NovelToon NovelToon
You Can Run, But You'Re Still Mine

You Can Run, But You'Re Still Mine

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Single Mom / Identitas Tersembunyi / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Dark Romance
Popularitas:32.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.

Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.

Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.

Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21. Alasan untuk Pulang

Hari-hari setelah misi di perbatasan berlalu tanpa seremoni.

Nama Raska tidak pernah muncul di papan pengumuman. Tak ada medali. Tak ada upacara. Tak ada tepuk tangan.

Namun—

Di lorong markas, dua perwira berbisik saat melihatnya melintas.

“Itu Kapten Raska, ‘kan?”

“Iya. Yang operasi perbatasan.”

“Katanya dia keluar sambil gendong sendiri prajurit yang luka paling parah.”

“Dan nggak ninggalin satu pun.”

Di ruang perwira, suara lain beredar.

“Dia melanggar prosedur.”

“Tapi misinya bersih.”

“Dan semua pulang hidup.”

Di ruang strategi, seorang analis berhenti di satu halaman laporan. Jemarinya mengetuk meja pelan.

“Decision-making-nya cepat,” gumamnya. “Terlalu cepat untuk kapten biasa.”

Di unit lain, seorang perwira senior membaca laporan yang sama. Sekali. Lalu sekali lagi.

Ia menghela napas kecil, hampir seperti senyum.

“Anak ini…” gumamnya pelan.

“Cocok untuk jalur lain.”

***

Suatu malam, seorang Perwira Senior menemui Raska.

Raska berdiri tegak. Seragamnya rapi. Wajahnya tenang. Tenang yang sudah terlatih.

“Kapten Raska.”

“Siap.”

“Laporan misi Anda… menarik perhatian.”

Raska tidak menyela. Ia menunggu.

“Unit khusus tertarik padamu,” lanjut perwira itu pelan. “Unit yang tidak merekrut lewat pengumuman.”

Ia menyebut satu nama. Pendek. Sunyi. Berat.

Raska mengangkat pandangannya sedikit.

Perwira melanjutkan. “Sifatnya selektif. Risiko tinggi. Minim sorotan.”

“Siap,” jawab Raska. “Apa syaratnya?”

Perwira itu menatapnya lurus.

“Jika kau masuk… hidupmu bukan lagi milikmu.”

Raska terdiam.

Dalam benaknya bukan medan tempur. Bukan pangkat.

Melainkan satu wajah. Dan satu janji yang belum sempat ditepati.

“Siap. Ada satu hal yang ingin saya tanyakan,” ucapnya akhirnya.

“Silakan.”

“Jika saya masuk… apakah saya masih punya alasan untuk pulang?”

Perwira itu tidak langsung menjawab. Karena mereka sama-sama tahu, jawaban itu tidak tertulis di mana pun.

“Apa keputusanmu, Kapten?” tanyanya kemudian.

Raska menarik napas pendek.

“Siap. Terima kasih atas kepercayaannya,” katanya tenang. “Tapi saya menolak.”

Alis perwira itu terangkat. “Kau sadar apa artinya?”

“Siap.”

“Kau bisa lebih tinggi. Lebih cepat.”

Raska menggeleng pelan. Suaranya rendah, tapi tak tergoyahkan.

“Siap. Saya tidak ingin lebih tinggi, Komandan.”

Ia menatap lurus.

“Saya ingin tetap utuh.”

Sunyi jatuh.

Perwira itu akhirnya mengangguk pelan. “Jika suatu hari kau berubah pikiran—”

“Jika hari itu datang,” potong Raska,

“berarti saya sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dilindungi.”

 

Sementara itu, di rumah kecil, di belahan bumi yang lain

“Mommy…”

Suara kecil itu membuat Elvara menoleh dari kompor.

Rava berdiri di ambang dapur, mata bulatnya menatap lurus. Terlalu tajam untuk anak empat tahun.

"My friends have dads. Papa aku mana?”

Elvara tersenyum. Senyum yang sudah ia latih bertahun-tahun.

“Papa lagi kerja keras, Sayang. Lagi ngumpulin uang.”

Rava mengernyit. "Why doesn't he come home? Ngumpulin uang buat apa?”

“Biar bisa ketemu kita.”

Rava berpikir. Lama.

“Berarti Papa tinggal di tempat yang jauh?”

Elvara mengangguk pelan.

"Kalau jauh.. why can't Rava call Papa?"

Senyum itu retak sedikit. Elvara menelan ludah, sebelum berlutut dan menyamakan tinggi mata mereka.

