana langit dan daratan saling membaur jadi kabut kelabu. Ia tidak mengatakan sepatah kata pun sejak pertarungan di Menara Cermin. Sejak Lyra…
“Masih mikirin dia?” suara Arven memecah keheningan, setenang angin sore tapi setajam belati. “Kamu tahu dia bakal tetap hidup. Lyra itu keras kepala. Bahkan kematian pun ogah ngajak ribut dia.”
Kaelen tidak menjawab. Tapi ada gerakan samar di rahangnya yang mengencang. Arven tahu betul, itu bukan tanda marah. Itu luka. Luka yang dalam. Luka yang tidak bisa ditambal oleh mantra penyembuh mana pun.
“Lo harus berhenti nyalahin diri sendiri,” Arven mendekat, menggenggam batu kecil lalu melemparkannya ke jurang. “Lo bukan penyebab semuanya.”
“Aku... janji buat lindungin dia,” Kaelen akhirnya bicara, suara rendahnya nyaris tertelan angin. “Dan dia malah harus jatuh ke tangan si iblis pakai jubah ungu itu.”
Arven menyilangkan tangan. “Dia bukan gadis sembarangan, Kael. Dia pewaris kunci Aedhira. Kalau dia sendiri bisa bikin portal neraka kebuka tanpa sengaja, lo pikir dia bakal gampang dikalahin? Please.”
Di sisi lain dunia Aedhira, Lyra mengerang pelan.
Tubuhnya terasa remuk. Seakan-akan ia baru diseret naga, ditinju minotaur, dan dilempar kembali ke realitas oleh dewa murka. Ia membuka matanya perlahan—kabur, pusing, dan tidak yakin apakah yang ia lihat itu nyata atau cuma efek dari gegar portal.
“Akhirnya bangun juga,” suara perempuan.
Lyra langsung bangkit setengah duduk—kesalahan fatal. Kepalanya berdenyut, dan ia mengerang lagi sambil meringis.
“Easy there, warrior princess. Kamu sempat koma dua hari. Jangan langsung loncat marathon,” perempuan itu duduk di kursi reyot, wajahnya disinari cahaya lentera gantung. Kulit sawo matang, mata tajam berkilat seperti musang, dan rambut merah semrawut yang diikat asal.
“Siapa kamu?” tanya Lyra curiga, refleks menggeser tangannya ke pinggang, mencari belati yang tak ada.
“Nama gue Elrani. Dulu sih rakyat biasa. Sekarang... yah, bisa dibilang setengah buronan, setengah pahlawan lokal,” ia nyengir, lalu menuangkan air ke dalam cangkir kayu dan menyodorkannya. “Lo nyasar ke wilayah runtuhan Kuil Aska. Untung gue yang nemu, bukan Shadow Raiders.”
Lyra menatap minuman itu dengan ragu. Tapi akhirnya menerimanya juga. Tenggorokannya kering seperti pasir.
“Gimana kamu tahu soal Shadow Raiders?”
“Karena gue dulunya bagian dari mereka.”
Elrani mengangkat alis, puas melihat ekspresi shock Lyra.
Lyra diam. Otaknya yang masih berkabut perlahan-lahan mulai nyambung, tapi informasi dari Elrani tadi seperti palu yang menghantam pelan tapi pasti.
“Elrani…” Lyra mengulangi, mencoba mengingat. “Kamu bilang kamu mantan Shadow Raider?”
“Yup,” Elrani menjawab santai sambil mengambil roti keras dari piring tanah liat. “Sampai akhirnya aku sadar mereka bukan cuma organisasi anti-pemerintah. Mereka cult. Pemujanya Raja Kelam.”
Lyra menelan ludah. Raja Kelam. Nama itu masih bergema di benaknya, bersanding dengan kilasan Arven yang berdiri di depan gerbang hitam, darah, dan—Kaelen.
“Kenapa kamu keluar?” tanya Lyra.
Elrani melirik ke jendela kecil di dinding tanah. “Karena mereka nyuruh aku bunuh anak kecil yang katanya ‘potensial pembawa cahaya’. Masa iya aku tega bunuh bocah enam tahun cuma karena takdir ramalan? Gila.”
Keduanya terdiam.
Suara angin luar membawa bau asap. Dunia luar masih sama—liar, penuh ancaman, dan jauh dari kata adil.
“Tapi kenapa kamu nolongin aku?” Lyra akhirnya bertanya.
Elrani tertawa pendek. “Karena kamu mirip orang yang dulu pernah aku sayang. Dia juga keras kepala, gak suka dikekang, dan nyebelin setengah mati.”
