Di Kota Pontianak yang multikultur, Bima Wijaya dan Wibi Wijaya jatuh hati pada Aisyah. Bima, sang kakak yang serius, kagum pada kecerdasan Aisyah. Wibi, sang adik yang santai, terpesona oleh kecantikan Aisyah. Cinta segitiga ini menguji persaudaraan mereka di tengah kota yang kaya akan tradisi dan modernitas. Siapakah yang akan dipilih Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati Yang Terluka
Setelah meninggalkan Abi di kafe, langkah Andini terasa lunglai ditopang oleh kesedihan yang membeku. Kaki-kakinya melangkah melewati lorong yang masih ramai, tapi semua suasana terasa kabur di balik air mata yang terus menetes. Suara orang-orang yang berbicara, tawa, bahkan musik yang diputar di toko-toko terasa seperti bunyi jauh yang tidak berarti. Dia hanya ingin pulang, pulang ke tempat yang bisa untuk menyembunyikan diri dari dunia yang tiba-tiba terasa begitu sepi.
Sampai di depan gerbang rumah, dia hampir lupa dimana menyimpan kunci karena tangan yang gemetar. Jari-jari yang dulu sering digenggam Abi dengan lembut sekarang cuma terasa dingin dan kosong. Setelah membuka pintu, dia langsung masuk ke kamarnya tanpa menyapa Mamanya yang sedang berada di dapur. Dia membanting pintu dengan keras, seolah ingin menutup semua masalah yang mengikutinya.
Dia menjatuhkan dirinya di atas ranjang, menutupi wajah dengan bantal yang masih bau wangi. Akhirnya, tangis yang sudah dia tahan sepanjang perjalanan meluap semuanya. Suara tangisnya terisak-isak, menyilang keheningan kamar. Semua penat, kesedihan, dan perasaan tidak berharga yang dia pendam selama lima tahun itu keluar sekaligus.
"Kenapa ya, Tuhan?" ucapnya pelan, suaranya terhalang bantal. "Aku udah berusaha sebaik mungkin dukung dia buat jadi builder motor, bantu modal bengkel, bahkan mau nunggu meskipun dia selalu terlambat. Tapi kenapa dia nggak bisa lihat aku? Kenapa aku cuma jadi yang kedua?"
Dia melirik ke arah rak meja rias, di mana ada foto kecil mereka berdua yang terpasang di bingkai kayu. Foto itu diambil di pantai Pasir Putih, tiga tahun yang lalu. Abi tersenyum lebar, rambutnya keringat dan berantakan setelah main ombak, sambil menggenggam tangannya dengan erat sampai jempolnya memerah. Pada saat itu, senyum Abi itu seolah memastikan bahwa dia adalah segalanya baginya. Tapi sekarang, foto itu terasa seperti kenangan yang hanyut — sesuatu yang pernah ada tapi sudah tidak lagi miliknya.
Dia merenungkan kata-kata Abi yang masih mengganggu hatinya: "Aku masih pengen bebas." Apa artinya "bebas" itu? Apakah artinya dia, Andini, adalah yang membuatnya terkurung? Apakah selama ini dia cuma jadi beban yang menghalangi mimpinya? Pikiran itu membuat hatinya terasa seperti ditusuk lagi dengan jarum yang lebih tajam. Dia mulai menggigit bibirnya sampai terasa sakit, benci pada dirinya sendiri yang terlalu lama percaya pada janji-janji kosong Abi.
"Aku nggak mau dipermainkan lagi," bisiknya dalam hati, suaranya mulai lebih tegas meskipun masih terisak. "Sudah cukup kali dia buat aku menunggu, cukup kali dia abaikan perasaanku, cukup kali dia bikin aku merasa tidak berarti." Dia ingat semua kesempatan yang dia berikan setiap kali Abi bilang "Lagi ya, nanti aku perbaiki", setiap kali dia berjanji "Besok aku tidak terlambat lagi", setiap kali dia katakan "Aku sayang kamu" tapi tidak ada tindakan yang membuktikannya. Semua itu hanyalah kata-kata kosong yang membuatnya terjebak dalam lingkaran kesedihan.
Dia meraih selimut yang tergeletak di ujung ranjang, membungkus badannya seketat mungkin. Di dalam kelambu yang gelap, dia memikirkan semua hari-hari indah yang mereka lewati. Hari-hari dimana Abi akan mengantarnya pulang dari kerja, membawa bunga mawar kecil yang dia beli dari pedagang di pinggir jalan. Hari-hari dimana mereka akan ngobrol sampai larut malam, membicarakan mimpi-mimpi yang ingin dicapai bersama: rumah kecil di pinggir pantai, dua anak yang ceria, hidup yang penuh bahagia. Semua itu seolah sudah hilang, diganti dengan keterlambatan, ketidaksadaran, dan kata-kata yang menyakitkan.
"Aku juga punya harga diri," gumamnya, air mata masih menetes tapi hatinya mulai merasa sedikit tegas. "Aku tidak akan terus jadi orang yang dia bisa tinggalkan kapan saja, yang dia bisa abaikan kapan saja. Aku nggak mau lagi dipermainkan seperti mainan yang udah bosan." Dia berpikir tentang teman-temannya yang selalu bilang dia terlalu baik untuk Abi, yang selalu minta dia putus. Sebelumnya dia selalu bilang "Dia akan berubah", tapi sekarang dia mulai menyadari bahwa berubah itu butuh keinginan dari diri sendiri — dan Abi seolah tidak punya keinginan itu untuknya.