“Papa mau bikin kejutan. Kalau ditelepon nanti kejutannya bocor.”

Rava menatapnya lama. Terlalu lama.

“So, Why--"

“Mama bantu nenek masak, ya,” kata Elvara cepat, seolah ingin menutup percakapan sebelum pertanyaan berikutnya lahir.

"Rava ke kamar dulu, belajar biar pintar." ia mengusap lembut kepala putranya.

“Oke, Mommy.” Nada kecewa itu pelan, tapi tajam.

Rava berbalik. Langkahnya kecil. Berat

Di balik dinding tipis itu, Elda berdiri mematung. Ia menghela napas panjang. Tangannya menempel di dada.

“Sampai kapan kau bisa menghindar, Ra…” gumamnya lirih. "… sebelum bocah itu sendiri yang menuntut kebenaran?”

Tatapannya jatuh ke arah Rava yang melangkah menuju kamar tanpa bicara.

Bocah itu terlalu cerdas.

Dan kebenaran, tak akan bisa disembunyikan selamanya.

***

Malam itu, pintu kamar pribadi Raska di kompleks perwira akademi militer diketuk tiga kali. Tepat, terukur.

Raska membuka pintu.

Seorang prajurit berdiri tegak di depannya. Seragamnya rapi, wajahnya masih pucat oleh sisa kelelahan yang belum sepenuhnya hilang.

“Selamat malam, Kapten,” ucapnya sambil memberi hormat penuh.

“Malam,” jawab Raska datar. “Ada apa, Cakra?”

“Siap. Saya menyampaikan pesan dari Mayor Jenderal Sunandar. Beliau meminta Kapten menemui beliau malam ini.”

Raska terdiam sepersekian detik.

Mayjen Sunandar bukan perwira yang memanggil orang tanpa alasan.

“Ini dinas?” tanyanya singkat.

“Siap. Bukan, Kapten. Beliau bilang… urusan pribadi.”

Raska mengangguk. “Tunggu.”

Tak sampai lima menit, ia sudah berpakaian rapi. Tanpa banyak bicara, ia mengikuti Cakra menyusuri koridor markas yang lengang. Langkah mereka bergema pelan di lantai batu.

Beberapa meter sebelum tujuan, Cakra tiba-tiba melambat.

“Kapten,” katanya pelan, nyaris ragu.

Raska berhenti. Menoleh. “Ada apa?”

Cakra menarik napas dalam. Posturnya tetap tegak, tapi suaranya tak sekeras biasanya.

“Siap. Saya… hanya ingin mengucapkan terima kasih.”

Raska menatapnya tanpa ekspresi.

“Kalau bukan karena Kapten,” lanjut Cakra, “saya mungkin tidak keluar hidup dari perbatasan malam itu.”

Ia menelan ludah. “Kapten bahkan menggendong saya sendiri. Padahal Kapten bisa menyuruh siapa saja.”

Kalimat itu jatuh jujur. Tanpa bumbu. Tanpa drama.

“Bagi saya,” sambungnya lirih, “itu… kehormatan.”

Raska menatapnya beberapa detik. Lalu menjawab datar, seolah membicarakan hal paling biasa di dunia.

“Kau terluka,” katanya. “Itu tugas saya.”

Cakra menegakkan bahu, memberi hormat lagi. Lebih dalam dari sebelumnya.

Mereka melanjutkan langkah. Berhenti di depan sebuah pintu dengan lampu temaram di atasnya.

Cakra mengulurkan tangan ke gagang pintu. Pintu terbuka.

Raska masuk.

Di belakangnya, Cakra menutup pintu kembali.

Ruang kerja itu sederhana. Tak ada kemewahan. Hanya sebuah meja kayu, rak dokumen, dan satu bendera kecil di sudut ruangan

Raska melangkah masuk dan memberi hormat.

“Siap, melapor—”

“Tak perlu formal,” potong Sunandar pelan. “Duduk saja. Malam ini aku bukan bicara sebagai jenderal.”

Raska menurut. Duduk tegak di kursi depan meja.

Sunandar menatapnya lama. Tatapan seorang prajurit senior. Tajam, tapi tidak menghakimi.

“Kau tahu kenapa aku memanggilmu?”

“Siap. Tidak tahu, Jenderal.”

“Kapten,” Sunandar membetulkan. “Malam ini, panggil aku Pak.”

Raska mengangguk kecil. “Siap.”

Sunandar bersandar. “Kau kenal prajurit bernama Cakra?”

“Siap. Ia anggota tim saya.”

