NovelToon NovelToon
He Is A Psyhco

He Is A Psyhco

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri
Popularitas:944
Nilai: 5
Nama Author: ayel_zaa

azalea steffani leandra seorang anak tunggal kaya raya ,ceria dan juga manja dipertemukan dengan seorang pria yang sifatnya berbanding terbalik dengannya dan ternyata pria itu adalah pengasuhnya ketika ibunya tidak ada dirumah (bodyguard)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayel_zaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PROM NIGHT

Malam itu seharusnya Lea sudah tidur. Tapi, seperti biasa, dia keasyikan nonton drakor sampai lupa waktu. Rumah terasa hening. Terlalu hening.

Tiba-tiba…

Ting-tong.

Bel rumah berbunyi.

Lea yang tadinya rebahan langsung duduk tegak. "Siapa sih malem-malem gini?" gumamnya. Awalnya ragu, tapi karena rasa penasaran lebih besar, dia turun juga ke lantai bawah.

Begitu membuka pintu…

Tak ada siapa pun. Hanya sebuah buket bunga dahlia hitam kecil yang diletakkan rapi di depan pintu rumahnya yang megah.

“Hah? Bunga?” Lea memandang sekeliling, memastikan tak ada yang mengawasi.

“Lucu juga,” ucapnya pelan sambil mengambil buket itu dan menutup pintu.

Dia kembali ke kamar, meletakkan buket itu di meja belajar. Pandangannya tak lepas dari bunga itu.

“Cantik sih… agak misterius gitu,” gumamnya. Ia akhirnya memutuskan memajangnya saja.

Namun baru beberapa menit berselang…

Notifikasi WhatsApp masuk.

Nomor tak dikenal.

[Unknown]: "Gimana bunganya? Cantik, kan? Kaya kamu."

Lea langsung pucat. Tangannya gemetar. Ia melirik ke buket dahlia hitam itu, lalu cepat-cepat meraih dan membuangnya ke luar jendela.

Naik ke tempat tidur, dia menyelimuti tubuhnya sampai kepala. Ketakutan mulai menjalar, apalagi saat notifikasi berikutnya muncul lagi…

[Unknown]: "Kenapa dibuang? Padahal aku baru mulai…"

Lea membekap mulutnya sendiri, berusaha menahan napasnya yang mulai memburu. Tangannya gemetar menggenggam ponsel. Rasanya ruangan jadi dingin, padahal AC belum dinyalakan.

Notifikasi baru masuk.

[Unknown]: “Tenang aja… gue gak jauh kok. Selalu disisi lo.”

Lea sontak menoleh ke jendela. Tirai berkibar pelan karena angin malam. Tapi tetap saja... kesannya seperti ada yang mengintip dari luar.

“Gila… ini gak lucu,” desisnya pelan, buru-buru menutup tirai dan mengunci jendela. Dia langsung meraih ponsel, mencoba menelepon Gavin.

Sinyal… hilang.

“Gak mungkin…” katanya panik. Dia lari keluar kamar, ke ruangan yang lebih terbuka. Tapi tetap... sinyal nihil. Televisi yang tadi menyala tiba-tiba mati sendiri. Lampu ruang tamu pun berkedip sebentar lalu redup.

Jantung Lea makin kencang. Dia bersandar di dinding, napas tersengal, tangan menekan dada.

Tok… tok… tok…

Bukan bel kali ini. Tapi ketukan dari jendela kamar atas. Padahal Lea yakin, dia barusan menguncinya.

Pelan-pelan, dia mendekat ke arah tangga.

Tiba-tiba… HP-nya menyala lagi.

Satu pesan muncul:

[Unknown]: “Lo takut? maaf kalau aku bikin lo, gue cuma mau jagain lo dari orang jahat.”

Lea menjerit kecil, langsung melempar ponsel ke sofa. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Dia pelan-pelan kembali naik ke kamarnya, memeriksa dengan waspada.