Lyra menaikkan alis. “Ex kamu?”
Elrani menyeringai. “Kuda gue. Namanya Zuzu.”
“…aku berharap kamu bercanda.”
“Gak.”
Suasana tegang mendadak mencair. Lyra menghela napas. Bahunya masih nyeri, tapi setidaknya sekarang ada sedikit rasa aman. Atau ilusi aman, mungkin. Tapi dia terima.
Sementara itu, di sisi lain Aedhira…
Kaelen duduk di samping api unggun bersama Arven. Keduanya baru saja kembali dari patroli sekitar perbatasan Utara, mencari jejak Lyra—atau siapa pun dari pihak musuh.
“Mereka tahu Lyra masih hidup,” Kaelen menggumam. “Kalau enggak, mereka gak bakal segencar ini ngirim petarung ke reruntuhan Kuil Aska.”
“Yeah,” Arven menyahut. “Tapi kita punya masalah yang lebih mendesak.”
Kaelen menoleh, matanya menyipit. “Apa lagi?”
“Surat dari Lord Therion datang pagi tadi,” jawab Arven, menyodorkan gulungan perkamen. “Rapat Dewan Aedhira dipercepat. Mereka bilang, ‘Raja Kelam telah bangkit’.”
Lyra menatap bara api di dalam tungku kecil gubuk Elrani. Cahaya oranye itu menari di bola matanya, seolah mengingatkannya pada sesuatu yang dulu pernah ia miliki—rasa hangat, rasa memiliki, rasa aman. Tapi sekarang? Semua itu cuma kenangan yang pelan-pelan memudar di balik bayangan dunia yang terlalu asing.
“Kamu tahu soal Aedhira lebih banyak daripada aku,” kata Lyra pelan. “Kalau begitu, jelaskan padaku. Kenapa mereka—Shadow Raider, Raja Kelam, semua orang itu—ngebet banget nyari aku?”
Elrani meletakkan piring yang isinya tinggal remah roti. “Karena kamu adalah satu dari ‘Yang Membawa Cahaya’. Entah kamu percaya atau nggak, darahmu itu spesial. Bukan cuma karena kamu dari dunia lain. Tapi karena kamu keturunan darah campuran.”
Lyra menoleh cepat. “Maksud kamu apa?”
Elrani mengambil gulungan kertas dari peti tua di pojokan. Di dalamnya, tergambar simbol-simbol kuno dan silsilah dengan nama-nama yang tak dikenal Lyra, kecuali satu: Caellum.
“Kamu bukan cuma manusia biasa. Ibumu—Raelith Caellum—adalah keturunan penjaga cahaya terakhir. Dan ayahmu...”
Lyra menahan napas.
“...Auron Draveil.”
Dunia seperti runtuh.
“APA?”
Elrani mengangkat tangan. “Iya, yang sama. Auron Draveil, Pengkhianat Pertama, si tangan kanan Raja Kelam, si... mantan harapan umat yang nyasar ke kegelapan.”
Lyra mundur. “Itu gak mungkin. Ibuku gak pernah bilang—”
“Karena dia melindungimu,” potong Elrani. “Auron bukan pria baik. Tapi dia mencintai ibumu. Sayangnya, cinta aja gak cukup buat nyelametin dia dari kegelapan.”
Lyra memejamkan mata, mencoba menyatukan semua potongan cerita yang berserakan. Dirinya, orang tua yang tak ia kenal, dunia ini… semua terasa seperti sandiwara rumit yang sengaja dimainkan tanpa izin darinya.
“Aku… anak dari dua dunia,” gumamnya. “Dan sekarang aku jadi incaran dua sisi.”
“Yup,” Elrani berdiri, menyampirkan jubahnya. “Tapi berita baiknya? Kamu juga bisa jadi penentu takdir dua dunia itu.”
Sementara itu, di Istana Tertinggi Aedhira…
Dewan Berkumpul.
Kaelen berdiri di sisi Arven, memandangi para petinggi yang duduk dalam lingkaran besar. Di tengahnya, sosok tinggi bersayap gelap berdiri: Lord Therion, pemimpin Kaum Sayap Malam, penyihir tertua di Aedhira.
“Kami telah mengkonfirmasi bahwa Gerbang Cermin terbuka kembali,” suara Therion menggema. “Dan bukan sembarang orang yang melaluinya. Yang membawa Cahaya telah tiba.”
“Lyra,” Kaelen bergumam pelan.