“Apa alasanmu menyelamatkan dia di operasi kemarin?”

Raska menjawab tanpa jeda. “Siap. Karena dia anak buah saya.”

Sunandar menaikkan alis. “Hanya itu?”

“Siap.” Suara Raska tetap datar. “Saya tidak memilih siapa yang layak hidup. Tugas saya memastikan sebanyak mungkin kembali.”

Sunandar menghela napas pelan. Lalu berkata, dengan suara yang lebih rendah.

“Cakra itu… anakku.”

Untuk pertama kalinya malam itu, ekspresi Raska berubah. Bukan panik. Bukan gugup. Hanya terkejut. Sesaat.

“Siap,” katanya akhirnya. “Saya tidak tahu.”

“Aku tahu,” jawab Sunandar. “Dan justru itu yang ingin kudengar.”

Sunandar berdiri. Melangkah mendekat. Bukan sebagai atasan, melainkan sebagai seorang ayah.

“Terima kasih,” ucapnya pelan. “Bukan dari seorang jenderal. Tapi dari seorang ayah.”

Ia menatap lurus ke mata Raska.

“Jika kau mengikuti prosedur sepenuhnya… anakku sudah mati di hutan itu.”

Ruangan sunyi.

“Aku berutang padamu,” lanjut Sunandar. “Dan karena itu, aku memberimu satu kesempatan. Satu permintaan. Selama tidak melanggar hukum dan kewenanganku.”

Raska tidak langsung menjawab. Dalam benaknya, hanya satu nama yang muncul.

“Elvara,” katanya akhirnya. “Saya mencari seseorang.”

...🔸🔸🔸...

..."Di medan perang, prajurit bertahan demi negara....

...Di hidupnya, ia bertahan demi pulang."...

..."Nana 17 Oktober"...

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
LibraGirls
jadi kecebong raska🙊
LibraGirls
semangat buat kalian semua 😂
Suanti
nanti raska salah faham kira elvara sdh nikah lgi 🤭
Dek Sri
semoga elvara dan raska suatu hari bersatu
Wardi's
wajib lanjut sih thor... makin seru nih...
Wardi's
ach gk rela klo vara sm adrian...
Wardi's
ko dr adrian ikut... ngapain??
Eka Burjo
iiihhh gemesnyaaa👌👌👌👌🫩🫩☹️☹️☹️
Puji Hastuti
Masalah harus di selesaikan vara, semoga kalian bahagia
Wardi's
ach tidaaaak... asli deg2an bacanya..
Fadillah Ahmad
Lanjutkan Lagi Kak Nana... 😁😁😁🙏

Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Fadillah Ahmad
Iya, Belum Waktunya kalian Bertemu... Sabar saja... Dan, ketika Waktu itu datang... Kamu pasti akan pangling melihat Raska Yang Sekarang Elvara... 😁😁😁 dia "Raska" kini, sudah menjadi Tentara... Sesuai Yang di inginkan oleh ibumu Elvara 😂😂😂 Jadi, Tunggu lah Waktu itu datang, ya... 😁😁😁
Fadillah Ahmad
Itu Elvara Rasaka... Itu Elvara... Dia kembali! 😁😁😁
Endang Sulistiyowati
Hah nyaris tipis...padahal reaksi tubuh saling mengenali. Bangganya nanti Rava punya ayah seorang Kapten. pasti langsung keterima sama Bu Elda. Ga tau lah Elvara mau kemana arahnya.

Kak, up lagi donk 🤭
Fadillah Ahmad
itu Pasti Raska, kan kak Nana? Mungkin Baru Pulang Dinaa, Dari Papua, Mungkin ya? 😁😁😁
tse
kata2 mutiaramu ka. ...
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Fadillah Ahmad
Iya, Waktu itu, telah tiba Elvara. Ksmu sudah tidak bisa menghindar lagi, sudah bertahun-tahun kamu menghindar Elvara. Sekarang lah Saatnya kamu kembali... Dan menyelesaikan masalahmu yang telah lama tertunda sejak Remaja itu. Pulanglah... 😁😁😁🙏
Fadillah Ahmad
Harus itu, bukan kah... Kata orang tua, dulu-dulu, laki-laki itu harus kuat, nggk boleh Nangis, kan.

Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏

Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏
Suanti: kirain bisa bertemu di bandara 🤭
total 1 replies
Hanima
lanjut Rasss
Fadillah Ahmad
Iya Sayang, Papa kamu harus di Cari dulu di Penjuru kota Jskarta... Atau bahkan Ke Seluruh indonesia, Sayang... 😁😁😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!