Saat membuka pintu kamar, buket bunga yang tadi dibuang…

…sudah kembali ada di meja

Dengan tangan masih gemetar, Lea buru-buru mengambil kembali ponselnya dari sofa. Kali ini sinyal muncul walau lemah. Tanpa pikir panjang, dia langsung cari kontak Flo dan menekan ikon telepon.

Tuut... tuut...

“Hallo...?” Suara Flo terdengar agak serak, jelas dia habis tidur.

“Flo… gue minta tolong banget. Nginep di rumah gue malam ini aja... please…” suara Lea nyaris putus-putus, seperti nahan tangis.

“Lah, kenapa sih? Udah malem banget, woy. Besok sekolah lagi…” keluh Flo, masih tak paham.

“Gue… gue dapet kiriman bunga dari orang itu. Terus dia ngechat gue, kayak tahu semua gerakan gue… gue takut, Flo,” suara Lea kecil tapi jelas ketakutan. “Dia bilang dia deket… dan… tadi bunga yang udah gue buang tiba-tiba balik lagi ke kamar, jadi pliss temenin gue malam ini.” lea memohon agar temannya yang disebrang sana memahami kondisinya.

Hening sejenak di seberang. Lalu napas berat Flo terdengar.

“Oke… tunggu. Gue siap-siap. Gue kesana sekarang.”

Lea langsung menutup telepon, matanya sedikit berkaca-kaca karena lega. Dia tahu Flo kadang suka banyak alasan, tapi kalau udah serius, dia bisa diandalkan.

Dia buru-buru mengambil hoodie dan duduk di sofa, memeluk lutut, menunggu sambil terus melirik ke arah pintu dan jendela.

Beberapa menit kemudian...

Suara klakson pendek terdengar dari depan. Lea langsung berdiri dan buru-buru membukakan pintu. Di sana, Flo berdiri sambil nyeret tas kecil, wajahnya setengah ngantuk tapi tetap waspada.

“Gue nyesel sih, tapi… ya udahlah, sini peluk dulu,” kata Flo sambil nyodorin pelukan.

Lea langsung meluk, agak gemetaran.

“Thanks, Flo… beneran…”

“Udah, gak usah drama. kita Masuk dulu. Trus kunci semua pintu dan jendela juga.”

Setelah semua pintu dan jendela rumah terkunci rapat, mereka berdua akhirnya masuk ke kamar Lea. Lampu kamar nyala temaram, menambah suasana tenang walau perasaan Lea masih belum sepenuhnya tenang.

Flo duduk di tepi ranjang, matanya menatap Lea dengan cemas.

“Buka hoodie lo, gue bersihin dulu lukanya,” katanya sambil buka kotak P3K yang ada di atas meja belajar.

Lea duduk bersandar di bantal, diam sejenak sebelum nurut buka hoodie-nya. Ada beberapa luka memar dan lecet yang belum sepenuhnya sembuh.

Flo mulai ngebersihin luka-luka itu pelan-pelan dengan kapas dan antiseptik.

“Perih?” tanya Flo pelan.

Lea ngangguk sedikit. “Dikit… tapi gak apa-apa.”

Beberapa menit mereka diam. Suasana sunyi tapi gak canggung. Sampai akhirnya Lea buka suara, lirih dan serius.

“Flo…”

“Hm?”

“Yang soal bunga, ancaman, terus semua kejadian semalem… jangan kasih tahu siapa pun dulu ya.” Lea menoleh pelan, menatap mata Flo. “Termasuk Gavin.”

Flo yang lagi pasang plester, langsung berhenti sejenak.

“Kenapa Gavin juga enggak?”

Lea menghela napas. “Gue nggak yakin dia bisa tetap tenang kalau tahu semua ini. Gue gak mau dia… bertindak gegabah. Lagian, kita gak tahu siapa pelakunya.”

Flo diam, matanya serius. Tapi akhirnya dia angguk.

“Oke. Gue ngerti. Tapi lo janji ya, kalo makin parah… gue harus tahu semuanya. Jangan disimpen sendiri terus.”

Lea tersenyum tipis, “Janji…”

Flo akhirnya narik selimut dan nyuruh Lea baring.

