Emma tak pernah menyangka akan mengalami transmigrasi dan terjebak dalam tubuh istri yang tak diinginkan. Pernikahannya dengan Sergey hanya berlandaskan bisnis, hubungan mereka terasa dingin dan hampa.
Tak ingin terus terpuruk, Emma memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri tanpa berharap pada suaminya. Namun, saat ia mulai bersinar dan menarik perhatian banyak orang, Sergey justru mulai terusik.
Apakah Emma akan memilih bertahan atau melangkah pergi dari pernikahan tanpa cinta ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Eleanor memacu mobilnya menyusuri jalan raya menuju sebuah toko kue, ia ingin membeli kue coklat sebagai perayaan atas usahanya di kehidupan keduanya ini.
Saat ia tengah memilih, tiba-tiba ponselnya bergetar di dalam tasnya. Eleanor merogoh tasnya dan mengambil ponsel. Layar menunjukkan nama yang tidak asing.
Alisnya sedikit berkerut, tapi ia tetap mengangkat panggilan itu. "Ada apa?"
"Kamu sedang di mana?" suara Sergey terdengar datar, seperti biasa, tanpa nada emosi yang jelas.
"Aku sedang di toko kue," jawab Eleanor, matanya masih tertuju pada kue coklat di etalase.
"Datanglah ke kantorku sekarang. Ada berkas yang memerlukan tanda tanganmu," ujar Sergey tanpa basa-basi.
Eleanor menghela napas pelan. "Sergey, aku sedang tidak ingin mengurus pekerjaan sekarang."
"Berkas ini tidak bisa menunggu," potong Sergey cepat. "Lima belas menit kamu harus sudah ada di sini."
Tanpa menunggu jawaban, panggilan terputus begitu saja. Eleanor menatap ponselnya sejenak sebelum mengembalikannya ke dalam tas.
Perayaan kecilnya harus ditunda. Ia berbalik dan keluar dari toko tanpa membeli apa pun.
"Sialan, dia selalu mengacaukan hari-hariku." Umpat Eleanor jengkel.
Ia masuk ke dalam dan menutup pintu mobil dengan kasar. Eleanor menghela napas panjang, mencoba meredam rasa kesalnya.
Sergey selalu seperti itu, muncul tiba-tiba dan menuntut sesuatu tanpa memberi ruang untuknya menolakan.
Ia menyalakan mesin mobil, lalu menekan pedal gas dengan sedikit lebih kuat dari biasanya. Jalanan sore itu cukup ramai, tapi pikirannya lebih berisik daripada lalu lintas di sekitarnya.
"Kenapa harus sekarang?" pikir Eleanor.
Jika Sergey benar-benar hanya butuh tanda tangannya, kenapa harus memaksanya datang secepat itu?
Ia melirik ponselnya yang tergeletak di kursi penumpang. Sekilas, terlintas keinginannya untuk mengabaikan panggilan itu.
Tapi pada akhirnya, Eleanor tetap mengangkatnya ia tahu menolak Sergey sekarang justru akan membuatnya kesulitan karena saat ini ia masih membutuhkan Sergey untuk menuju rencananya.
Setelah beberapa belas menit berkendara, ia tiba di depan sebuah gedung perkantoran yang sudah terlalu familiar. Ia keluar dari mobil, merapikan rambutnya sekilas, lalu berjalan masuk.
Saat tiba di lantai tempat kantor Sergey berada, pintu kaca besar itu terbuka otomatis. Resepsionis yang mengenalnya hanya mengangguk kecil tanpa bertanya apa pun.
Eleanor langsung menuju ke ruangan Sergey, lalu tanpa mengetuk, ia membuka pintu dengan sedikit kasar.
Eleanor bersiap meluapkan kejengkelannya pada Sergey. Namun, seketika langkahnya terhenti, matanya membulat saat menangkap pemandangan di depannya.
Di kursi kerja, Sergey tengah duduk dengan seorang wanita di pangkuannya. Ia Aria.
Wanita itu bersandar manja di dada Sergey, sementara tangan pria itu bergelantung acuh di kedua sisi tubuhnya.
Wajah Eleanor langsung berubah dingin. Ia mengenali Aira, sosok yang pernah ia lihat dalam foto tua di dalam kotak kayu di kamarnya. Masa lalu Sergey yang selama ini ia pikir sudah tidak ada di negara ini.
'Oh, jadi ini wanita masa lalu Sergey,' batin Eleanor.
Sergey tampak terkejut begitu melihat Eleanor berdiri di ambang pintu. Seolah refleks, ia segera mendorong Aria dari pangkuannya dan bergegas berdiri.
"Eleanor, ini bukan seperti yang kamu pikirkan." Ucap Sergey panik.
Eleanor menyeringai, menutup pintu di belakangnya dengan tenang. "Oh? lalu ini apa?" tanyanya dengan nada sinis. "Latihan menyusun dokumen dengan posisi yang lebih intim?"
Aria, yang kini berdiri di balik meja kayu, hanya tersenyum tipis sambil merapikan rambutnya. Tatapannya penuh kepuasan seolah menikmati situasi ini.
Sergey berjalan cepat ke arah Eleanor, ekspresinya penuh urgensi. "Dengar, aku bisa menjelaskan..."
"Tidak perlu." Eleanor memotongnya tajam, lalu menatap suaminya dengan dingin. "Aku hanya di sini untuk menandatangani berkas, bukan menonton sandiwara."
Sergey mengembuskan napas panjang, jelas terlihat tidak nyaman. "Eleanor, dengarkan aku dulu."
Namun, Eleanor tetap berdiri di tempatnya, ekspresinya tanpa celah. Di dalam hatinya, ia tahu apapun penjelasan Sergey, kepercayaan yang tersisa di antara mereka kini sudah lebih rapuh dari sebelumnya.
