Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan kelabu yang menyelimuti rumah tangga selama lima tahun?
Khalisah meminta suaminya untuk menikah lagi dengan perempuan yang dipilih mertuanya.
Sosok ceria, lugu, dan bertingkah apa adanya adalah Hara yang merupakan teman masa kecil Abizar yang menjadi adik madu Khalisah, dapat mengkuningkan suasana serta merta hati yang mengikuti. Namun mengabu-abukan hati Khalisah yang biru.
Bagaimana dengan kombinasi ini? Apa akan menjadi masalah bila ditambahkan oranye ke dalamnya?
Instagram: @girl_rain67
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girl_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A. 16~Masih
Dulu, seorang anak laki-laki duduk di kursi tunggu. Ekspresinya tak terlihat dikarenakan wajahnya yang menunduk, namun tidak dengan celana basah yang dijatuhi liquid bening dari matanya.
Telingaku sakit.
Rasanya ingin menutup telinga agar tak perlu mendengar berita tentang papanya di televisi. Menggantinya juga percuma sebab semua siaran menyiarkan hal yang sama, juga karena orang-orang yang berhenti untuk mendengarnya tanpa tau ada orang yang ada kaitannya di sana.
Keluarga anak itu juga kapan sampainya? Aku mau pulang, mama pasti cemas karena aku belum pulang setelah kecelakaan terjadi.
Tiba-tiba ada sepatu yang terlihat dan juga seruan yang Abizar rasa tertuju padanya. "Hai, Nak."
Abizar kecil mendongak.
Seorang pria memakai kemeja putih dan celana kain hitam, tersenyum padanya. Penampilannya pengusaha seperti papanya sehingga Abizar tidak takut. "Kamu pasti sedih banget, tapi hebat karena nggak mau menunjukkannya pada orang lain--
-- seperti sifat kriteria orang yang kami butuhkan," gumam Pria itu yang tak dapat didengar jelas oleh Abizar, namun Abizar sempat melihat senyum jahat pria itu meski cuma seperkian detik.
"Om, kenapa peduli pada orang asing?" tanya Abizar. Soalnya ia sudah memutar memori, tapi tidak ada dalam celah ingatan ada gambaran tentang pria di hadapannya ini.
"Kamu bukan orang orang asing bagi, Om."
Pria itu tiba-tiba mengambil tempat di sampingku, dia mengotak-atik ponsel dan menunjukkan layarnya pada Abizar. Mata Abizar membesar. "Lihat, Om sahabatnya papa kamu. Jadi, kamu bukan orang asing bagi Om."
Di layar tampak foto pria ini merangkul papanya sambil tersenyum, sedang wajah ayahnya cuma menunjukkan wajah biasa saja dan berdiri tegap.
Abizar ingin melihatnya lebih dekat, tapi pria itu menarik ponselnya dan menyimpannya dalam saku celana.
Pria itu tersenyum. "Sebenarnya Om ada maksud mengunjungi kamu, papa kamu menyiapkan sesuatu yang besar untuk kamu, Abizar. Jadi, Om bermaksud mengajakmu ke sana?"
"Benarkah?" Mata Abizar kecil berbinar-binar, namun sedetik kemudian berubah.
Abizar membatin, "Aku harus ikut? Tapi aku enggak kenal orang ini. Papa sering memperingatkan ku untuk tidak ikut orang asing, tapi orang ini bilang sahabatnya papaku dan ada fotonya juga.
"Kenapa?" Pria itu bertanya lantaran melihat mimik ketidakpercayaan Abizar.
"Kenapa Om enggak bawa ke sini saja?" Abizar bertanya untuk memastikan.
"Om bilang 'sesuatu yang besar' pastinya sulit untuk dibawa." Pria itu kembali tersenyum, namun kali ini tak seramah tadi.
"Ayo, pergi bersamaku, Abizar. Papa kamu nungguin 'lho."
Mata Abizar membola. "Papa nungguin aku? Papa masih hidup?!" pekiknya.
"Nungguin kamu lihat kado pemberian papa kamu maksud Om," terang pria itu yang langsung melantahkan harapan Abizar.
Wajah Abizar berpaling ke jendela kaca di belakangnya. Di dalam sana ada seorang anak yang perempuan yang masih pingsan. "Aku belum bisa ikut Om. Keluarga anak itu belum datang."