“Udah malam, jangan mikir macem-macem. Sekarang tidur. Gue di sini kok.”

Lea narik selimut sampai ke dagu, masih agak gelisah. Tapi ada rasa aman juga karena Flo di sampingnya.

Dia masih kepikiran bunga dahlia hitam itu... dan chat mengerikan dari nomor tak dikenal itu.

Seseorang sedang memperhatikan dia. Dan itu... baru permulaan.

******

Pagi itu sekolah tampak seperti biasa. Sinar matahari yang belum terlalu terik memantul di kaca jendela gedung elit itu. Murid-murid mulai berdatangan dengan gaya masing-masing, dari mobil-mobil mahal sampai motor listrik elegan.

Di sudut parkiran, sebuah mobil berhenti. Flo dan Lea turun lebih dulu, disambut beberapa tatapan penasaran dari siswa lain. Biasa bareng Gavin, sekarang cuma berdua.

Di tempat lain, Gavin baru sampai, tapi tidak langsung masuk. Dia duduk sebentar di dalam mobil, pandangannya mengarah ke gedung sekolah. “Tumben banget…” gumamnya. Biasanya Lea excited banget kalau dijemput, sekarang malah minta dijemput Flo. Ada yang aneh, pikirnya. Tapi dia turuti saja, meski kepalanya penuh tanya.

---

Di dalam kelas, circle Lea sudah mulai ngumpul di meja favorit mereka.

Flo, Lea, Viona, , dan laura  udah duduk ngelilingin meja. Suasana ramai, suara tawa dan bisik-bisik gosip udah mengudara. Mereka bahas kabar terbaru  mulai dari guru galak yang katanya bakal pindah sekolah, sampai acara malam nanti.

“Eh katanya ada cowok baru masuk OSIS, cakep parah, mirip idol!” bisik Viona, matanya berbinar-binar.

“Ssshh… jangan-jangan dia mau jadi pacarnya Bu Rani tuh, biar nilainya bagus,” sahut yang lain sambil ketawa ngakak.

Tapi… Lea cuma duduk diam. Tangan di meja, pandangan kosong. Bahkan waktu disodorin video meme oleh Flo, dia cuma senyum tipis.

“Lo kenapa sih, Le? Biasanya lo yang paling ngibarin bendera kalo gosip begini,” tanya Flo, setengah bercanda tapi khawatir.

Lea menggeleng pelan.

“Gak apa-apa. Lagi ngantuk aja,” jawabnya cepat, padahal otaknya masih terbayang-bayang pesan semalam dari orang itu . Kata-kata , bunga dahlia hitam… semuanya berputar di kepala.

Flo melirik sebentar, lalu menepuk tangan Lea di bawah meja, kode bahwa dia ngerti dan dukung dari belakang.

Tapi yang lain tak sadar. Bagi mereka, pagi itu cuma pagi biasa.

Padahal, untuk Lea… hari ini terasa seperti awal dari sesuatu yang lebih besar. Dan malam nanti, segalanya bisa saja berubah.

Di tengah keramaian obrolan, Viona tiba-tiba menghembuskan napas panjang.

Dia bersandar ke sandaran kursi, matanya menatap langit-langit kelas dengan dramatis.

“Serius deh, kenapa sih kita masih sekolah hari ini?” keluhnya, bikin semua orang nengok.

“Padahal nanti malem kan Midnight Celebration buat kelulusan kakak-kakak kelas. Masa iya pagi-pagi begini masih disuruh duduk di kelas, ngelamunin papan tulis?”

laura ngangkat bahu.

“Katanya sih, biar kita tetep ada kegiatan. Tapi kan kenyataannya kita juga kagak ngapa-ngapain…”

“Mending juga kalau kita bisa pulang cepet terus siap-siap. Gue pengen banget nyatok rambut, make up lama-lama, pake skincare 12 step, you know?” sahut Viona, cemberut sambil buka cermin kecil dari tasnya dan ngaca sekilas.

Flo ketawa.

“Lo bisa tetep glowing walau cuma pakai bedak bayi, Vi.”

Viona mendelik, tapi tersenyum juga.