“Jika dia jatuh ke tangan Raja Kelam,” lanjut Therion, “maka perang ini akan menjadi akhir dari semua yang kita kenal.”
Arven mencengkeram gagang pedangnya. “Kita harus menemukannya duluan.”
Kaelen menunduk, tapi pikirannya melayang—ke tatapan mata Lyra, ke amarahnya, ke luka-luka yang belum sembuh.
Dan jauh di tempat lain, di dalam dirinya sendiri, suara Lyra masih bergema.
“Aku bukan boneka kalian. Aku akan memilih jalanku sendiri.”
Awan badai berkumpul di langit Aedhira.
Dan di tengah semua itu, sang gadis dari dua dunia akhirnya mulai menyadari satu hal penting—dirinya bukan korban. Ia adalah poros yang bisa mengubah segalanya.
Malam itu, Lyra terbangun karena mimpi buruk—lagi. Tapi kali ini, bukan tentang monster atau bayangan aneh yang mengejarnya. Bukan tentang Raja Kelam atau para Shadow Raider. Yang mengganggunya justru... kenangan.
“Ayahmu,” suara ibunya bergema di kepalanya, “pernah mencintai terang sebelum ia memilih kegelapan.”
Lyra duduk sambil memeluk lututnya. Suasana hutan yang tenang justru membuat pikirannya gaduh.
“Auron Draveil,” bisiknya, seperti kata itu bisa melelehkan semuanya.
Malam-malam sebelumnya, ia masih bisa menyangkal. Tapi kini, ketika Elrani menunjukkan bukti, dan ketika darahnya sendiri bergetar setiap kali ia menggunakan sihir, penolakan terasa sia-sia. Lyra mulai sadar: separuh dari dirinya berasal dari sisi yang dibenci semua orang.
“Keren sih, setengah manusia, setengah... iblis?”
Tiba-tiba terdengar suara dari luar gubuk. Lyra melompat, jantungnya nyaris copot.
“Kaelen?!”
“Surprise,” kata Kaelen santai, bersandar di pintu sambil membawa buah beri. “Aku nemu ini di jalan. Kayaknya kamu belum makan apa-apa sejak kemarin.”
“Apa kamu nguntit aku?” Lyra menyipitkan mata curiga.
Kaelen mengangkat alis. “Bukannya kamu yang ninggalin kita kayak ninja? Gak ada permisi, gak ada dadah.”
Lyra terdiam. Ia tahu mereka punya hak untuk marah. Tapi saat itu, semua terasa terlalu berat. Dan jujur aja, melarikan diri itu lebih gampang ketimbang menghadapi kenyataan.
“Maaf,” katanya pelan.
Kaelen duduk di seberangnya, mendesah. “Aku ngerti. Dunia ini nyebelin, orang-orang banyak bohong, dan kamu lagi nyari identitasmu.”
“Thanks,” ujar Lyra, “itu deskripsi hidupku banget sekarang.”
Mereka terdiam sebentar. Hanya suara jangkrik dan api yang sesekali berderak.
“Aku cuma pengen bilang,” lanjut Kaelen, “apapun darah yang mengalir di tubuhmu, kamu tetap kamu. Bukan Auron, bukan Caellum, bukan orang lain. Kamu Lyra.”
Ucapan itu sederhana. Tapi bagi Lyra, itu seperti tambalan kecil untuk hati yang sobek.
Sementara itu, di istana Shadow, Raja Kelam berdiri di balkon yang menghadap jurang neraka. Di belakangnya, sosok Auron Draveil muncul perlahan dari bayang-bayang.
“Dia sudah tahu?” tanya Raja Kelam tanpa menoleh.
Auron mengangguk. “Elrani memberitahunya.”
“Dan?”
“Dia belum memilih sisi. Tapi... dia mulai goyah.”
Raja Kelam tersenyum tipis. “Bagus. Biarkan dia merasa hancur. Orang yang hancur mudah dibentuk kembali.”
Auron tidak menjawab. Di dalam hatinya, badai bergejolak. Ia pernah memilih jalan kegelapan. Tapi sekarang, melihat putrinya berjalan di antara dua dunia... ia mulai meragukan pilihannya sendiri.
“Mungkin sudah waktunya untuk membayar dosa lama,” gumamnya.
Kembali di hutan, Lyra menatap Kaelen.
“Aku... masih takut,” akunya.
Kaelen tersenyum. “Kamu boleh takut. Tapi jangan biarkan ketakutanmu yang nyetir.”
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
“Mulai dari percaya. Sama dirimu sendiri.”
