Baskara—menantu sampah dengan Sukma hancur—dibuang ke Jurang Larangan untuk mati. Namun darahnya membangunkan Sistem Naga Penelan, warisan terlarang yang membuatnya bisa menyerap kekuatan setiap musuh yang ia bunuh. Kini ia kembali sebagai predator yang menyamar menjadi domba, siap menagih hutang darah dan membuat seluruh kahyangan berlutut. Dari sampah terhina menjadi Dewa Perang—inilah perjalanan balas dendam yang akan mengguncang sembilan langit!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17: JARING LABA-LABA
MALAM KETUJUH - ATAP KEDIAMAN CAKRAWALA
Baskara duduk bersila di dalam gelapnya kamar lamanya, namun matanya terkunci pada satu titik cahaya di kejauhan.
Jendela kamar Larasati.
Sudah tujuh malam ia kembali.
Tujuh malam ia mendengar isak tangis istrinya yang terbawa angin.
Tujuh malam ia menahan diri, membiarkan rindu membakar dadanya demi keamanan rencana besarnya.
Tapi malam ini... pertahanannya runtuh.
Gito sudah mati. Tujuh pembunuh bayaran telah lenyap. Ketakutan sudah menyebar di setiap sudut kediaman. Dan yang terpenting, ia kini berdiri di puncak Ranah Pengumpulan Prana Bintang 9.
"Sistem," bisiknya serak. "Aku akan menemuinya."
[Tuan, ini risiko besar. Jika emosinya tidak terkendali... jika dia berteriak... Tetua Satriya bisa mendengarnya.]
"Aku tahu," Baskara membuka jendela, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. "Tapi aku tidak peduli lagi. Dia menderita karena mengira aku mati. Aku tidak bisa membiarkannya hancur perlahan."
[Cinta memang tidak rasional, Tuan.]
Baskara tersenyum tipis. "Dia satu-satunya wanita yang melihatku saat dunia membuangku. Ya... aku mencintainya."
WUSH!
Ia melompat.
Seperti bayangan yang membelah malam, Baskara melintasi atap demi atap. Kakinya mendarat tanpa suara, seringan bulu, menghindari patroli yang kini diperketat tiga kali lipat pasca kematian Gito.
Ia tiba di atap Sayap Timur.
Ia meluncur turun ke balkon kecil di luar kamar Larasati. Jendela itu sedikit terbuka, membiarkan cahaya lilin yang temaram tumpah keluar.
Baskara mengintip dari celah tirai.
Pemandangan di dalam meremukkan hatinya.
Larasati duduk di tepi ranjang, mengenakan gaun tidur putih polos. Rambut hitam panjangnya tergerai kacau menutupi wajah. Di pelukannya, ia mendekap erat sebuah jubah lusuh berwarna abu-abu.
Jubah lama Baskara.
"Baskara..." suaranya pecah, rapuh seperti kaca yang retak. "Kenapa kau pergi... kenapa kau tega meninggalkanku sendiri di neraka ini..."
Ia membenamkan wajahnya ke kain kasar itu, menghirup sisa aroma yang mungkin masih tertinggal.
"Aku tidak percaya kau mati... kau berjanji akan melindungiku... pembohong..."
Tangan Baskara mengepal hingga memutih.
Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan gejolak Prana di tubuhnya, lalu mendorong jendela itu perlahan.
Ia melangkah masuk.
"Larasati..."
Suara itu pelan, nyaris seperti bisikan angin. Tapi bagi Larasati, itu terdengar seperti petir.
Tubuh gadis itu membeku. Isak tangisnya terhenti. Jubah di tangannya terlepas jatuh ke lantai.
Perlahan, dengan takut-takut, ia mengangkat wajahnya. Berbalik ke arah jendela.
Dan di sana, berdiri sosok tinggi berjubah hitam. Wajahnya sebagian tertutup bayangan, namun sorot matanya...
Itu adalah sorot mata yang selalu ia rindukan.
"Ba..." bibirnya bergetar hebat. "Baskara...?"
Ia mengucek matanya, yakin ini hanyalah halusinasi akibat kesedihan yang mendalam.
"Kau... kau hantu...?"
Baskara melangkah maju, membiarkan cahaya lilin menerangi wajahnya sepenuhnya. Wajah yang lebih tegas, lebih matang, namun tetap hangat saat menatap istrinya.
"Bukan hantu," jawabnya lembut. "Aku pulang, Larasati."
"BASKARA!"
Larasati melompat dari ranjang, kakinya yang telanjang berlari menerjang lantai dingin. Ia menubruk tubuh Baskara, melingkarkan lengannya di leher suaminya dengan kekuatan putus asa.
"Kau hidup... kau benar-benar hidup..."
Ia menangis histeris di dada bidang Baskara. Menumpahkan segala rasa takut, rindu, dan sakit hati yang ia pendam selama dua minggu ini.
Baskara memeluknya erat. Satu tangan mendekap punggungnya, tangan lain membelai rambutnya.
"Maafkan aku," bisik Baskara, matanya terpejam menahan haru. "Maafkan aku membuatmu menunggu. Maafkan aku..."