Namun seakan takdir ingin Abizar segera pergi, beberapa orang-orang tiba dan langsung masuk ke dalam ruangan anak perempuan itu.
Para perempuannya berhijab, jadi pasti keluarganya, batin Abizar.
"Nah, ayo kita pergi." Pria itu mengulurkan tangan dan di sambut Abizar.
Abizar diiring langkahnya oleh pria itu agak tertatih-tatih untuk mengimbangi, dan mungkin juga karena Abizar yang melihat ke belakang.
Putih.
Dan semuanya menjadi gelap.
.
.
.
.
Khalisah mengetuk-ngetuk jarinya pada meja selayaknya orang yang kesal karena apa yang ditunggunya belum menunjukkan datang. Benar, dia menunggu Edgar Damian membawakan makanan untuknya. Bukan, bukan berharap ada makanan untuk mengenyangkannya, tapi ia meletakkan harapan setiap kali Edgar memasuki rumah ini.
Tadi sih menunggu di depan pintunya langsung, tapi rupanya Edgar lebih mengenalnya sehingga mengintip dari jendela yang menghadap ke belakang pintu.
Alhasil makanannya tidak jadi diantar.
Jadinya, Khalisah berakhir di meja yang tidak terlihat dari kedua jendela ruang tamu.
Krek.
Bunyi itu....
Langsung saja Khalisah menerjang ke arah pintu, namun Edgar sudah berdiri tegap menghadapnya disertai senyum jenakanya, sehingga gerakan Khalisah spontan berhenti.
Benar, tapi ada bunyi krek lalu dum, gerutu Khalisah dalam hati, namun beda dengan sikapnya sekarang yang berdiri tegak dan tangan saling bertaut di depan perutnya.
Edgar mengangkat kantong kresek dan berkata, "Ayo, makan."
"Lepaskan aku," pinta Khalisah bergeser lantaran Edgar berjalan lurus ke ruang yang ada mejanya.
"Lepas? Aku belum memegangmu," jawab Edgar santai sambilan membuka bungkusan yang dibawanya.
Kening Khalisah terangkat satu. "Aku mau pulang ke keluargaku," tutur Khalisah, walau ia sempat mempertanyakan kata 'belum' nya Edgar, namun ia mencoba abai seperti sebelum-sebelumnya.
"Pulang? Memang kamu punya muka untuk kembali setelah pergi kayak gini?"
Sontak Khalisah meremas lengan satunya. "Bukan urusanmu. Aku cuma minta kamu untuk membuka pintunya."
Bagaimana Edgar tahu? Tapi aku nggak berani menanyakannya, takut Edgar menjawab sudah memata-mataiku selama ini.
Aku ternoda.
"Berusahalah seperti tadi, karena keputusanku sudah bulat untuk mengurung kamu sampai hak kamu tinggal di sini habis," terang Edgar seakan menangkis petir agak mengarah kepada Khalisah.
"Sekarang makanlah."
Khalisah menghela napas kasar. Emosinya kian menguap, sehingga Khalisah memilih menenangkan diri dengan memasuki kamar.
Kali ini Edgar ikut menghela napas dan mengelus dada, "Ini baru, dan aku merasa deg-degan jika harus merasakannya setiap hari."
Sedang dalam kamar Khalisah dapat mendengar omongan Edgar, sampai Khalisah meraup muka berkali-kali akibat tak dapat memahami pemikiran pria itu lagi.
Ini sudah hari ketiga dan di hari selanjutnya pun tidak ada perubahan. Hara dengan kesabarannya masih menyiapkan pakaian Abizar dan mengurus rumah walau mendapat penolakan Abizar tentang menyiapkan kebutuhannya, akibatnya Hara cuma menangis dalam kamarnya secara diam-diam.
Lalu, untuk Khalisah.... Ia tetap pada pendiriannya yaitu menunggu laki-laki itu sadar atas perbuatan keterlaluannya. Bukan tidak ingin melawan, hanya saja Khalisah sudah pengalaman dengan sosok manipulatif itu di seperdua hidupnya bahkan bisa saja lebih.
Hingga sepuluh hari pun berlalu.
Edgar mengetuk pintu kamar Khalisah. "Khalisah, ayo makan. Kali ini kita makan bersama ya."
Bruk.
Pintunya dihantam dari dalam.
"Aku lebih enggak mau makan kalau ada kamu."
...☠️...
...☠️...
...☠️...
Bersama Tisara Al-Muchtar dan juru lainnya ✌️