Sergey mencoba meraih tangan Eleanor, tapi wanita itu dengan cepat menghindar, membuat ekspresi dingin di wajahnya semakin kentara.
"Aku bilang tidak perlu penjelasan, Sergey," ucap Eleanor tajam. "Kamu memanggilku ke sini untuk menandatangani sesuatu, kan? jadi mana berkasnya?"
Sergey mengusap wajahnya, tampak frustrasi. Sementara itu, Aria masih menonton dengan santai kegaduhan itu, matanya memperhatikan keduanya dengan senyum samar, seolah menikmati bagaimana situasi ini berkembang.
"Aria tidak ada hubungannya dengan ini," ujar Sergey akhirnya, suaranya lebih tenang namun penuh ketegangan.
Eleanor menoleh ke arah wanita itu dan mengangkat alis. "Oh? tidak ada hubungannya?" Ia terkekeh, lalu kembali menatap Sergey. "Lalu kenapa dia ada di pangkuanmu, suamiku yang terhormat?"
Sergey terdiam, ia tidak segera menjawab pertanyaan itu.
Eleanor melipat tangan di dada, menatapnya dengan tajam. "Sergey, aku sudah terlalu lelah untuk drama semacam ini. Kamu tahu aku tidak peduli dengan apa yang kamu lakukan di belakangku, kan?"
Mata Sergey sedikit menyipit. "Aku tidak bermain di belakangmu, Lea."
Eleanor tertawa kecil, tapi tanpa emosi. "Benarkah? lalu ini apa?"
Ia melirik ke arah Aria, yang masih duduk tanpa rasa bersalah sedikit pun padanya.
Aria akhirnya angkat bicara, suaranya lembut tapi menusuk. "Kamu terlalu cepat mengambil kesimpulan, Eleanor. Mungkin kamu harus duduk dan mendengarkan dulu sebelum bereaksi berlebihan seperti anak kecil."
Eleanor menoleh cepat, matanya bersinar tajam. "Anak kecil? bukankah di sini kamu yang bertingkah kekanakan hm, mungkin kamu harus belajar tahu tempat, Aria. Aku tidak ingat pernah meminta pendapatmu."
Senyum di wajah Aria sedikit memudar, tapi tidak hilang sepenuhnya.
Sergey menarik napas panjang, lalu berjalan ke meja kerjanya, mengambil beberapa lembar dokumen dan menyodorkannya ke Eleanor.
"Tanda tangani ini dulu, lalu kita bicara." Ujar Sergey cepat.
Eleanor menatapnya sesaat sebelum mengambil pena dan mulai menandatangani tanpa ragu. Begitu selesai, ia meletakkan pena itu dengan sedikit tekanan di atas meja.
"Sekarang, bicaralah," kata Eleanor dingin.
Sergey menghela napas, lalu mengambil kembali dokumen di atas meja. "Ini bukan tentang perselingkuhan, Eleanor. Tadi Aria tiba-tiba muncul dan..."
"Aku dan Sergey masih saling mencintai," potong Aria tiba-tiba.
Ruangan itu langsung dipenuhi keheningan tegang. Sergey menoleh cepat ke arah Aria, jelas tidak menduga ia akan mengatakannya. Sementara itu, Eleanor hanya menatap wanita itu tanpa ekspresi.
Aria mengangkat dagunya sedikit, seolah menantang Eleanor. "Kamu mungkin istrinya sekarang, Eleanor, tapi itu tidak mengubah perasaan kami. Kamu bisa menandatangani semua dokumen yang kamu mau di perusahaan ini, tapi perasaan tidak bisa dihapus dengan tinta di atas kertas."
Eleanor tidak langsung merespons. Ia hanya menatap Aria lama, sebelum akhirnya tersenyum tipis senyum yang sama sekali tidak mencerminkan kehangatan.
"Perasaan?" katanya pelan, tapi terdapat ketajaman dalam suaranya. "Kamu benar, Aria. Perasaan memang tidak bisa dihapus dengan tinta di atas kertas. Tapi, kamu tahu apa yang bisa?"
Aria mengerutkan kening, tapi sebelum ia menjawab Eleanor sudah lebih dulu melanjutkan.
"Kehormatan," katanya, suaranya lebih tajam dari sebelumnya. "Martabat. Harga diri. Semua itu bisa lenyap hanya karena seseorang terlalu bodoh untuk melepaskan masa lalunya."
Senyum di wajah Aria langsung memudar. Untuk pertama kalinya sejak awal percakapan ini, ia tampak kehilangan kata-kata.
Eleanor mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap Aria secara langsung. "Jadi, jika kamu masih berpegang pada perasaan yang katanya tidak bisa dihapus, aku hanya bisa merasa kasihan padamu. Karena yang masih terjebak di masa lalu di sini bukan aku... tapi kamu."
Keheningan yang mengikuti kata-kata Eleanor terasa begitu berat. Sergey hanya mengamati tanpa berkata apa-apa, sementara Aria terlihat pucat, bibirnya sedikit terbuka seakan ingin membalas, tapi tak ada satu kata pun keluar.
Eleanor kemudian berbalik, mengambil tasnya, "Kalau kamu mau, kamu boleh mengambilnya lagi. Aku tidak membutuhkan pria pengecut yang bahkan tidak bisa membela istrinya sendiri."
Sergey mengernyit, tapi tetap diam. Sementara itu, Aria tampak semakin terdiam, matanya berkedip cepat seolah mencoba mencerna kata-kata Eleanor.
Tanpa menunggu respons, Eleanor melangkah pergi dengan mantap, meninggalkan Sergey dan Aria dalam keheningan yang nyaris mencekik.
thor 😄😄😄😄😄😄