"Aku kira kau mati..." Larasati memukul dada Baskara pelan. "Mereka bilang kau dimakan monster... mereka bilang kau meninggalkanku..."
"Aku tidak akan mati semudah itu," Baskara menjauhkan wajahnya sedikit, menatap mata Larasati yang bengkak. "Aku sudah berjanji, bukan? Aku akan melindungimu. Dan aku laki-laki yang memegang janjiku."
Larasati menatapnya lekat-lekat. Tangannya meraba wajah Baskara, memastikan kehangatan kulitnya.
Dan saat itulah ia menyadarinya.
Aura.
Dulu, Baskara tidak memiliki hawa keberadaan. Dia kosong. Tapi sekarang... ada gelombang energi yang hangat dan kuat memancar dari tubuhnya.
"Kau..." Larasati mundur selangkah, matanya membelalak takjub. "Auramu... berbeda. Kau... kau bisa berkultivasi?!"
Baskara mengangguk.
"Ya. Di dasar jurang, aku menemukan keajaiban. Sukma-ku pulih. Aku bukan sampah lagi, Larasati."
"Ranah apa?" tanyanya cepat.
"Pengumpulan Prana."
Larasati menutup mulutnya tak percaya. "Dalam dua minggu?! Itu mustahil!"
Baskara tersenyum, menggenggam tangan istrinya. "Tidak ada yang mustahil jika tujuannya adalah kembali padamu."
Wajah Larasati memerah, air matanya menetes lagi. "Bodoh... Kau tidak perlu jadi kuat. Aku hanya ingin kau selamat..."
"Dunia ini kejam, Sayang," tatapan Baskara menajam. "Tanpa kekuatan, aku tidak bisa melindungimu dari mereka. Dan aku bersumpah, tidak akan ada lagi yang boleh menyentuhmu."
Mereka berpelukan lagi, menikmati momen kedamaian di tengah badai.
TAP. TAP. TAP.
Suara langkah kaki berat terdengar di koridor. Patroli penjaga.
Baskara melepaskan pelukannya seketika. Insting pembunuhnya menyala.
"Penjaga," bisiknya. "Aku harus pergi."
"Tidak!" Larasati mencengkeram lengan jubahnya. "Jangan pergi lagi! Sembunyi di sini! Di bawah kasur, di lemari—"
"Tidak bisa," Baskara menggeleng tegas. "Terlalu berbahaya untukmu. Jika mereka menemukanku di sini, mereka akan menghukummu juga. Dan aku belum cukup kuat untuk melawan seluruh keluarga sekaligus."
"Ke mana kau akan pergi?" tanya Larasati panik. "Kenapa kau bersembunyi? Kenapa tidak langsung menemui Kakek?"
Baskara terdiam. Ia tidak bisa menceritakan tentang mayat-mayat yang ia gantung. Tentang darah di tangannya.
"Ada hal yang harus kuberesskan. Ada... hama yang harus dibersihkan," jawabnya ambigu.
Larasati menatapnya cemas. "Kau menyembunyikan sesuatu."
Baskara menyentuh pipi istrinya. "Percayalah padaku. Berpura-puralah kau masih bersedih. Jangan biarkan siapa pun tahu aku hidup. Ini demi keselamatan kita."
Suara langkah kaki semakin dekat.
"Aku pergi. Aku akan datang lagi saat aku sudah siap mengambilmu secara terhormat."
Ia melompat ke balkon.
"Baskara!"
Ia menoleh.
"Aku mencintaimu," bisik Larasati. "Jangan mati."
Baskara tersenyum tulus.
"Aku juga mencintaimu."
Ia melesat hilang ke dalam kegelapan malam, meninggalkan Larasati yang kini memiliki kembali separuh jiwanya.
PAGI HARI - AULA UTAMA KEDIAMAN
Suasana di aula utama begitu tegang hingga udara terasa mencekik.
Wibawa berlutut di lantai. Wajahnya kusut, matanya cekung seperti pecandu obat terlarang.
"Paman... aku bersumpah," suaranya serak. "Aku tidak mencurinya."
Patriark Dharma menatap keponakannya dengan tatapan jijik.
"Lalu di mana Pil Inti Emas itu?!" bentak Patriark. "Aditya dan Jarwo hilang tanpa jejak! Itu adalah hadiah untuk Adipati Lesmana! Kau pikir itu permen kacang?!"
"A-aku tidak tahu! Ada seseorang... ada hantu di rumah ini! Dia membunuh pembunuh bayaranku! Dia menggantung Gito! Dia pasti yang mencuri pil itu!"
PLAK!
Patriark menampar Wibawa hingga terjengkang.
"HANTU?! Kau pikir aku bodoh?! Kau pasti menggelapkan pil itu untuk dirimu sendiri, lalu menyewa orang untuk membuat kekacauan ini sebagai alibi!"
"TIDAK! PAMAN, PERCAYALAH!" Wibawa merangkak, memeluk kaki Patriark. "Ada iblis di rumah ini! Aku merasakannya setiap malam!"
"Cukup."
Suara berat dan berwibawa memotong drama itu.