Lea yang dari tadi diam akhirnya buka suara, tapi lirih.

“Iya sih… harusnya kita dikasih waktu persiapan. Apalagi acaranya gede banget…”

Tapi dalam hati Lea, dia lebih mikirin soal apa acara malam nanti bakal aman? orang  itu… entah kenapa dia punya firasat buruk.

Malam. Keramaian. Dan seseorang yang bersembunyi dalam bayangan.

Setelah bel istirahat berbunyi, rombongan kecil itu pun bergerak keluar kelas.

Tujuan mereka jelas kantin.

Namun di tengah perjalanan, Lea berhenti.

“Eh, kalian duluan aja ke kantin. Gue mau ke toilet bentar,” ucapnya singkat, sambil tetap berjalan ke arah yang berlawanan.

Flo mengernyit.

“Sendiri aja? Nggak mau ditemenin?”

“Nggak, santai aja. Nanti nyusul,” jawab Lea sambil melambaikan tangan dan memasuki lorong ke arah toilet perempuan.

Setelah selesai, Lea mencuci tangan dan mengusap wajahnya di depan cermin. Dia mencoba menenangkan pikirannya yang masih dilanda was-was sejak malam kemarin.

Lea segera keluar dari toilet, langkahnya santai, walau pikirannya masih berantakan. Dia berbelok ke arah kantin tapi belum sampai jauh, langkahnya terhenti.

Di koridor belakang, tiga cowok sedang memojokkan seseorang. Suara maki dan dorongan terdengar jelas. Si cowok yang dipojokkan tampak cemas.

Lea reflek mendekat.

“Hei! Ngapain sih kalian? Ribut-ribut gini…”

Tiga pasang mata langsung beralih ke arahnya. Salah satu cowok berjaket abu menatap Lea dari ujung kaki sampai kepala.

“Lah, ini lagi. Cewek cerewet.”

“Udah, jangan ikut campur, deh!” sahut yang lain, nadanya keras.

Tapi Lea nggak mundur.

“Dia nggak salah. Kalian aja yang kelewatan. udah dewasa tapi masih kayak kanak-kanak.”

Ucapan itu bikin salah satu dari mereka naik darah.

Cowok tinggi besar itu langsung melangkah cepat dan—DUOR!, menyentak kerah baju Lea dengan kasar.

“Jangan bacot lo, ya!”

Lea terkejut. Tangannya mencoba melepas cengkeraman kasar itu.

Cowok lain malah mendorongnya dari samping, membuat Lea jatuh menghantam dinding. Kepalanya sempat terbentur ringan.

“Sok bener banget sih lo!”

Lea mengerang pelan, matanya memanas. Beberapa siswa mulai berdatangan, menonton… tapi nggak ada satu pun yang bergerak. Semuanya hanya melihat—takut, atau tak peduli.

Lea menyesal. Niatnya hanya ingin melerai, mencegah keributan, tapi malah dia yang kena imbas. Ia tak menyangka, niat baiknya justru berujung luka.

Di antara kerumunan, tampak Alvin berdiri kaku. Matanya membulat.

Zergan juga ada di sana, diam menatap, tangannya mengepal. Tapi belum sempat mereka bergerak…

BUGHH!!

Sebuah pukulan mendarat keras di wajah cowok berjaket abu. Ia terhuyung mundur.

pukulan itu datang dari belakang kerumunan. Gavin,  Dengan napas berat, matanya gelap penuh amarah. Dalam satu gerakan cepat, dia menarik kerah cowok yang nyentak Lea tadi dan menghantamkan sikunya ke perut si cowok.

Lea masih terduduk, terkejut.

Gavin segera menarik tangan Lea, membantunya berdiri.

“Udah cukup. Ayo.”

Tanpa banyak bicara, Gavin menggiring Lea pergi dari situ. Tangan cowok-cowok tadi masih memegang dada mereka, menahan sakit.

Dari jauh… ada sosok yang menatap mereka semua dengan tajam.

Tatapannya gelap. Mulutnya menipis.

