Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: Di Balik Tirai Pagi yang Dingin
Pagi itu, udara terasa begitu lembut merayapi kulit ketika aku membuka mata. Cahaya matahari yang baru terbit menyorot tipis melalui celah tirai, menciptakan garis-garis keemasan di dinding kamar. Sejak dulu, aku memang terbiasa bangun lebih awal; entah karena kebiasaan, atau karena aku merasa pagi selalu memberiku kekuatan untuk memulai hari. Itu adalah ritual sunyi yang kusyukuri.
Aku bangkit perlahan, merapikan rambut yang masih kusut, lalu menuju kamar mandi untuk membasuh wajah. Air dingin menyentuh kulitku, membuat kantuk tersisa lenyap begitu saja. Selesai dari kamar mandi, aku melangkah ke dapur ruang kecil yang selalu dipenuhi aroma kehangatan, meskipun belakangan ini, kehangatan itu terasa hanya berasal dari kompor, bukan dari hati yang berbagi.
Meski sederhana, dapur ini adalah ruang di mana aku selalu memulai segala rutinitas peranku sebagai seorang istri. Hari ini aku memasak menu kesukaan Mas Varo yaitu nasi goreng dengan irisan telur, ayam goreng renyah yang digoreng hingga garing, dan sambal pedas yang aromanya saja sudah mampu membangkitkan selera makan, bahkan bagi orang yang sedang kehilangan nafsu makan. Sementara wajan berdenting dan minyak berdesis, mataku tak lepas memerhatikan jarum jam dinding yang perlahan merayap ke angka enam.
“Wah, sudah jam segini,” gumamku sambil mempercepat gerakan tangan. Aku benci terburu-buru, tapi aku lebih benci melihat Mas Varo tergesa-gesa dan melampiaskannya padaku.
Setelah semua masakan matang dan tertata rapi di atas meja makan kayu yang kami beli tiga tahun lalu, aku bergegas kembali ke kamar. Suamiku masih terlelap, napasnya teratur dan wajahnya begitu damai berbeda sekali dengan raut muka tegang yang sering ia bawa pulang dari kantor beberapa waktu belakangan.
“Mas…” panggilku sambil menarik tirai tebal dan membuka jendela lebar-lebar. Udara pagi yang sejuk merasuk, membawa aroma embun dan tanah basah.
“Mas, bangun ya. Sudah pagi,” ulangku sambil menggoyangkan lengannya perlahan, selembut mungkin, berharap sentuhan itu membawa kembali Varo yang dulu kukenal.
Varo hanya bergumam tidak jelas, mendesah pelan, dan meliukkan badan seolah menolak diganggu oleh dunia nyata.
“Hmmm…”
“Mas… ayo bangun. Nanti telat ke kantor,” desakku. Suaraku berusaha tetap lembut dan memelihara kedamaian pagi, meski di dalam hati, aku merasa sedikit lelah dengan perjuangan kecil ini setiap harinya.
Varo akhirnya membuka sedikit matanya, tatapannya kosong, lalu mendesah kesal.
“Iya, iya… ribut amat pagi-pagi gini.”
Aku menarik napas panjang, menahan respons tajam yang mendesak untuk keluar.
“Aku cuma ingatkan, Mas. Kalau sampai telat, nanti aku juga yang disalahkan karena tidak membangunkan kamu,” ujarku, mencoba menjadikan diriku sebagai alasan, bukan sebagai pengganggu tidurnya.
Tanpa menanggapi kalimatku, Mas Varoo duduk di tepi ranjang. Ia menggaruk kepala sebentar dan kemudian menyeret kakinya yang berat menuju kamar mandi. Sementara ia masuk, ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur tiba-tiba menyala, layarnya memancarkan cahaya biru terang. Sebuah pesan masuk.
Aku sebenarnya bukan tipe istri yang suka kepo atau menggeledah privasi. Tapi belakangan ini mas mas Varo terlalu sering sibuk, terlalu tertutup dengan ponselnya. Rasa tidak nyaman yang bertumbuh di hatiku tanpa sadar mendorongku untuk mendekat.
Nama yang muncul di layar notifikasi, sekilas sebelum layar meredup: Pak Tio.