Seorang pria tua berjubah biru tua melangkah masuk. Rambutnya putih, namun tubuhnya tegap dan memancarkan tekanan energi yang menyesakkan.
Tetua Satriya.
Kultivator Ranah Inti Emas Bintang 7.
"Tetua Satriya," sapa Patriark hormat.
"Ada aura asing di kediaman ini," kata Satriya datar. "Samar. Licin. Tapi berbau darah."
Mata Wibawa berbinar. "Benar kan?! Saya benar! Ada penyusup!"
Satriya menatap Wibawa dingin, lalu beralih ke Patriark. "Patriark, berikan aku wewenang penuh. Aku akan memasang Formasi Jaring Laba-laba."
Patriark terkejut. "Formasi deteksi tingkat tinggi? Itu akan memakan banyak Batu Roh."
"Penyusup ini berbahaya. Dia membunuh tanpa jejak. Jika dibiarkan, dia bisa mengancam nyawa kita," tegas Satriya. "Besok malam, formasi akan aktif. Tidak ada tikus yang bisa bersembunyi dari jaringku."
Wibawa tersenyum lega di lantai. "Habislah kau, Hantu..."
MALAM ITU - KAMAR LAMA BASKARA
Baskara sedang bermeditasi saat Sistem memberikan peringatan darurat.
[PERINGATAN! Deteksi fluktuasi energi skala besar!]
"Apa itu?"
[Tetua Satriya sedang memasang Formasi Deteksi. Ini buruk, Tuan. Jika formasi ini aktif besok malam, aura Tuan akan langsung terdeteksi di detik Tuan keluar dari mode 'stealth'.]
Baskara membuka mata. "Artinya aku terjebak?"
[Benar. Melawan Tetua Satriya sekarang (Inti Emas Bintang 7) adalah bunuh diri. Peluang menang: 5%.]
Baskara menatap kotak kayu kecil di hadapannya. Kotak rampasan dari mayat Jarwo.
"Hanya ada satu cara," gumamnya. "Aku harus menerobos."
"Sistem, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyerap Pil Inti Emas dan melakukan terobosan?"
[Minimal 24 jam meditasi tanpa gangguan. Setelah itu, butuh 12 jam stabilisasi.]
"Dua hari," hitung Baskara. "Aku harus bersembunyi total selama dua hari."
Ia berdiri.
"Sebelum itu, aku harus memperingatkan Ki Gareng. Ini akan jadi pertemuan terakhir kami sebelum perang dimulai."
SIANG HARI - GANG BELAKANG
"Tuan!" Ki Gareng menyapa lega.
"Dengar, Ki," Baskara langsung ke inti masalah. "Jangan cari aku selama tiga hari ke depan. Tetua Satriya memasang jebakan. Aku akan masuk ke dalam meditasi mati (pertapaan tertutup)."
Ki Gareng menyerahkan bungkusan besar. "Saya sudah siapkan bekal, Tuan. Cukup untuk seminggu."
"Terima kasih."
"Tuan..." Ki Gareng tersenyum haru. "Nona Larasati... dia tersenyum pagi ini. Dia bahkan makan buburnya sampai habis. Saya tidak tahu apa yang Tuan lakukan, tapi... terima kasih."
Baskara tersenyum tipis di balik tudungnya.
"Jaga dia untukku, Ki. Sebentar lagi... aku akan menjemputnya di depan gerbang utama."
MALAM PUNCAK - KAMAR BASKARA
Di luar, Tetua Satriya berdiri di tengah halaman, mengaktifkan pilar terakhir formasinya. Kubah energi transparan perlahan menyelimuti seluruh kompleks kediaman.
"Bersembunyilah selagi bisa, Tikus," gumam Satriya. "Besok, kau mati."
Di dalam kamar gelap yang berdebu, Baskara membuka kotak kayu itu.
Sebutir pil emas sebesar kelereng bersinar terang, memancarkan aroma obat yang murni dan kuat.
[Pil Inti Emas]
‘Membantu kultivator menembus hambatan menuju Ranah Inti Emas.’
[Fokuslah untuk berkultivasi, Tuan. Saya akan tekan semua energi yang meledak untuk masuk kembali, sehingga Anda tidak akan terdeteksi.]
"Dua hari," bisik Baskara. “Dua hari yang rentan. Aku telah memasang beberapa jebakan, seharusnya itu cukup.”
Ia memasukkan pil itu ke mulutnya. Menelannya.
BOOOM!
Ledakan energi dahsyat meledak di dalam perutnya, menyebar ke seluruh meridian seperti lahar panas.
Baskara menggertakkan gigi, menahan rasa sakit transformasi. Kulitnya memerah, keringat mengucur deras.
Ini adalah pertaruhan hidup dan mati.
Jika ia gagal, ia akan cacat atau mati meledak.
Jika ia berhasil...
‘Tunggu aku, Tetua Satriya,’ batinnya di tengah badai energi. ‘Saat aku membuka mata nanti... kau akan tahu akibat mengusikku..’
[BERSAMBUNG KE BAB 18]
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
oya untuk tingat ranah bisa kamu jelasin lebih detail thor di komen agak bingung soalnya hehe