Di Shannonbridge, satu-satunya hal yang tidak bisa direncanakan adalah jatuh cinta.
Elara O'Connell membangun hidupnya dengan ketelitian seorang perencana kota. Baginya, perasaan hanyalah sebuah variabel yang harus selalu berada di bawah kendali. Namun, Shannonbridge bukan sekadar desa yang indah; desa ini adalah ujian bagi tembok pertahanan yang ia bangun.
Di balik uap kopi dan aroma kayu bakar, ada Fionn Gallagher. Pria itu adalah lawan dari semua logika Elara. Fionn menawarkan kehangatan yang tidak bisa dibeli dengan kesuksesan di London. Kini, di tengah putihnya salju Irlandia, Elara terperangkap di antara dua pilihan.
Apakah ia akan mengejar masa depan gemilang yang sudah direncanakan, atau berani berhenti berlari demi pria yang mengajarkannya bahwa kekacauan terkadang adalah tempat ia menemukan rumah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chrisytells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5 : Pelajaran Menyalakan Api
Pukul 15.00. Elara sudah selesai mengirimkan laporannya. Sinyal yang ia dapatkan di puncak bukit memang cukup, tetapi ia harus melakukannya sambil memeluk booster sinyal dan melawan trauma yang hampir kambuh. Ia kembali ke pondok dengan keadaan lelah, emosional, dan kedinginan.
Fionn menepati janjinya. Ia menunggu di Pondok Shamrock, sudah menyalakan lilin, dan menyiapkan teko berisi teh Earl Grey buatan Ibunya yang kental dan beraroma bergamot.
“Sudah selesai, nona city planner?” tanya Fionn, nadanya lembut dan penuh kepedulian, jauh dari godaan biasanya.
“Selesai. Dan terima kasih. Atas... semuanya,” ujar Elara, merosot di sofa. Ia menatap Fionn. “Aku minta maaf atas drama di bukit tadi. Itu sangat tidak profesional.”
Fionn berjalan mendekat, menyampirkan selimut wol tebal di bahu Elara. “Tidak ada yang namanya ‘tidak profesional’ saat bicara soal ketakutan, Elara. Itu manusiawi. Sekarang, permintaan apa yang kau pilih? Perombakan sudut kedai? Atau kau mau menuntut ganti rugi atas pengalaman nyaris jatuhmu?”
Elara menghirup aroma teh yang menenangkan. Ia melihat ke sudut ruangan—area perapian. Kayu bakar sudah disiapkan Fionn, tetapi dingin.
“Aku tidak ingin perombakan. Aku tidak ingin ganti rugi,” kata Elara. “Aku hanya ingin... Pelajaran. Ajari aku cara menyalakan perapian. Dengan benar.”
Fionn mengerutkan keningnya. “Menyalakan api? Kenapa itu?”
“Karena itu adalah hal paling fundamental yang gagal kulakukan di desa ini. Dan kau bilang, ‘pengetahuan tentang api lebih penting daripada zonasi perumahan’. Aku ingin membuktikan padaku sendiri—dan padamu—bahwa aku bisa menguasai kekacauan yang paling primitif sekalipun. Aku ingin mengendalikan api ini.”
Fionn tersenyum tulus. “Itu permintaan yang sangat berharga, Elara O’Connell. Baiklah... ambil jaketmu. Kita mulai pelajaran pertama tentang ‘Kehidupan yang Tidak Terencana’.”
Mereka berdua berlutut di depan perapian. Cahaya remang-remang dari lilin dan salju di luar membuat ruangan terasa intim.
“Dengar, api bukan tentang korek api. Api adalah tentang keseimbangan,” Fionn memulai, suaranya pelan, mengajar. “Kau butuh tiga hal, Nona. Udara, bahan bakar, dan panas. Sama seperti hidup, kau butuh keseimbangan agar tidak meledak atau padam.”
“Aku mengerti konsepnya,” balas Elara, tangannya memegang beberapa lembar kertas koran bekas yang sudah diremas Fionn. “Udara untuk napas, bahan bakar untuk tujuan, dan panas untuk… gairah?”
Fionn tertawa pelan. “Gairah? Aku suka analogimu. Tapi untuk sekarang, panas dari gesekan korek api atau lighter.”
Fionn memegang sebongkah kayu bakar besar. “Ini adalah kayu bakar utama (fuel). Kayu ini lambat terbakar, keras, dan memberikan panas jangka panjang. Ini adalah tujuan hidupmu. Inti dari rencanamu.”
Dia kemudian mengambil ranting-ranting tipis kering. “Ini adalah ranting pemantik (kindling). Ini terbakar cepat dan intens. Ini adalah kekacauan yang berharga, Elara. Hal-hal kecil yang tiba-tiba muncul dan memberikan ledakan semangat.”