“Mungkin teman kantornya,” gumamku, mencoba meyakinkan diri. Namun, rasa aneh itu kembali muncul mengapa Mas Varo seringkali membalas pesan dari "Pak Tio" ini hingga larut malam? Mengapa namanya harus dikaitkan dengan jam-jam di mana seharusnya ia berbagi waktu denganku? Aku menekan dorongan untuk meraih ponsel itu, lalu melanjutkan merapikan selimut dan sarung bantal.
Tak lama, pintu kamar mandi terbuka. Mas Varo keluar dengan rambut masih basah, mengusapnya dengan handuk, dan langsung mengenakan pakaian yang sudah kusiapkan di kursi. Gerakannya serba cepat, tanpa interaksi mata denganku, seolah aku hanyalah bagian dari latar belakang rutinitasnya.
Aku menuju ruang makan, mengambilkan piring dan sendok untuknya, dan menunggu dia menyusul.
“Mas, sini. Sarapannya sudah siap,” panggilku sambil menarik kursi untuknya.
Varo duduk, namun alih-alih menatap makanan yang mengepul dengan harum, jempolnya sibuk menggeser layar ponselnya. Matanya terpaku pada layar seakan yang ada di sana jauh lebih penting, lebih menarik, dan lebih mendesak daripada sarapan buatan istri yang sudah menunggunya.
Aku memperhatikannya diam-diam. Sikapnya semakin lama semakin berbeda. Dulu, setiap pagi dia akan memuji masakanku, bahkan tak sungkan mencuri kecupan di pipi sebelum mulai makan. Dia akan bertanya tentang rencanaku hari ini. Tapi sekarang? Ponselnya seakan mengambil alih semua atensinya, menjadi dinding tak terlihat yang memisahkan kami.
“Mas, makan dulu…” ujarku sembari menahan gejolak di dada.
Dia tak bergeming.
“Mas…” panggilku lagi, kali ini nadaku mulai menipis karena frustrasi.
“Mas!” panggilku ketiga kalinya, sedikit keras, berharap ia tersadar.
“Apa?” balasnya, kali ini ia menatapku, tapi bukan tatapan cinta, melainkan tatapan kesal yang tajam. Suaranya terdengar begitu keras dan tidak sabar.
Aku terkejut melihat responnya. Wajahnya yang damai saat tidur telah berubah menjadi raut jengkel. Aku berusaha tetap tenang, suaraku sedikit bergetar.
“Bisa nanti saja main ponselnya? Dari tadi Mas nggak lepas dari benda itu. Sarapan dulu, Mas, biar nggak telat.”
“Tau… nggak usah bawel,” sahutnya ketus, lalu ia kembali menunduk, jarinya lincah di atas layar.
Aku menutup mulutku rapat setelah itu, menelan semua kata yang ingin kuucapkan. Aku memilih tidak memperpanjang suasana yang sudah menghambat napasku sejak tadi. Aku menyendok nasi goreng ke piringku, namun rasanya hambar. Kami sarapan dalam keheningan yang memekakkan telinga.
Setelah makan, Mas Varo langsung mengambil tas kerjanya. Aku mengantarnya sampai depan, namun tanpa menatapku, tanpa senyum, tanpa kecupan di kening seperti biasanya, ia langsung masuk ke mobil. Bahkan ia tidak menoleh saat mesin mobil dihidupkan. Dia hanya menyambar kunci, membuka pintu, dan pergi.
Aku berdiri di depan pintu, hanya menatap punggung mobilnya yang perlahan menjauh, hingga hilang di balik tikungan jalan.
“Kenapa kamu berubah, Mas…?” bisikku lirih. Bibirku
Aku teringat betapa Mas Varo dulu adalah orang yang paling sensitif terhadap kebutuhanku. Bahkan ia tak pernah membiarkanku sakit tanpa segera membawaku ke dokter. Namun, semua itu seakan terkikis habis selama dua bulan terakhir.
Aku teringat waktu ketika aku sakit parah, sekitar dua minggu lalu. Badanku menggigil, kepala seperti dihantam batu, dan aku kesulitan berdiri. Aku sampai harus merangkak mencari Mas Varo karena tidak kuat berjalan.
