Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Transparan?
Malam turun perlahan seperti selimut lembut yang membungkus seluruh kota. Dari jendela kamar, lampu-lampu terlihat berpendar, sebagian temaram, sebagian terang benderang. Tapi malam itu, yang terasa paling nyata bukan cahaya—melainkan keheningan di antara dua manusia yang duduk berdampingan, namun hatinya terpisah oleh kegelisahan.
Ren duduk di lantai kamar, bersandar pada sisi ranjang. Di sebelahnya, Hana duduk bersila dengan rambut sedikit acak dan mata sembab karena terlalu lama membaca catatan kuliah. Ia menggeliat kecil, lalu bersandar ke bahu Ren.
"Aku capek," gumamnya pelan. "Tapi juga... aneh. Kayak ada yang kosong."
Ren tidak langsung menjawab. Matanya terus menatap jauh ke depan, ke arah dinding yang kosong, seolah mencari sesuatu yang tak terlihat. Lalu pelan-pelan, ia mengangguk.
“Kadang, perasaan kosong itu muncul bukan karena kurangnya sesuatu... tapi karena kita tahu, sesuatu sedang berubah.”
Hana mengernyit, menoleh. “Maksudmu?”
Ren menunduk sedikit, menatap jemari Hana yang memainkan ujung baju tidurnya sendiri.
“Entahlah,” ucapnya singkat. “Mungkin aku juga sedang aneh hari ini.”
Hana tertawa kecil. “Iya, kamu emang aneh.”
Ren ikut tersenyum, tapi senyum itu tak pernah mencapai matanya.
Beberapa detik kemudian, hawa dingin malam seperti menyusup ke sela-sela kamar. Hana menggigil kecil, lalu berdiri.
“Aku ambil selimut dulu, ya,” ujarnya.
Ren hanya mengangguk.
Saat Hana kembali dan ingin menyelimuti Ren, ia ragu. Bukan karena dingin... tapi karena tangannya seolah—menembus bahu Ren.
Seperti kabut.
Seperti ilusi.
Hana pun diam mematung.
Ren cepat-cepat bangkit dan mengambil selimut itu dari tangannya. Ia memeluk Hana dari belakang, erat, seperti ingin menutupi seluruh tubuh gadis itu dengan kehangatan yang tersisa.
“Kenapa?” tanya Ren pelan.
Hana tidak menjawab. Bahunya bergetar. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya menetes, membasahi lengan Ren.
“Aku takut,” bisiknya. “Ke–Kenapa tubuh kamu jadi transparan ren?.” ucap Hana merasa khawatir.
Ren diam. Jantungnya seperti ditusuk sesuatu. Tapi bukan karena kalimat Hana. Bukan karena ketakutan itu.
Tapi karena ia tahu—yang sebenarnya memudar... bukanlah dirinya.
Namun Ren tidak mengatakannya. Ia hanya menarik Hana dalam pelukannya, memeluk lebih erat, hingga tubuh mereka nyaris tak terpisahkan.
“Kalau aku memang memudar,” bisik Ren, “aku harap kamu adalah hal terakhir yang bisa kurasakan.”
Tangisan Hana makin keras. Ia memeluk Ren sekuat tenaga, seolah ingin menahannya agar tidak benar-benar lenyap.
Tapi anehnya, pelukan itu tidak terasa sama. Dingin. Kosong. Seolah tubuh Ren tidak sepenuhnya di sana.
Padahal justru sebaliknya.
Ren menunduk, menatap leher Hana, menahan napas. Ia bisa merasakan bahwa pelukan itu—yang perlahan menjadi transparan—bukan miliknya. Tapi milik Hana.
Ia bisa melihatnya, sedikit. Tepian tubuh Hana yang mulai kehilangan batas. Bukan seperti hantu. Bukan juga seperti mimpi.
Lebih seperti—kesalahan.
Kesalahan yang perlahan menghapus garis-garis keberadaannya dari dunia ini.
Tapi Ren tetap diam. Ia tidak bisa mengatakannya. Ia tidak mau. Bukan sekarang. Bukan ketika Hana memeluknya dengan penuh rasa takut seperti itu.
Malam itu mereka tertidur dalam posisi yang sama—dalam pelukan yang tak lagi utuh, tapi masih menyimpan kehangatan.
---
Pagi harinya, Hana bangun lebih dulu. Tapi Ren sudah tidak ada di sampingnya. Ia memeriksa seluruh rumah, hingga menemukannya di balkon belakang, duduk dengan selimut di pangkuannya dan mata yang menatap langit tanpa ekspresi.
“Kamu tidur di sini?” tanya Hana, memeluk tubuhnya sendiri karena udara pagi yang dingin.
Ren menoleh cepat. Sekilas, ada raut lega di wajahnya.
“Iya. Soalnya nggak bisa tidur. Aku... khawatir kamu butuh ruang sendiri.”
“Justru aku pengen kamu yang nemenin aku.”
Ren tersenyum kecil. “Maaf.”
Hana menarik napas, lalu duduk di sebelahnya. Tangannya menyentuh jari Ren... dan kali ini, rasanya biasa saja. Tidak tembus. Tidak hilang.
Ia menatap Ren ragu.
“Tadi malam aku kayak... merasa kamu mulai transparan ren... .”
Ren menoleh. “Aku gapapa, Hana.”
“Buktinya?”
Ren menarik Hana ke pelukannya, memeluk erat seperti malam sebelumnya.
“Ini cukup?”
Hana mengangguk pelan. Tapi jauh di dalam hatinya, rasa itu belum pergi. Perasaan bahwa ada sesuatu yang salah. Bahwa ada bagian dari Ren yang tidak bisa ia sentuh lagi. Bahwa dunia mereka sedang bergeser, bahkan jika mereka tidak tahu arah pastinya.
Dan tanpa sepengetahuan Hana, Ren menggenggam sesuatu di dalam sakunya. Sebuah benda kecil, seperti microchip—retak di salah satu sisinya.
Ia menatapnya diam-diam, sebelum kembali memasukkannya ke saku.
Senyumnya hilang.
Dan pelukannya menjadi lebih erat.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.