Matanya menyapu tiga cowok tadi satu per satu, seperti ingin mengoyak mereka hidup-hidup.

Tak boleh ada yang menyentuh Lea, tidak seorang pun.

Bahkan jika itu hanya satu sentuhan kasar…

Gavin memandang Lea penuh khawatir. Tangannya masih menempel di lengan Lea, menahan langkahnya.

"Lo yakin gak mau ke UKS dulu?" tanyanya, nada suaranya pelan tapi tegas.

"Luka lo yang kemarin aja belum sembuh, sekarang malah—"

"Gak papa, Gav." Lea memotong, mengangkat bahu kecilnya. "Gue gak kenapa-napa. Beneran."

Ia berusaha tersenyum, meski Gavin tahu senyum itu dipaksakan.

"Gue cuma mau ke kantin nyusul mereka. Gak akan lama kok."

Gavin menatapnya lama, seperti sedang menimbang sesuatu. Tapi akhirnya, dia hanya mengangguk.

"Kalau ada apa-apa, langsung cari gue."

Lea mengangguk cepat, lalu berbalik meninggalkannya. Punggungnya menjauh dengan langkah ringan.

waktu tak terasa berlalu begitu cepat, kini sudah waktunya pulang walau hari ini jam pulang lebih cepat dari biasanya karna prom night akan berlangsung nanti malam. Lea dan Gavin langsung berjalan keparkiran sekolah. Mobil melaju pelan di bawah langit yang mulai gelap, udara sore membawa ketenangan, setidaknya itu yang Lea harap.

Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal.

"Semua yang ganggu lo bakal hilang."

Jantung Lea mencelos. Matanya terpaku pada layar ponsel, wajahnya mendadak pucat. Gavin yang duduk di sebelah langsung melirik, menyadari perubahan ekspresi itu.

“Kenapa?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.

Lea menggeleng pelan, memaksa senyum tipis. “Gak papa... cuma notif iklan,” ucapnya, padahal tangannya sudah dingin.

---

Disis lain mereka sepakat, satu jam sebelum acara malam, semua akan kumpul di rumah Lea buat siap-siap bareng. Rumah Lea yang luas dan mewah itu mendadak ramai sore itu.

Dan saat pintu terbuka, muncullah sosok Alvin.

Lea sempat terdiam. Matanya membelalak melihat cowok itu berdiri di ambang pintu—tanpa kacamata, rambutnya dipotong rapi model two block, jas hitam pas badan, dan aura yang… berbeda.

“Alvin…?” bisik Lea pelan, setengah gak percaya.

Cowok yang biasanya tampak seperti kutu buku itu, sekarang tampil karismatik. Semua mata memandangnya. Bahkan Viona sampai nyeletuk sambil nahan tawa, “Buset, Vin, lo abis upgrade atau baru download skin baru?”

Alvin cuma tersenyum tipis, lalu menunduk sedikit ke arah Laura—pasangannya malam ini.

laura yang melihat itu cukup bangga setidaknnya pasangannya tak kalah jauh dari pasangan teman-temannya.

Sementara itu, di pojok ruangan, Zergan berdiri diam. Tatapannya seperti biasa, dingin dan sulit ditebak. Tapi entah kenapa, saat matanya bertemu dengan Gavin, ada sekilas senyum kecil yang bikin suasana mendadak tegang.

----

Ruang ganti di lantai atas rumah Lea berubah jadi medan perang kecil. Gaun berserakan, alat makeup berjejer di atas meja, dan suara gaduh para cewek saling tumpang tindih.

"LEAA! GIMANA SIH NGE-CURL INI RAMBUT?!!" jerit Flo panik, satu tangan megang catokan, satunya lagi nahan rambut yang hampir kebakar.

"FLO! ITU MIRING!" Lea balas, buru-buru bantuin.

Sementara itu, di sisi lain, Laura dan Viona udah mulai drama.

"SETTING SPRAY-NYA GUE DULUAN!" teriak Laura, narik botol kecil berwarna rose gold.

"YAKALI, GUE DULUAN YANG BILANG!" Viona nggak kalah galak.