“Mas…” panggilku parau dari balik pintu kamar, selimut tebal tak mampu menghentikan getaran di tubuhku.
Tak ada jawaban.
Aku memaksakan diri berjalan perlahan ke ruang tamu dan menemukan Varo duduk santai di sofa, menatap ponselnya, terpaku, tidak menyadari betapa buruknya kondisi istrinya.
“Mas…” panggilku lagi sambil menahan kepala yang berdenyut, suaraku serak.
“Hm?” Ia bahkan tidak menoleh, hanya deheman malas.
“Mas… boleh tolong antar aku ke bidan? Atau minimal ke apotek? Aku nggak kuat…”
Varo akhirnya menatapku, tapi hanya sebentar, seolah aku mengganggu tontonannya.
“Aku nggak bisa. Pekerjaanku masih numpuk. Ada meeting penting lewat chat.”
“Pekerjaan? Dari tadi Mas cuma main ponsel. Itu bukan pekerjaan kantormu, Mas,” ucapku, rasa kecewa melumpuhkan kemarahanku.
“Kamu nggak tahu apa-apa! Sudahlah, beli obat di warung saja dan istirahat! Paling cuma masuk angin!”
Aku menelan ludah, menahan rasa sesak. Air mata mulai berkumpul di sudut mataku.
“Kalau gitu… bisa tolong belikan obat saja, Mas? Aku benar-benar nggak sanggup jalan…”
“Aku bilang lagi sibuk, Aini! Apa kamu tuli dan nggak lihat aku lagi kerja? Sudah, jangan ganggu aku lagi, aku mau lanjutin kerjaanku!” bentaknya sebelum bangkit dan masuk ke kamar tidur, meninggalkan aku sendirian di ruang tamu.
Dia menutup pintu kamar dengan bunyi yang keras.
Aku menatap pintu yang tertutup itu lama… sampai rasanya air mata tak kuat lagi tertampung. Dengan tubuh lemas dan hati yang remuk, aku berjalan sendiri ke warung di ujung kompleks, membeli obat dengan sisa-sisa tenagaku. Sejak hari itu, ada retakan besar yang tidak bisa kuabaikan dalam pernikahan kami.
“Praaak!”
Suara pecahan piring di dapur yang nyaring membangunkanku dari lamunan panjang dan menyakitkan. Piring porselen putih itu jatuh dari tanganku dan kini pecah berderai di lantai dapur. Aku berdiri mematung di depan wastafel.
“Ya Allah…” aku berjongkok, memegang dadaku yang berdebar karena kaget.
“Aini… kamu kenapa bisa ceroboh banget sih,” tegurku pada diri sendiri. Air mata yang sempat kucegah saat teringat Varo kini tumpah, bercampur dengan air sabun di tanganku.
Aku menghela napas panjang, lalu mulai membersihkan pecahan itu satu per satu dengan hati-hati. Mengumpulkan puing-puing porselen di lantai, aku merasa seolah sedang mengumpulkan kepingan hati yang baru saja dipecahkan oleh suamiku. Piring ini, sekuat apa pun bentuknya, akan retak jika dijatuhkan. Sama seperti pernikahan.
Tanganku berhenti pada satu pecahan besar. Aku menatap pantulan diriku yang buram di permukaannya.
“Mas… apa sebenarnya yang kamu sembunyikan dariku?” bisikku lemah, suaraku hanya terdengar seperti hembusan napas.
Perubahan itu bukan hanya soal ponsel. Itu tentang tatapan mata, sentuhan yang dingin, dan ketiadaan salam perpisahan. Itu tentang hilangnya kami sebagai pasangan.
"Aku harus cari tahu. Aku tidak bisa hidup dalam kecurigaan seperti ini. Jika benar kamu memiliki perempuan lain. Aku tidak akan tinggal diam Mas. Berani-beraninya kamu selingkuh dariku Mas."
Untuk pertama kalinya dalam hidupku sebagai istri, aku merasakan ketakutan yang nyata bercampur dengan tekad yang membaja. Ketakutan kehilangan seseorang yang dulu begitu memuliakan aku, tapi kini bahkan tak menoleh ketika aku memanggilnya, harus dihadapi dengan keberanian untuk mengungkap kebenaran.
Bersambung
...****************...