Fionn lalu mengambil beberapa lembar koran yang sudah diremas. “Dan ini adalah pemula (tinder). Ini mudah terbakar dan membutuhkan sedikit usaha. Ini adalah tempat kita memulai. Ini seperti scone gratis dan kopi yang enak—sesuatu yang memudahkan transisimu.”
Elara merasa takjub dengan cara Fionn menjelaskan hal yang sangat sederhana menjadi filosofi. “Kau seorang filsuf pedesaan, Fionn.”
“Aku hanya pria yang sering kedinginan, Nona. Sekarang, fokus. Kau harus menumpuknya. Kayu utama di bawah, tapi harus ada celah untuk udara.”
Fionn meminta Elara meletakkan beberapa potong kayu kecil. Elara melakukannya dengan cermat, seolah ia sedang menyusun sebuah model arsitektur.
“Terlalu rapi!” tegur Fionn, menyentuh susunan kayu Elara. “Jangan takut pada celah, Elara. Celah adalah ruang untuk bernapas. Jika semuanya terlalu ketat, api akan mati karena sesak. Sama seperti jadwalmu.”
“Aku tidak suka celah,” bisik Elara.
“Aku tahu. Tapi celah di sini adalah kuncinya.”
Fionn kemudian mengambil posisi di belakang Elara. Dia ingin menunjukkan cara menyusun kayu pemantik dengan teknik teepee yang sempurna.
“Baik, sekarang, angkat ranting pemantik ini, dan letakkan di atas pemula dengan posisi membentuk tenda. Jangan terlalu menekan,” instruksi Fionn.
Karena Fionn harus memastikan Elara memegang ranting dengan sudut yang benar, ia harus mendekat. Fionn meletakkan tangan kirinya di bahu Elara, dan tangan kanannya di atas tangan Elara yang memegang ranting.
Tubuh mereka hampir menempel. Elara bisa merasakan kehangatan Fionn di punggungnya, dan ia bisa mencium aroma pinus-kopi Fionn yang kini menjadi aroma favoritnya yang baru.
Jantung Elara mulai berdebar kencang lagi, jauh lebih kencang daripada saat ia hampir terjatuh di bukit. Itu adalah momen kedekatan yang sangat canggung, sangat pribadi, dan tidak terencana.
“Kau terlalu tegang,” bisik Fionn, suaranya tepat di sebelah telinga Elara. “Lemaskan jarimu sedikit. Ingat, organik.”
Elara merasakan tangan Fionn bergerak lembut di atas tangannya, menyesuaikan posisi ranting. Sentuhan itu terasa sangat panas, jauh lebih panas daripada api yang ingin mereka nyalakan.
“Aku… aku hanya berkonsentrasi,” jawab Elara, suaranya sedikit bergetar.
“Aku tahu. Tapi kau harus rileks. Percayalah pada kayu. Percayalah pada api. Percayalah padaku,” ujar Fionn, matanya menatap intens ke samping wajah Elara.
Fionn kemudian mengeluarkan korek api tua. Dia menggeseknya, dan nyala api kecil muncul. Dia meminta Elara meletakkan nyala api itu di bawah kertas koran.
“Pelan-pelan, Elara. Jangan terburu-buru. Nikmati prosesnya,” katanya.
Saat kertas koran mulai terbakar, api menjalar ke ranting-ranting pemantik. Dalam beberapa detik, api kecil itu melahap pemantik, dan asap naik ke cerobong.
“Berhasil!” seru Fionn, melupakan posisi mereka dan memeluk Elara sebentar karena gembira. Pelukan itu cepat, tetapi cukup kuat untuk membuat Elara terengah-engah.
Fionn kemudian melepaskan Elara dan duduk di sampingnya, mengagumi hasil karya mereka. “Kau lihat? Api selalu menemukan jalannya, meskipun kau merencanakannya. Sekarang, kita hanya perlu menunggunya menyebar ke kayu utama.”
Mereka duduk berdekatan di depan perapian yang mulai menghangatkan ruangan. Obrolan mereka berlanjut, beralih dari filosofi api menjadi cerita masa lalu yang lebih pribadi.
“Kau pernah mengalami patah hati?” tanya Elara tiba-tiba, menatap api.
Fionn tersenyum pahit. “Tentu saja. Siapa yang tidak? Patah hati pertamaku terjadi saat aku harus meninggalkan kedai kopi kecilku di Dublin. Aku jatuh cinta pada bisnis itu, dan ketika gagal, rasanya seperti patah hati.”
“Bukan, maksudku, seperti patah hati romantis. Wanita...”
“Ah, itu. Beberapa. Tapi yang terbesar... dia adalah seorang seniman. Selalu berpergian. Dia bilang, aku terlalu ‘diam’ untuknya. Dia butuh kekacauan yang lebih besar,” Fionn menghela napas. “Aku tidak bisa memberinya kekacauan yang lebih besar dari Biscotti.”