Tiba-tiba, dia mendengar suara mamanya yang mengetuk pintu kamar dengan lembut. "Din, sayang, kamu udah pulang? Mau makan apa nggak? Aku bikin bubur ayam kesukaan kamu loh."
Andini coba menyeka air matanya dan menjawab dengan suara yang masih terisak tapi sudah sedikit lebih tenang. "Nggak apa-apa, kok, Ma. Aku cuma lelah aja."
"Yang bener, kalau cuma lelah aja?" tanya mamanya yang curiga mendengar suara Andini yang agak serak.
"Beneran, Ma, aku cuma lelah aja!" singkat dia.
"Baik deh, kalo butuh apa-apa bilang ya. Bubur aku taruh di meja makan ya, kalo mau makan nanti tinggal panaskan," kata mamanya yang tidak mau memaksa, lalu langkahnya menjauh meninggalkan kamar Andini.
Andini menutup mata, membiarkan dirinya terbenam dalam kesedihan tapi juga dengan tekad baru. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah dia harus melupakan Abi dan memulai hidup baru? Atau apakah dia masih punya harapan yang sisa? Satu hal yang pasti: dia tidak bisa terus hidup seperti ini — merasa tidak berarti, merasa cuma jadi pelengkap. Hatinya yang terlupakan butuh waktu untuk sembuh, dan dia tahu, langkah pertama adalah menyadari bahwa dia juga berhak mendapatkan cinta yang sepenuh hati, cinta yang tidak membuatnya merasa dipermainkan, cinta yang membuatnya merasa berharga. Dia menutup mata lebih erat, berharap besok akan membawa kejelasan yang dia butuhkan.
Setelah mamanya pergi, Andini masih tergeletak di ranjang, mata terpejam tapi otak tidak bisa berhenti berpikir. Tekadnya yang baru — tidak mau dipermainkan lagi — bercampur dengan kenangan yang tiba-tiba muncul, membawa dia kembali ke dua tahun yang lalu. Momen dimana dia pertama kali merasakan bahwa hati dia mulai dipermainkan.
[FLASHBACK]
Itu hari ulang tahunnya yang ke-24. Seminggu sebelumnya, Abi sudah berjanji akan membuat hari itu spesial. "Aku akan bikin kamu kaget, Din! Jangan rencanain apa-apa ya, sore ini kita keluar bareng," ucapnya dengan senyum yang ceria, menggenggam tangannya.
Andini sangat senang. Dia sudah lama menunggu hari ulang tahun, berharap Abi akan ngasih kejutan yang dia impikan — mungkin makan malam di restoran yang dia suka, atau bahkan janji yang lebih serius. Dia bangun pagi, mandi dengan cermat, dan memakai baju baru yang dia beli khusus hari itu. Dia menunggu di rumah mulai jam lima sore, menatap jam setiap menit yang lewat.
Jam enam... jam tujuh... jam delapan. Tak ada tanda-tanda Abi. Dia menelepon berkali-kali, tapi teleponnya tidak terhubung. Dia mengirim pesan, tapi tidak ada balasan. Hatinya mulai terasa sesak, tapi dia masih berusaha percaya: "Mungkin dia lagi sibuk nyiapin kejutan."
Hingga jam sepuluh malam, pintu akhirnya terbuka. Abi masuk dengan rambut berantakan, baju kotor, dan bau bensin. Dia tersenyum seolah tidak ada yang salah. "Hei, Din! Maaf telat, ya. Tadi anak-anak bengkel ada motor yang rusak parah, harus langsung diperbaiki."
Andini berdiri, mata penuh harapan tapi juga kekesalan. "Jadi, kejutan yang kamu janjikan?"
Abi menggaruk kepala. "Kejutan? Oh, maaf ya Din, aku lupa. Lagi sibuk banget sama motornya." Dia meraih tasnya, mengeluarkan coklat kecil yang sudah leleh. "Ini aja yang sempet beli. Selamat ulang tahun, sayang."
Pada saat itu, Andini melihat coklat yang leleh itu dan merasa hati dia juga seperti itu meleleh tanpa ada yang peduli. Seminggu dia menunggu, merencanakan segalanya, tapi untuk Abi, dia cuma kurang penting dari motor yang rusak. Itu adalah momen pertama dia merasakan: "Aku cuma jadi opsi kedua."
Dia tersenyum dengan paksa, menerima coklatnya. "Terima kasih, Bi." Tapi di dalam hati, dia sudah mulai menyimpan rasa sakit yang pertama.
[KEMBALI KE SEKARANG]
Andini membuka mata, air mata lagi-lagi menetes. Oh, betapa banyak momen seperti itu yang dia lalui. Momen dia menunggu Abi untuk ke pesta keluarga dia tapi Abi datang terlambat karena "ngoprek motor". Momen dia butuh orang yang bisa dia andalkan tapi Abi sibuk sama teman-temannya. Semua itu adalah benih-benih perasaan yang sekarang sudah tumbuh menjadi pohon besar: rasa tidak berharga, dan tekad untuk tidak lagi dipermainkan.
Dia bangkit dari ranjang, menuju jendela dan melihat langit yang sudah gelap. Bintang-bintang menyala lembut, seolah memberi cahaya di tengah kegelapan hatinya. Dia tahu bahwa flashback itu bukan cuma untuk menyakitkan tapi juga untuk mengingatkannya, mengapa dia harus kuat sekarang. Dia tidak akan pernah lagi membiarkan diri dia terjebak di momen-momen yang menyakitkan itu.
\*\*\*\*\*\*\*\*