"BACOT!! POKOKNYA GUE DULUAN!" bentak Laura sambil ngelotot, tapi tetap ngaca sambil pakai highlighter.

Flo dan Lea cuma bisa ngelirik sekilas—mau ikut nimbrung, tapi waktu udah mepet banget.

Di lantai bawah, para cowok udah pada duduk nunggu. Alvin, Vino, Zergan, dan Gavin udah siap dari tadi. Setelan rapi, parfum wangi, gaya cool... tapi raut wajah mereka jelas: “Kenapa cewek kalau dandan bisa kayak mau perang dunia?”

“Udah satu jam lebih lho,” keluh Vino, nyender ke sofa.

Alvin angkat bahu. “Mereka mungkin nyari letak Venus di wajah mereka.”

Zergan cuman ketawa kecil. Gavin? Duduk diem sambil mantengin jam tangan. Sekilas dia melirik ke arah tangga—entah mikirin Lea atau sesuatu yang lain.

Tiba-tiba dari atas:

“MAAP YAAAAA!!” teriak bersamaan suara para cewek.

Langkah-langkah terburu-buru turun dari tangga, gaun panjang melambai-lambai, heels berderak kecil—akhirnya mereka muncul, dan semua cowok serentak berdiri, meski sempat kesel, tatapan mereka langsung berubah.

“Wah…” gumam Vino, “worth it sih kata gue, nunggu lama-lama. Tapi kalau akhirnya ngeliat bidadari juga to much.”

Mereka masing-masing tampak kagum melihat kecantikan-kecantikan para bidadari dihadapan mereka.

Setelah siap semuanya, cowok-cowok langsung pada keluar lebih dulu, masing-masing dengan kunci mobil di tangan. Mobil-mobil mahal berjejer rapi di depan rumah Lea—berkilau kena lampu jalanan malam yang temaram. Satu per satu pasangan keluar rumah.

Gavin memegang pintu mobil buat Lea, dan Lea tersenyum kecil sebelum masuk.

Zergan nyodorin tangan buat Flo dengan gaya cueknya, tapi Flo malah tertawa geli sendiri.

Alvin dengan rapi membuka pintu untuk Laura, yang tampak berbeda, melihat alvin yang sudah upgrade membuat laura terlihat bersemangat, padahal dirinya sudah membayangkan bagaimana jika semua ekspetasinya dibuat hancur oleh alvin yang tak memenuhi standart.

Viona? Dia malah asik brdrama sendiri waktu Vino sodorin tangannya.

Empat mobil mewah itu meluncur satu per satu dari halaman rumah Lea menuju tempat acara kelulusan. Di jalan, lampu kota bikin pantulan cahaya di kaca mobil, bikin semuanya terasa seperti sedang syuting adegan drama Korea.

Dan bener aja, begitu mereka sampai…

Semua mata langsung tertuju ke arah mereka.

Langkah mereka rapi, elegan, dan tiap pasangan terlihat sangat serasi.

Gavin dan Lea jalan paling depan—dengan aura "main character", vibes yang membuat orang otomatis minggir.

Zergan dan Flo tampak misterius tapi memukau.

Alvin dan Laura tampak kalem dan manis.

Sementara Vino dan Viona? Ya... mereka tetap dengan aura chaos-romantis yang tak bisa ditebak, tapi untungnya tetep matching.

Semua orang di sana langsung bisik-bisik pelan.

“Itu mereka ya...? Gila sih, kayak cast drama highschool versi real life...”

Meski malam itu seharusnya jadi momen kelulusan untuk kakak kelas mereka, tapi saat delapan orang itu melangkah masuk, sorotan mata, decak kagum, bahkan bisik-bisik iri tak bisa dibendung—seolah-olah malam itu adalah panggung mereka, dan merekalah bintang utamanya.

1
Ververr
Aku suka karakternya, semoga bisa jadi buku cetak!
Ichigo Kurosaki
Aku beneran suka dengan karakter tokoh dalam cerita ini, thor!
Hakim Bohiran
Cerita yang menarik, gak capek baca sampe habis!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!