Elara tersenyum. “Aku bisa mengerti. Aku tidak punya waktu untuk patah hati romantis. Aku terlalu sibuk memastikan karierku tidak hancur. Lagipula, siapa yang mau berkencan dengan wanita yang punya jadwal mandi pukul 19.00 tepat?”
“Aku mau,” kata Fionn, spontan. Matanya menatap Elara.
Elara merasakan pipinya memerah karena panas api. “Jangan konyol.”
“Aku serius. Aku suka tantangan. Aku suka kenyataan bahwa di balik semua jadwal itu, kau adalah wanita yang berapi-api. Kau punya gairah yang kuat. Dan, kau membuat scone ibuku terlihat lebih menggairahkan,” Fionn berbisik.
Mereka berdua hanyut dalam momen itu, Fionn bersandar pada lututnya, dan Elara bersandar pada dinding perapian. Mereka berdua begitu dekat, terpesona oleh api yang mulai menyebar ke kayu utama, dan tenggelam dalam ketegangan yang diciptakan oleh dialog dan sentuhan mereka.
Tiba-tiba, Biscotti, yang tidur di sudut, mulai menyalak keras dan melompat-lompat ke arah perapian.
“Ada apa, Champ?” Fionn tertawa, mengira anjing itu sedang bermain.
Namun, Elara mencium bau yang aneh—bau kain terbakar.
“Fionn! Aku mencium bau seperti… seperti kapas!”
Fionn mengerutkan kening. Mereka berdua segera melihat ke arah api.
Mereka menyadari: Saat mereka duduk berdekatan, ujung lengan sweater wol abu-abu Elara yang longgar, tanpa disadari, menyentuh pinggiran tungku perapian yang sangat panas. Bagian kecil dari wol Elara sudah mulai menghitam dan mengeluarkan asap tebal!
“ASTAGA! Elara... lengan bajumu!” pekik Fionn.
Elara langsung panik. Dia melompat mundur, tetapi ia berada di ruang sempit. Ia tersandung karpet, dan alih-alih menjauh, ia malah menyenggol teko teh panas yang ada di meja samping.
PRANG!
Teko pecah. Teh panas tumpah ke lantai kayu, dan asap dari sweater Elara memenuhi ruangan.
“Api! Api!” teriak Elara, melihat sweater-nya. Trauma masa lalunya—ketakutan akan kegagalan dan kerusakan—kembali menyerangnya. Ia mulai terisak lagi.
Fionn bertindak cepat. Ia meraih cangkir kopinya yang berisi sisa espresso dingin dan menuangkannya ke lengan sweater Elara, memadamkan asap itu.
“Sudah! Sudah, Elara! Sudah padam! Hanya sedikit gosong!” Fionn berusaha menenangkan Elara, sambil menahan tangannya.
“Aku merusaknya! Aku merusak pondokmu! Aku tidak berhati-hati! Aku merusak semuanya!” Elara panik, menatap noda gosong kecil di sweater-nya dan genangan teh di lantai.
Fionn memeluk Elara erat-erat, menahan kepanikan Elara, sambil menginjak Biscotti yang terus menyalak karena kegaduhan.
“Tidak ada yang rusak, Elara! Hanya sedikit teh dan sedikit gosong. Kita bisa membersihkannya. Kita bisa memperbaikinya. Tarik napas, Nona! Ingat ritme itu!” Fionn memeluknya lebih erat, mengabaikan panas di lengannya.
Elara akhirnya mulai tenang dalam pelukan Fionn. Itu adalah kekacauan yang total: perapian yang menyala terang, asap, pecahan keramik, genangan teh, dan Fionn yang memeluknya erat-erat dengan sweater rusa Natalnya.
“Kita bisa memperbaikinya, Fionn?” bisik Elara, masih bergetar.
“Tentu saja kita bisa. Karena itu adalah organik. Kekacauan tidak berarti kehancuran, Elara. Kekacauan berarti kita punya cerita baru untuk diceritakan.”
Setelah Elara tenang, Fionn membersihkan kekacauan itu dengan cepat dan efisien. Malam itu, mereka kembali duduk di depan perapian, yang kini menyala dengan sempurna. Fionn mengambil sweater rusa kutub lamanya dan memakaikannya pada Elara.
“Mulai sekarang, ini seragammu. Perlindungan dari api dan dari dirimu sendiri,” Fionn tersenyum.
Elara tersenyum kembali, memeluk sweater yang kebesaran itu. “Terima kasih, Fionn.”
Ia tahu ia baru saja belajar bahwa api, dan hati, tidak bisa sepenuhnya direncanakan.