Lyra mengangguk perlahan.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak ia tiba di Aedhira, ia tidur tanpa mimpi buruk.
Besok? Entah seperti apa. Tapi malam ini... ia sedikit lebih kuat.
Pagi itu, embun belum sempat mengering dari dedaunan ketika Lyra terbangun. Cahaya matahari menyusup di antara celah pohon, dan suara burung-burung liar terdengar seperti orkestra sambutan.
Dia membuka matanya pelan, sedikit terkejut melihat Kaelen yang masih tertidur di seberangnya, mulutnya sedikit menganga—dengan dengkuran yang… ya, cukup menggelegar.
“Ini bocah bisa-bisanya ngorok kayak naga lagi batuk,” gumam Lyra sambil terkekeh pelan.
Ia bangkit perlahan, mengusap wajahnya, dan berjalan ke luar. Udara hutan pagi itu terasa segar, tapi ada kegelisahan yang tertinggal di dadanya. Bukan karena ketakutan... tapi lebih ke arah keraguan.
Selama ini, dia pikir musuhnya adalah makhluk kegelapan, Shadow Raider, atau Raja Kelam. Tapi semakin jauh ia melangkah, ia sadar: musuh terbesar adalah bayangannya sendiri—keraguan, luka lama, dan pertanyaan yang belum terjawab.
Kaelen akhirnya bangun—dengan rambut berantakan dan ekspresi seperti baru dipukul pelan sama kenyataan.
“Pagi,” sapa Lyra, menyodorkan buah beri yang mereka kumpulkan malam sebelumnya.
Kaelen menguap lebar. “Aku mimpiin kita dikejar ayam raksasa.”
“Serius?”
“Iya. Dan anehnya... ayamnya mirip Arven. Mukanya jutek banget.”
Mereka berdua tertawa. Sederhana. Tapi cukup untuk menghangatkan pagi yang dingin itu.
Setelah sarapan, mereka berkemas. Lyra tahu ia harus kembali. Tidak bisa terus kabur. Dunia masih butuh jawabannya. Dan sahabat-sahabatnya... butuh dia juga.
Di sisi lain Aedhira, Arven menatap ke dalam kolam sihir—melihat gambaran samar Lyra dan Kaelen di hutan.
“Ia akan kembali,” kata Elrani, muncul di belakangnya.
Arven hanya menangguk pelan.
“Kamu cemas?” Elrani bertanya.
“Bukan... cuma—dia satu-satunya orang yang bisa membuka gerbang antara terang dan kelam. Dan aku... terlalu sadar akan harga yang mungkin harus dia bayar untuk itu.”
Elrani terdiam, sebelum akhirnya menjawab pelan, “Terkadang, seseorang harus patah... sebelum bisa menjadi utuh.”
Sore itu, Lyra dan Kaelen tiba di tepi desa kecil di pinggiran hutan. Di sana, penduduk menyambut mereka dengan keheranan dan kekhawatiran.
“Lyra Caellum?” tanya seorang pria tua dengan jubah sederhana. “Bukankah... kamu yang kabur dari istana Arven?”
Lyra menarik napas panjang. “Aku kembali bukan untuk sembunyi. Tapi untuk bicara.”
Ia berdiri di tengah kerumunan kecil, suara dan tubuhnya gemetar, tapi sorot matanya mantap.
“Aku anak dari dunia terang dan bayangan. Aku bukan hanya warisan darah... aku adalah pilihan.”
Kaelen di sampingnya tersenyum lebar. “Dan dia juga lumayan jago nendang bokong Shadow Raider.”
Orang-orang tertawa kecil, tapi suasana mulai mencair. Tak semua langsung percaya, tentu. Tapi langkah kecil telah dimulai.
Langkah menuju jalan yang jauh lebih besar: perang yang akan datang.
Malam itu, Lyra duduk sendiri di bawah langit berbintang. Kaelen tertidur, dan suara desa mulai mereda. Ia memandangi langit.
“Auron Draveil,” bisiknya. “Aku akan menemukanmu. Dan saat kita bertemu... kita akan bicara. Sebagai ayah dan anak. Bukan sebagai bayangan dan cahaya.”
Tapi jauh di kedalaman Dunia Bawah, Auron sendiri menatap langit kelam dari jendela menara tuanya.
“Maafkan aku, Lyra... tapi jika kau datang padaku, aku tak bisa menjanjikan kau akan pulang dengan utuh.”
Dan angin malam pun berhembus, membawa janji, harapan, dan ancaman yang belum terucap.
tapi kau di harapkan di dunia edheira